Kamis, 23 Mei 2013

Menyepi...




Senja mulai turun. Menggurat jingga diantara langit biru kehitaman, terhalang sosok bukit raksasa yang melindungi kampung kecil ini. Di hadapanku terbentang hamparan pemandangan terindah. Danau hijau yang membentang sangat luas. Hijaunya turut menggelap seiring matahari yang semakin bersembunyi di pundak bukit. 

Pasangan tua penuh cinta itu mulai terlihat di ujung jalan yang terus mendaki. Aku melambaikan tangan kearah mereka. Keduanya sumringah tulus, berjalan  menggiring beberapa ekor kerbau menuju rumah panggung kayu, istana kecil mereka.  

Melihat pasangan itu beriring menuju rumah saat senja sperti ini, tiba-tiba hatiku disusupi damai yang begitu nyata. Sesuatu yang semua orang dambakan. Hidup bersama orang yang kita cintai hingga menua.

Desa ini terletak di lembah dibawah bukit-bukit di tepi hamparan danau raksasa yang terkenal akan keindahannya. Desa yang seolah berada didalam mangkuk raksasa. Jauh dari ingar bingar dunia luar. Yang terdengar hanya suara burung-burung penghuni lebah dan suara angin yang menggesek daun-daun pinus. Tempat yang sempurna untuk mengasingkan diri.  



Rumah panggung kayu itu terletak tepat ditepi kaki bukit yang di tumbuhi hutan pinus dan sebagian sudah tergarap menjadi kebun kopi yang berundak cantik. Posisi paling sulit untuk di kunjungi namun paling strategis untuk menikmati semua keindahan alam. Dari jendela rumah kau dapat melihat bentangan desa yang menghampar hingga ke danau yang terlihat seperti laut. Sedang dari pintu depan kau akan di sambut oleh bukit-bukit perkasa yang menjulang meninggi ditanami pohon-pohon kopi yang langsung berbatasan dengan hutan pinus. Seperti bentangan permadani hijau yang melindungi seisi desa.

Istana mungil itu dihuni oleh sepasang kakek nenek yang biasa kupangggil opung. Mereka hanya hidup berdua dirumah itu. Sesekali salah seorang anak mereka -yang memilih hidup dan bekeluarga di desa ini- melihat-lihat keadaan mereka. Sisanya lebih memilih hidup diluar desa demi kehidupan yang lebih baik. Sepi namun selalu ada cinta disana untuk tetap terus menghangat. 

Rumah kayu itu memiliki dapur yang sering merangkap menjadi ruang keluarga. Satu-satunya ruang bertungku yang digunakan bukan hanya untuk memasak tapi juga penghangat. Tungku itu berada tepat ditengah-tengah ruang berukuran cukup luas untuk rebahan. Tak banyak ornamen yang menghiasi ruang-ruang. Sederhana sekali. Hanya beberapa pajangan berbau keagamaan saja.

Di desa ini, waktuku seolah lebih lambat bergerak. Biasanya kupenuhi dengan membaca buku di tepi kebun kopi, lengkap dengan secangkir kopi olahan opung sendiri. Bila ingin sedikit berolahraga, aku bisa ikut membantu kedua opung diladang atau memanen kopi yang telah masak. Jika punya tenaga ekstra, trip kecil menuju air terjun di tepi hutan akan menjadi pilihan kegiatan selanjutnya.   

Saat malam turun, suhu udara ikut membeku. Maka kami akan berkumpul di dapur bertungku. Bersama-sama menyiapkan makan malam. Banyak perbedaan antara kami namun tak pernah menjadi penghalang untuk saling berbagi kebahagiaan. Opung perempuan tak pandai berbahasa Indonesia sedang aku tak pernah fasih berbahasa batak. Maka opung laki lah yang menjadi perantara kami. Seringnya kami berbahasa isyarat untuk saling berkomunikasi yang malah kerap menjadi bahan candaan efektif untuk mencairkan suasana.

Menu kali ini sesederhana biasanya. Semua bahan didapat dari kebun ataupun tumbuhan yang tumbuh disekitar desa. Maka dengan bahan seadanya, opung laki –yang tak hanya handal sebagai petani dan penebang kayu tapi juga koki- mengajariku mamasak ayam yang tadi sore kusembelih. Ayam gulai kelapa ala batak. Ya, mereka memintaku menyembelih ayamnya dengan cara yang diajarkan kepercayaanku  agar aku merasa nyaman. Walau sebenarnya sungguh hal ini tak pernah menjadi masalah yang berarti untukku.  

Kerena tomat sedang sulit di minggu akhir panen ini, maka sambal kami menjadi sambal dadak kering. Sayurnya lalap timun dan rebusan daun singkong. Aroma ikan asin yang kami bakar langsung di bara tunggku mengepul memenuhi ruang, membangkitkan rasa lapar. Seperti biasa, opung laki akan memimpin doa sebelum kami menyantap makan malam. 

Berada diantara mereka membuatku merasa menyasikan langsung kisah cinta abadi yang mengalahkan waktu. Mungkin opung laki bukan tipe yang senang memuji atau romantis kepada opung perempuan. Tapi saat ia memasakkan makan malam untuk kami siapa pun akan melihat ketulusan yang tanpa sadar ia praktekkan. Atau saat makan malam usai dan kantuk mulai menguasai kesadaran kami yang tergeletak pulas diantara tungku. Opung laki yang biasa menikmati kopi dan kereteknya di waktu larut sambil membaca jurnal-jurnal dari gereja atau pemerintah desa, akan datang menghampiri kami satu persatu. Dengan hati-hati di menyelimuti kami dengan selimut tambahan yang ia bawa. Aku tahu tapi tak ingin membuka mataku hanya demi merasakan ketulusan yang ia sematkan bersama hangatnya balutan selimut. Terkadang ia turut menyematkan jaketnya untuk membuat kami tetap nyaman dan hangat dalam tidur.

Saat subuh turun, opung laki membangunkanku untuk ibadah. Kita harus berjalan sedikit jauh dari rumah untuk menuju sumber air. Disana aku akan mensucikan diri sebelum ibadah subuh. Opung laki turut menemaniku, karena diluar masih teramat gelap di jam-jam sepagi ini. Maklum, listrik di desa ini masih teramat terbatas untuk menerangi jalan. Biasanya kami menyiapkan beberapa ember air untuk opung perempuan -yang sudah tak kuat lagi untuk mengangkat air- dan kebutuhan dapur tentunya.

Opung laki akan merapikan kamarnya dan membentangkan kain terbaiknya sebagai alas untukku ibadah sebelum akhirnya ia menuju dapur, menyalakan kembali tungku dan menjerang air yang tadi kami angkat. Sebagian air digunakan untuk air minum dan sebagian untuk mandi opung perempuan. Belakangan opung perempuan mulai mengeluhkan tentang tubuhnya yang semakin tak tahan sejuknya air gunung.

Betapa nyata ketulusan kasih yang opung punya. Bagiku merekalah mahluk berhati emas. Karena saat tulus itu kau terima hanya ada damai dan cinta yang kau rasa. Hal itu yang ingin kucuri darinya. Kebijaksanaan, ketulusan, kesederhanaan dan kasih menjadi satu. Siap mencerminkan kebaikan kepada siapa saja yang ingin menemukan kebaikan itu sendiri.

Pagi belum benar-benar datang, opung perempuan yang sudah terlihat bersih segera menyiapkan kopi untuk opung laki yang sedang mandi. Kopi yang ia sangrai sendiri, yang ia giling sediri kini berpindah kedalam teko kaleng usang, siap menjadi teman santapan pagi ini. Pagi ini ubi jalar rebus dan kopi istimewa buatan opung menjadi santap pembuka hari.

Kami duduk mengelilingi tungku menikmati santap pagi. Sungguh senang melihat mereka bercerita penuh bangga tentang anak-anak mereka yang kebenaran berkegiatan tak jauh dari bidang keagamaan. Bukan harta dan materi yang mereka banggakan tapi lebih kepada kedekatan anak-anaknya kepada sang pencipta. Tentang anaknya yang seorang guru agama, seorang pastor dan seorang lagi yang tengah belajar menjadi seorang pastor. Sungguh membanggakan. Satu ketika pernah opung laki berkata kalau semua agama mengajarkan kebenaran. Tak perduli apapun labelnya, agama harus mengajarkan kasih terhadap sesama, memberi kedamaian untuk kita, untuk sesama. Aku mengamini perkataannya.

Untuk kesekian kalinya aku merasa amat beruntung memiliki mereka sebagai orang yang mengasihiku. Sepasang manusia berhati emas dalam kesederhanaan.

Kuingat lagi tujuanku kembali lagi kerumah mungil ini. Ada gundah yang berkecamuk dalam diri ini. Gundah berupa ketakutan-ketakutan yang terkadang aku tak tahu dari mana asalnya. Gundah yang ingin ku lebur disini. Di tempat penuh damai dan ketulusan ini. Gundah yang mengahantuiku sejak satu keputusan yang kurasa belum tepat waktu untuk kujalani terlanjur kuambil. Mungkin aku takut kebebasanku terikat, dibatasi tanggung jawab yang terlanjur kuambil. Atau aku takut tak dapat merealisasikan mimpi-mimpi yang kupunya selama ini karena terhalang kesibukan yang lebih menyita waktuku. Ketidaksiapan tentang satu langkah besar dalam hidupku. Langkah yang kutakut adalah kesalahan.

Dan saat melihat kedua opung yang terlihat amat bahagia dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan yang mereka miliki, aku malu melihat diriku sediri. Mengapa aku seperti tahanan dalam hidup sendiri? Bukankah harusnya aku lebih bisa jadi sipenentu jalan hidupku sendiri? Sungguh tak pernah semudah kita mengatakan. Atau semua hanya ketakutan-ketakutan tak beralasan saja? Tak lebih. 

Melihat kedua opung yang kembali berjalan beriringan saat akan memulai rutinitas mereka, rasa iri terbesit dihatiku. Mengapa aku tak dapat berpikiran sesederhana mereka saja? Tapi mungkin ini lah kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup mereka. Siapa yang tahu? Mungkin saja sebagian orang menganggap apa yang kedua opung lakukan di hari-harinya adalah satu kebosanan. Tapi mungkin itulah yang opung cari. Bukan kehidupan yang mewah. 

Haruskah kupertanyakan kembali cinta yang kupunya? Apakah gerangan yang membentuk gundah ini? Hidup seperti apa? Kebahagiaan yang bagaimana yang sebenarnya kudamba? Semua pertanyaan semakin menghimpitku sesak.

Matahari saat itu perlahan muncul dari diantara bukit di seberang danau. Cahaya peraknya memantul di permukaan danau yang berwarna hijau kebiruan. Sosok kedua manusia penuh kasih itu usai tertelan jalan yang semakin menurun. Opung laki menggiring beberapa ekor kerbaunya dan membawa beberapa perlengkapan kebun sedang opung perempuan menjunjung ember yang tak kutahu isinya, tangan sebelahnya menenteng bekal untuk makan siang mereka nanti.

Tiba-tiba aku merasa amat kecil diantara semua ini. Kedamaian seperti apa yang kucari sebenarnya hingga aku terdampar disini? Memilih hilang dari peredaran. Ini bukan hanya perkara menyepi tapi juga menemukan kembali rasa percaya yang akan menguatkanku untuk tetap melangkah maju. Atau malah sebaliknya, menemukan kebenaran yang mengharuskanku memutuskan sesuatu sebelum terlambat.

Menjadi benar bukanlah hal yang mudah. Mereka-mereka yang tak mengertimu akan selalu punya alasan untuk menganggapmu salah. Karena sejatinya kebahagiaan untukmu belum tentu menjadi kebahagian mereka juga. Namun jujur terhadap diri sendiri adalah kewajiban universal yang akan membebaskan kita dari kepicikan memandang hidup yang serba dualitas. Memiliki dua sisi. Kebenaran yang relatif.

Mungkin banyak yang akan terluka. Tapi sejatinya manusia adalah egois. Kita punya tujuan-tujuan berbeda di hidup masing-masing. Orang tua, saudara, sahabat karib, siapa saja. Masing-masing punya tujuannya sendiri. Dan yang paling kita butuhkan adalah pengertian untuk memahami dan dipahami.

Kopi yang ku teguk kehilangan hangatnya dan menjadi semakin getir di lidah. Ubi jalar rebus sarapanku semakin mengerut, semakin susah untuk ditelan. Lantas kuputuskan untuk bernjak menuju kebun kopi. Memungut kopi-kopi yang sudah memerah kehitaman dan memasukkannya kedalam ember yang kubawa. Terus melangkah menepaki kebun yang berundak membukit.



Aku terhenyak saat akhirnya kau tiba di perbatasan kebun dan hutan pinus. Daun-daun jarum pinus tua yang diterpa angin di penghujung mei menutupi pemukaan tanah seperti permadani cokelat. Tak terasa, kini aku sudah berada diatas dengan seember kopi yang sudah matang. 

Bahkan alam pun mengajarkan banyak ilmu jika kita peka terhadapnya. Seperti yang kualami saat ini. Anggaplah buah kopi yang kau pilah dan kau kumpilkan adalah pelajaran dari berbagai kejadian yang terjadi di hidupmu. Semua akan mencapai batas hidupnya. Seperti saat aku berada di puncak bukit, perbatasan hutan ini. Jika kau memang cermat, buah kopi yang terbaiklah yang mengisi embermu. Dan saat kau dipuncak, kau dapat melihat seberapa misteriusnya langkahmu kedepan, saat melihat kebelakang, kau akan menemukan keindahan yang menghampar luas sepanjang mata melihat. Seperti masa depan dan kenangan.



Kuhela napas panjang. Mencoba menghempas semua gundah bersama lelah. Aku terduduk penuh takjub di bibir hutan. Menatap kosong pemandangan yang memenuhi penglihatanku. Mencoba menyimpulkan semua yang kudapat di tempat ini menjadi damai yang akan menenangkan gundahku. Hidup punya jalan sendiri untuk menjadikan semua pemeran di panggungnya dramatik.

Terkadang pasrah menjadi jalan tertepat untuk meraih damai. Atau damai yang terlahir dari rasa pasrah hanyalah bom waktu yang kapan saja akan siap memporakporandakan kepalsuan. 

Perlahan awan hitam berarak di ujung pulau. Aku melihat hujan yang tumpah di belahan bukit di pulau yang terletak di tengah-tengah danau yang menghampar di depanku. Di lebah ini begitu cepat terasa perubahan cuaca. Awan hitam mulai merambat menuju lembah. Bersamanya, damai menyusup ke dalam diriku. Hati ku berbisik, aku hanya ingin mensyukurinya dengan tulus. Tanpa rasa dendam dan bersalah. 

Semilir angin menghembus menerpa tubuhku. Ranting-ranting pinus pun mulai bergesekan menyanyikan lagu muram namun damai. Mataku perlahan memejam, menghanyutkan jiwa menjadi satu dengan sekitar. Akulah si pemeran di panggung hidup. Hanya sebutir pasir didalam tabung waktu yang terus bergulir.


Bandung, 14 mei 2013, 11.42


   Dream with a broken heart by John Mayer.

27



Sejak kala tercipta hidup adalah tentang perjuangan. Tentang harapan yang tertanam. Jauh saat doa pertama terucap tulus dari mulut seorang istri yang mendamba hadirnya sosok anak. Saat kita masih berupa gamet yang berkompetisi bersama ribuan sel calon manusia untuk menemukan tempat merubah diri menjadi zigot. Kemudian alam rahim menjadi tempat kita berkembang, menyiapkan diri untuk perjuangan selanjutnya.

Sejak kala pertama kau menghirup fana, hari kemenanganmu pun telah ditentukan. Gelarmu ditentukan. Namamu disematkan. Segala doa dan harapan menyambutmu penuh kasih, penuh suka cita. Kau adalah pemenang. Namun tugasmu belum usai. Medan perang selanjutnya jauh lebih sulit. Penuh tipu daya. Kau butuh lebih dari sekedar doa.

27 tahun yang lalu aku terlahir menjadi fana. Menjadi seorang pejuang yang konon katanya telah bernegosiasi dengan sang pecipta tentang cetak biru hidup seperti apa yang selanjutnya aku akan jalani di atas dunia ini. Takdir adalah nama jalan yang telah kita sepakati sebelum akhirnya ruh Tuhan mengisi jasad ini. Setidaknya itu pengetahuan yang kejejal sejak kecil, saat semua pertanyaan tentang jati diri mulai menghantui.  

Kita tumbuh dari berbagai pengertian yang tertanam sejak kecil hingga mengakar dan membatasi. Tanpa kita sadari kita tumbuh menjadi sosok yang publik mau.

Dihari aku resmi menjadi manusia ini kuputuskan untuk menghadiahi diri sebuah perjalanan privat. Sekedar menikmati diri sebagai sosok egois yang melepas sisi sosialis sejenak. Kawasan tinggi di Jawa tengah menjadi pilihan tanpa pertimbangan apapun. Terlintas begitu saja. Berharap menemukan banyak hal untuk sekedar mengistirahatkan sejenak pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah usai di hidupku.

Sepanjang perjalanan hidup ini banyak kesalahan yang belum dapat ku perbaiki. Banyak kekalahan-kekalahan yang belum terganti kemenangan. Banyak luka yang tertoreh yang mungkin belum dapat kusembuhkan. 

Tersadar lebih dari seperempat abad kujalani dengan banyak kemunafikan. Kemunafikan menjadi topeng untuk tetap bertahan di dunia yang serba menuntut kita untuk menjadi layak di mata publik. Topeng yang terkadang semakin erat dan menyesakkan untuk sekedar menghela napas.

Terkadang aku berpikir, apa sebenarnya yang aku perjuangkan disini. Bukankah tujuan kita berada di dunia ini adalah menemukan jati diri bukan anggapan-anggapan dan penilaian publik? Namun sering kali dunia kita yang jauh lebih munafik memagari, membuat batasan-batasan  yang memaksa kita untuk tetap pada jalur yang sejak dulu kala sudah tercipta. Siapa yang keluar dari batasan siap-siap dianggap pemberontak. Produk gagal. 

Mereka menyamarkannya dengan menyebutnya aturan-aturan sosial. Aturan yang telah mengakar hingga kadang tersamar menjadi norma. Patokan kebenaran yang menyalahi hak-hak pribadi seseorang. Sepertinya kita harus merunut panjang apa yang di maksud norma jika tak ingin dikatakan amoral.

Jika ku runut kembali kebelakang, banyak hal yang tertinggal di usiaku sekarang. Banyak kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Tentang pencapaian hidup, karir, asmara dan lain-lain. Banyak mimpi yang masih berupa bayang dalam benakku. Beberapa malah kuleralakan mengendap menjadi “sekedar” mimpi. Sedang yang lain terus mengusik pikiran dan hati. Menuntutku untuk tetap mengusahakannya menjadi nyata.  

Mungkin ini yang dianggap perang dalam kehidupan. Pencapaian yang kita raih akan melahirkan tujuan yang lebih dan terus menanjak seiring tingkatan perang yang kita menangi. Perang yang tak memiliki akhir. Perang yang melahirkan perang-perang lain hingga nanti kata ikhlas lah yang menjadi pelajaran selanjutnya.

Tak dapat kita pungkiri, banyak aspek luar yang mempengruhi tujuan-tujuan kita. Orang tua turut menanamkan mimpinya di diri kita yang akan selalu mereka anggap bagian dari diri mereka. Dan dengan amat sadar kita juga butuh membahagiakan mereka bukan karena alasan lain melainkan untuk membahagiakan diri kita sendiri. Hal ini yang sering kali berbenturan dengan keinginan-keinginan kita sebagai manusia yang individual. Individu yang berdiri sendiri, yang memiliki pemahaman dan keinginan sendiri. 

Sejak kecil, setiap kali aku merayakan ulang tahun yang kutahu hanyalah upeti, ucapan selamat dan doa-doa yang akhirnya menjadi tujuan kita kedepannya. Selanjutnya saat beranjak remaja, perayaan ulang tahunku mulai bertambah drama dengan acara lempar tepung dan telur. Dan kini aku hanya ingin menikmatinya sendiri.

Doa terbaik untukku mungkin akan selalu terpanjatkan. Namun kini aku mencoba untuk berhenti meminta dan lebih melihat kebelakang. Apa yang telah keperbuat dan ku terima dari hidup. Mencari simpul merah yang akan membawaku menuju tujuan hidup seperti apa yang sebenarnya kuingini. Memungut kembali remah-remah yang tertinggal yang akan mengajariku lebih tentang hidup.

Aku masih mencari tempat ternyaman untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi. Tempat ternyaman dalam suaka pengertian akan hidup, akan kepercayaan, akan diri ini. Jujur tanpa topeng. Aku memilih untuk tidak menyalahkan takdir dan empunya. Sejatinya aku adalah si penentu, si pemilik hidup sementara, si penulis cerita. Karena dengan begitu akan jauh lebih mudah untukku menerima kejujuran diri yang apa adanya. 

Pencarian ini mungkin akan menghabiskan kontrak hidupku yang sementara. Mungkin akan bergesekan dengan berbagai hal yang kurang menemukan titik paham yang sama. Namun inilah perjuangan untukku. Sekali lagi, memahami dan dipahami tanpa paksaan adalah kunci paling pas untuk pintu-pintu di kehidupan ini yang akan membawa kita ke level yang lebih tawakal sebagai manusia biasa.

Setiap manusia selalu ingin diterima. Selalu ingin menjadi yang terbaik. Setidaknya aku mencoba untuk menjadi dan mencari yang terbaik untuk diri ini. untuk orang-orang yang menyayangi dan kusayang. Bagaimana pun mereka adalah pelengkap cerita. Tanpa mereka tak akan ada cerita tentangku. 

Di usia 27 ini aku lebih belajar untuk menerima diri sebagai sosok manusia yang serba tak sempurna. Menjadikan tahun-tahun kedepan tempat mengaplikasikan pelajaran-pelajaran yang kudapat dari kesalahan di tahun-tahun yang terlewat. 

Untuk orang-orang tersayang, orang tua tercinta, sahabat terkasih, kekasih tersayang, tak ada pinta yang termat ku inginkan saat ini selain pemahaman tentangku. Doa harapan kalian biar kujadikan cambuk untuk memberikan terbaik yang kubisa. Kalian lah puzzle yang melengkapi kisah ini. kisah perjuangan seorang pejuang hidup yang tak akan pernah usai untuk terus mencari keping-keping kebijakan dalam dirinya.

Diatas gunung tertinggi di desa ini wajahku di terpa hangatnya cahaya matahari yang merebak diantara arakan awan biru putih kehitaman. Perlahan semua melebur. Angka tak lagi mematokkan apapun. Nama tak lagi merangkum siapa dirimu. Status menjadi sandang maya kepalsuan. Hanya dirimu, bagian dari alam semesta beserta misterinya. 

Rasa syukur memenuhi sesak di hati. Masih banyak hal yang perlu dipahami hingga nanti ikhlas benar-benar kau miliki. Selamat menghampa sang pejuang hidup. Selamat menjadi fana. Selamat 27.

     Happy 27.
Negeri diatas awan - Negeri para dewa.