Sabtu, 24 Oktober 2009

...andai kau tahu...


Andai kau tahu artimu disisiku…
       Kau…
       Malaikat dalam tidurku…
       Nyanyian dalam sepiku…
       Harapan tulus dalam doa ku…
       Seberkas cahaya dalam hitamku…
       Mimpi terindah dalam lamunku…

Andai kau tahu…
       Wahai kau pembisik sang bayu…
       Sang penyulut api rindu…
Penerang langkah dalam ragu…
Hadirmu melepas segala haru…

Wahai kau perajut lembayung jingga…
Sang pembakar api cinta …
Sosokmu indah dalam fana…
Tawamu musnahkan sejuta curiga…

Bawa aku dalam mimpi terindah…
Dampingi aku dalam masa
Hingga senja…
Disaat segala secerah cahaya…

Kamis, 22 Oktober 2009

Bumi Biru #5-7

Keping 5
Mr.B is in the air…

       Sunny day, Mr.B is in the air...  what’s up to day you guys? Aku Mr.B, akan temani kamu semua sampai 90 menit kedepan. Especialy, buat kamu yang baru saja pulang, baru saja selesai dari kegiatan-kegiatan kamu hari ini… ngantor, kuliah atau sekolah, selamat istirahat. Ingin dengar lagu yang kamu senangi? Hmm, okey, berhubung hari ini aku lagi senang, dimulai dari sekarang aku akan buka line telepon bagi kamu yang ingin request di 4573000, 4…5…7…3ribu. Sambil menunggu telepon dari kamu, torn dari Natalie imbruglia akan mengawali jumpa kita, stay tune terus…” sekali telan ludah, semua meluncur begitu saja dari mulut Bumi tanpa hambatan.
          Bumi melirik kearah ruang mix yang hanya berbatas kaca dengan ruang siar. Ia melihat Jimmy dan Reva sedang asik ngobrol. Ada yang kurang, Bumi merasa ada yang kurang disana. Ia tak lagi mendapati sosok yang selalu memperhatikan tiap gerak geriknya sewaktu siaran. Sosok yang kerap dikatai Aga mahluk mars aneh karena mengagumi Bumi yang menurutnya tak layak dikagumi.
          Gaby. Padahal sudah hampir 3 bulan lebih ia menghilang dari studio, tapi tetap saja bumi merasa ada yang kurang. Kehilangan? Bukankah harusnya Bumi senang? Karena tak akan ada lagi mahluk mars aneh yang memperhatikan setiap gerak-geriknya dan ia dapat bernafas lega saat berada dikamar kecil karena tak akan ada lagi yang akan menguntitnya. Mungkin benar bumi merasa kehilangan. Kehilangan satu-satunya fans fanatik.

*        *        *

          Kemarin sore Bumi mendapat kabar yang paling ia nantikan dari Aga. Katanya malam ini Dian akan show di tempat biasa dan seperti biasa pula Aga dan Bumi mendapat job tambahan. Mereka didaulat menjadi karyawan dadakan di EO penyelenggara.
          Bumi sudah mempersiapkan segalanya dengan sangat sempurna sejak satu jam yang lalu. Baju terbaik, parfum paling wangi hingga tatanan rambut paling gaya. Sudah lama ia tak merasa seperti ini, seperti kencan pertamanya dahulu. Ia memandang bayangnya dicermin, memperhatikan tiap jengkal tubuhnya yang terlihat begitu sempurna. Bumi tak tahu untuk apa dia melakukan hal ini. Untuk Diankah? Sosok yang sangat ia kagumi dan saat ini sangat ia rindukan. Tapi Bumi hanya salah seorang pengagum rahasia Dian saja. Hal yang sia-sia, tapi Bumi tak sanggup melawan hatinya yang selalu menuntut untuk dipenuhi.
          Begitu naif dirinya ia rasa, hingga tak mampu membendung rasa rindu belaka. Rasa rindu yang tak berbalas. Dian seperti air laut, sedang Bumi seperti seorang dahaga yang terus menerus meminum air laut. Semakin sering ia bertemu Dian, semakin berat pula rindu ini ia rasa dan semakin tak kuasa pula Bumi menahan rindu yang selalu bergolak dihatinya.
          Ia kembali menatap dalam bayangnya dicermin. Ada rasa bersalah menyusup disana. Sekali lagi, bayang Kinar kembali hadir disela lamunan indahnya tentang Dian. Lama ia berdiri di depan cermin hingga akhirnya perang batin yang terjadi dimenangkan rasa rindu yang semakin mebadai dan tak terbendung lagi. Sepotong rasa bersalah yang teramat untuk Kinar.
          Tak berapa lama Aga pun muncul dengan stelan yang jauh lebih santai dari Bumi. Tanpa mengucap salam dan memberi tanda apapun, ia langsung menerobos masuk. “Wah, mau kemana lo Bum?? rapi amat!” tiba hidungnya mencium sesuatu yang sangat menyengat. Ia mengendus kearah Bumi. “Gileee, wangi amir lo! Biasanya juga Cuma pake minyak nyonyong…” ledeknya.
          “Berisik lo!”
          “Lo mau kemana sih! kita jadi pergi keacaranya Diankan?”
          “Jadi menurut lo!!”
          “Hah… gak salah acara nih kita!? Disana tuh, kita jadi kuli angkat bro, lo salah kostum tuh!”
          Bumi tak menghiraukan Aga yang semakin menatapnya aneh. “Yuk…” ajaknya dan langsung menyeret Aga keluar dan langsung menuju tempat tujuan dengan mobil metik yang Aga bawa.
          Sesampainya disana, Mas Andy sang panitia acara menyambut mereka dengan tugas-tugas yang kan segera menyibukan meraka. Ia menatap Bumi dengan alis sedikit terjungkit dan mulut setengah menganga, bingung. “Wah rapi amat lo Bum?” ia tersenyum meledek, sedang Bumi tak begitu menghiraukannya. “Whatever!! Buat diri kalian senyaman mungkin, kita harus bekerja cepat.” Ia berjalan dengan langkah terburu-buru, matanya tertuju pada helai-helai kertas yang ia pegang. Dibelakang Bumi dan Aga mencoba mengimbangi langkahnya tak kalah cepat menangkap instruksi-instruksi dari sang boss.
          “Ga, kamu bisa bantu dibagian panggung, Bumi… hmm,” ia kembali melirik Bumi, bingung harus ditempatkan kemana seorang pria serapi Bumi yang jelas salah kostum. “Kamu dibelakang layar saja.” Perintahnya diikuti dengan cekatan oleh kedua pria itu.
          “Busyett! Emang kita digaji apa?” gerutu Aga bisk-bisik seraya melepas jaket yang menggantung ditubuhnya. Bumi malah menunjukan hal sebaliknya. “Lo kok malah kelihatan bersemangat banget seh!” protes Aga yang tak melihat garis kesal sedikitpun diwajah Bumi.
          Bagaimana tidak. Rindu itu kian bertumpuk mendesak dan akan segera tumpah bersama dimulainya pertunjukan Dian.
          “Gue tau… gue tau..., ini pasti karena penari itukan? Dian, right!” sentil Aga. “Trus Kinar?” tanya Aga iseng.
          Bumi menatap Aga tajam, memberi isyarat ketidak senangannya. “Please Ga!! Aku mohon jangan pernah bawa-bawa nama Kinar disaat seperti ini. Aku sayang sama Kinar.” Ada yang mengganjal dihati Bumi saat mengucapkannya.
          “Trus… how about Dian?” Aga tersenyum licik.
          “Dia… dia… hanya idola. Aku hanya mengemarinya saja, tak lebih!” rasa aneh itu kembali mengganjal dihati Bumi. ia mendustainya, mendusatai rasa rindu yang membuatnya menggigil.
          Bumi tak tahu salahkah rasa ini. Yang pasti, tak pernah ia merasa sesalah ini, menggilai sesuatu seperti dia menggilai Dian yang selalu muncul dilamunannya, dimimpinya. Bukanya hati tak pernah berbohong dengan apa yang ia rasakan. Rindu ini, kegilaan ini yang selalu membakarnya. Mungkin salah, karena saat ini ia milik Kinar.
          Merekapun berpencar, mengerjakan tugasnya masing-masing.

*        *        *

          Pestapun dimulai. Dibuka dengan wine party, kemudian aksi bintang tamu yang menyanyi dipanggung sesekali membawa serta para pengunjung untuk menemaninya bergoyang. Semakin malam, pesta semakin menggila. Penampilan para model-model lokal yang mengenakan busana-busana seksi, bahkan nyaris telanjangpun disuguhkan. Bumi tak begitu menghiraukannya, dengan setia ia menanti acara yang ia nanti-nantikan.
          Acara puncakpun digelar. Sosok yang Bumi rindukan muncul dari balik layar dengan busana seperti balutan selendang marun tipis. Langkah sang penari begitu ringan, geraknya dipenuhi kreografi yang begitu memukau. Bumi kehilangan semua kata-kata, ia terkesima. Rindunya terpenuhi. Tatap Bumi lekat, tak mau kehilangan sedikitpun aksi sang pujaan, menyoroti setiap geraknya, melepaskan rasa rindu yang berhari-hari terpenjara dihatinya.
          Sama halnya dengan Bumi, seolah semua pengunjung yang memandang terhipnotis dengan pertunjukan itu. Begitu senyap, yang terdengar hanya suara musik yang mengiringi gerak anggun sang penari.
          Tiap helai selendang tipis yang membalut sang penaripun dilepas satu persatu. Semua pengunjung mulai menganga dan bersiap menyediakan ember penampung air liur. Bumi menyaksikannya seksama, penuh penghayatan dan ia menemukannya sekali lagi. Air mata yang mengaris dipipih merahnya. Hati Bumi kembali terisris, bertanya-tanya. Apa gerangan yang membuatnya berair mata. Semua pengunjungpun hanyut bersama gerak sang penari hingga lampu padam sejenak bersama usainya pertunjukan mahadaya tersebut.
          “Bum, ntar lo yang nyetir ya!” Aga memberikan kunci mobilnya. Wajah Aga terlihat kemerahan, aroma tubuhnya berbau dan dia kehilangan keseimbangan. Dari kejauhan Mas Andi yang memperhatikan mereka dan mengeleng-gelengkan kepalanya.
          Bumi terkesiap. Masih ada rasa rindu tertinggal dihatinya bersama pesona yang Dian tinggal diatas panggung. Begitu mengagumkan, merasuki Bumi hingga ia tak dapat berhenti memikirkannya. Detik itu juga Bumi merindu.
          Bumi melangkah kebelakang layar, berharap masih dapat melihat sang penyulut api rindu disana. Langkah sedikit gontai meragu, namun terkalahkan dengan rasa yang begitu kuat mendesaknya, mendorongnya untuk segera memenuhi rindunya.
          Dan Bumi menemukannya disana. Dian berjalan menuju toilet di belakang club. Ia terlihat begitu tergesa-gesa. Bumi hanya memperhatikannya dari kejauhan, sembunyi-sembunyi. Tak lama, seorang pria tambun berstelan kemeja kantoran lengkap dengan dasi yang mengendur masih menggantung dilehernya, berjalan sedikit sempoyongan mengikuti Dian kedalam toilet tanpa menghiraukan tulisan yang menggantung di pintu toilet. Ladies.
          “What the hell are they doin’ there?!” bisik Bumi dalam hati yang menatap dari kejauhan penuh curiga. Hatinya semakin bingung, mengutuk apapun yang terjadi didalam sana.
          Baru saja Bumi akan berbalik meninggalkan toilet itu, tiba-tiba Dian keluar dari toilet dengan langkah seribu, sedikit berlari. Suara ketukan tumit stileto yang Dian kenakan mengema dikesunyian. Kemudian disusul dengan pria tambun itu yang berjalan sempoyongan mempertahankan kesadaranya sambil meneriakan nama Dian yang semakin tak terkejar olehnya.
          “Dian… Dian!! f@#*ck of you!! Damned!!” makinya, kemudian berbalik arah menyerah.
          Bumi semakin dipenuhi tanda tanya, tapi ia tak menghiraukan pria tambun itu, ia mengejar Dian yang keluar lewat pintu belakang klub. Dikejauhan ia melihat Dian yang berdiri tak tenang dipinggir jalan. Ia terlihat gusar, wajahnya terlihat mengkhawatirkan sesuatu begitupun tak mengurangi kecantikannya.
          Tak lama sebuah mobil sedan hitam menepi menghampiri Dian, tapi Dian malah menjauh. Dari mobil mewah itu keluar pria yang mengejar Dian tadi. Pria itu menghentikan langkah Dian, menarik lengannya kasar, memaksa Dian untuk ikut bersamanya. Semakin Dian berontak, semakin kasar pula pria itu. Sia-sia perlawanan Dian, pukulan-pukulan kecilnya tak dirasa pria tambun raksasa itu. Tubuh kecil Dianpun terseret cengkraman pria itu. Habis sudah kesabaran Bumi. Ia mulai Gerah dengan tingkah pria itu. Tak rela melihat pujaan hatinya tersakiti, Bumipun menghampiri pria itu.
          “Mau apa kam..@#$...”
          Tinju Bumi lebih dulu mendarat ke wajah pria itu. Pria itu tumbang dengan hidung penuh darah. Sesaat Bumi melihat kearah Dian yang terlihat kalud. Ia ketakutan. Tubuhnya bergetar, matanya yang berkaca-kaca mulai menumpahkan air mata. Ia menatap Bumi bingung. Ada sesuatu yang tka bisa dijelaskan dengan kata-kata saat mata mereka bertemu pandang. Ada suatu getaran lembut yang menjalari sekujur tubuh Bumi. Tak pernah Bumi bayangkan betapa sangat cantiknya wanita yang ia puja jika dilihat dari dekat.
          Beruntung pria itu setengah mabuk, jadi Bumi tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk menjatuhkannya. Cukup sekali bogem, Teng…Teng… Bumipun menang KO.
          Tanpa basa-basi Bumi meraih tangan Dian yang terlihat bigung, membawanya ketempat yang lebih aman. Bumi tak tahu harus berbuat apa lagi, ia membawa Dian ketempat mobil Aga terparkir dan langsung membukakan pintu untuk Dian yang masih terlihat bingung, mempersilahkannya masuk hanya dengan bahasa tubuh. Lidahnya masih kelu ia rasa, hingga tak sepatah katapun bisa lugas keluar.
          Dian masih terkejut dengan kejadian tadi. Ia kembali menatap Bumi dan Bumi semakin salah tingkah. “Kita mau kemana?” tanya Dian dengan suara sedikit bergetar.
          “hmm… hmm… tempat yang lebih aman tentunya…” akhirnya lidah Bumi dapat digerakan walau dengan terbata – bata.
          Sekalipun Dian tak mengenal Bumi, tapi rasa percaya terpancar disorot mata Dian yang memendang ketulusan di mata Bumi. Ia melangkah masuk kedalam mobil dan diikuti dengan Bumi di bangku kemudi dan merekapun pergi menjauhi klub.
          Mobil itu melaju cepat, menjauhi TKP, tanpa arah yang pasti.
          Didalam mobil keduanya hanya diam. Sesekali saling melirik dan jika tatap mereka bertemu, keduanya saling membuang pandang malu. Didalam hati, Bumi masih bertanya-tanya benarkah yang ia lakukan. Mencoba menyadarkan diri bahwa ini nyata. Ia berdekatan dengan Dian bahkan berdua dalam satu mobil. Ia mati-matian mencoba membenam rasa gugup yang jelas tergambar ditingkahnya.
           Tak pernah ia sedekat ini dengan Dian. Seandainya saja ia tadi tak jadi pergi ke klub. Seandainya saja tadi ia tak mengikuti Dian. Seandainya saja pria itu mengganggu Dian hingga memancing rasa pahlawannya. Semua karena refleks, detik inipun terjadi.
          Ingin Bumi menatap wajah rupawan itu, melapas rindu yang tertahan dihatinya. Ingin Bumi berkenalan selayaknya orang saat pertama kali bertemu, berjabat tangan dan saling mengucap nama. Tapi ia tak tahu apa yang membuat sekujur tubuhnya membeku, begitu sukar digerakan walau hanya untuk bejabat dan mengucap hai. Dikumpulkannya keberanian tapi tertahan diujung lidah, hingga mentok pada satu persimpangan.
          “Hmm… kita kemana ya??” tanya Bumi terdengar gugup.
          Dian tak langsung menjawabnya, ia memikirkan sesuatu, hingga akhirnya ia menyerah. “Terserah kamu…” jawabnya pelan.
          “Hmm… rumah kamu??”
          “Jangan!!” sergah Dian. “Laki-laki kurang ajar itu pasti ada disana…”
          Bumi hanya terdiam memikirkan pilihan selanjutnya. Hotel dan rumahnya. Ia tak tega harus meninggalkan Dian dihotel sendiri karena Bumi telah membuatnya kehilangan rumah. Tapi kalau dirumahnya, segala kemungkinan dapat terjadi disana. Bumi tak mampu membayangkannya. Terlalu seram atau malah terlalu menggoda.
          “Rumah kamu saja…” tawar Dian pelan. Suaranya masih terdengar bergetar.
          Bumi tak mampu menolaknya. Dalam hati ia begitu senang. Mobilpun melaju dengan pasti, membelah ruas jalanan yang mulai sepi.

*        *        *

          Sesampainya di apartmen yang lebih mirip rumah susun itu, dengan santun penuh perasaan Bumi membukakan pintu untuk Dian. Dipersilahkanya duduk disofa bulat diruang tamunya.
          Pandang Dian berhambur keseluruh arah ruangan. Memperhatikan tiap sudutnya. Begitu rapih, begitu bersih dan nyaman. “Apartmen kamu?” tanyanya lugas.
          “Yah… pemberian Bokap.” Jawab bumi singkat, langsung menuju kedapur dan melakukan ritual malamnya. Menghidupkan coffee maker dan menyiapkan kamar yang akan Dian inap.
          Sedang Dian, ia memandangi  deretan figura yang menggantung dan berdiri rapih di atas meja. Ia begitu menyukainya. Ada banyak senyum disana. Ada banyak cinta difoto-foto itu.
          “Kopi?” tawar Bumi, menyodorkan mug berisi kopi.
          “Makasih.” Dian meraih mug itu dan mendapati Bumi sekaku robot.
          “Hmm… kopinya masih panas. Hati-hati minumnya.” Bumi mengingatkan Dian masih dengan gaya robotnya.
          Keduanya duduk disofa coklat di ruang tamu. Begitu hikmat menikmati kopi hingga tak terdengar apapun. Tak ada obrolan-obrolan walau hanya sekedar basa basi saja. Keduanya saling lomba diam. Akhirnya Dianpun menyerah, menyudahi aksi diam-diaman itu.
          “Hmm, nama kamu siapa?” tanyanya, “Saya Dian.” Ujar Dian, berusaha mencairkan suasana.
          “Saya Bumi…, hmm… kalau kamu mau istirahat dikamar saja! Baju ganti juga sudah saya siapkan…” Bumi mulai terbiasa dengan Dian yang selalu ia khayal – khayalkan.
          “Makasih…” Dianpun mulai terbiasa. Ia percaya Bumi pasti orang baik, semua tergambar jelas di tingkah kaku Bumi dan cara Bumi memperlakukannya. Sangat baik. Tak banyak pria yang memperlakukan Dian seperti ini bahkan hampir tak pernah. Apalagi lagi jika laki-laki itu tahu profesi yang Dian geluti. Ia merasa begitu dihormati sebagai wanita seutuhnya. Bumi menyentuh hatinya. Dian kembali menyeruput nikmat kopi yang mulai menghangat.
          Bumi menyeruput kopi hangat miliknya. Lagi dan lagi seolah tak menghiraukan panasnya. Banyak yang ingin Bumi tanyakan pada Dian tapi mulutnya berat berkata-kata. Perlahan ia melepas rasa rindunya. Begitu jauh dari khayalnya, Dian terlihat sangat cantik. Menurutnya Dian tak perlu melakukan tarian atau melapas busananya untuk membius para penghuni club, karena hanya dengan melihatnya menyeruput kopi saja sudah membuat siapa saja ynag melihatnya mabuk kepayang. Bumi kembali menyeruput kopi hangatnya.
          “Kalau Begitu saya istirahat dulu…”
          Bumi terkaget. “Oh ya… silahkan!” ia menunjuk kearah kamarnya, mempersilahkan Dian yang kemudian mengikuti arah tangan Bumi yang menuju kamarnya.
          Senyum Dian merekah sebelum akhirnya hilang terhalang pintu coklat bertempel beberapa poster anime yang salah satunya bergambar Doraemon.
          Tatap Bumi lekat tak lepas menghantarkan Dian hingga senyum poster doraemon menggantikan senyum Dian. Ia terkulai lemas, meringsut diatas sofa. Senyum Dian mengambang, melayang-layang di fikirannya.
          Tak lama ia mendengar suara rintik air yang tertuang dari shower. Aroma lavender menyusup dari celah-celah pintu, menyeruak seisi ruangan. Didalam sana Dian sedang membersihkan tubuh indahnya, naked... n a k e d!! Bumipun semakin terhanyut oleh khayalnya.
          “Shit!!” Bumi membuyarkan lamunannya yang sudah kelewat batas. Ia mengambil bantal kecil disofa, menjadikannya alas kepala, iapun membaringkan tubuhnya diatas sofa dan berusaha untuk secepatnya tidur. Tapi lamunannya sukar dikendalikan karena sekarang Dian yang selalu ia puja ada dikamarnya, nyata, tertidur pulas diatas tempat tidur yang selalu ia gunakan untuk menjemput mimpi. Dan seandainya saja ia ada disamping Dian yang saat ini pulas berbalut kemeja putih tipis…
          Shit! Shit! Shit...!” ia semakin sulit tidur.
 Bumi beranjak menuju beranda, membukanya, membiarkan angin pagi masuk. 2.30 dinihari, langit terlihat membiru sangat indah. Cahaya bulan menembus awan hitam yang menghalanginya. Di bawah dilihatnya cahaya temaram lampu-lampu kota. Semua begitu indah.
Semilir angin yang sejuk membawa kantuknya hingga ke pelupuk mata dan  tertahankan lagi. Bumipun beranjak, kembali ke sofa yang siap menghangatkannya.  


*        *        *

          Bumi terbangun setelah mendapati cahaya matahari yang masuk dari beranda yang semalam lupa ia tutup menyilaukan matanya. Ia menuju beranda sempoyongan, menyapa pagi. Matanya semakin menyipit saat cahaya matahari pagi menyergap       sekujur tubuhnya. Hangat hingga kedasar hati.
          Matanya yang masih sembab melirik kearah jam dinding yang menggantung. 8:45. Kemudian ia berjalan menuju dapur, menghangatkan kopi sisa semalam. Mekanisme  yang tak bisa ditawar lagi, hari-hari Bumi selalu diawali dengan semug kopi hangat dan tanpa disengaja selalu diakhiri dengan kopi pula. Jangan pernah tanya stok kopi Bumi. Ia punya lebih banyak dari pada stok beras. Dan jangan pula tanya stok teh miliknya, ia terlalu malas untuk menyeduhnya. Tiada hari tanpa aliran kafein di dalam tubuhnya.
          Ia menuangkan kopi hangat itu kedalam mug yang semalam ia gunakan. Menyeruptunya nikmat, hingga kantuk benar-benar lenyap. Dian, nama itu kembali terlintas dibenaknya. Ia kambali mengingat mimpinya tentang Dian tadi malam. Dian sungguh membuatnya tergila-gila. Senyum tipis mengembang di wajahnya.
          Harusnya Bumi datang menghampiri Dian yang terlelap diranjang, membawakan secangkir kopi hangat, beberapa roti bakar madu dan stangkai bunga mawar, kemudian membangunkannya mesra. Bumi mengambil nafas panjang dan kembali menyeruput kopinya.
          Perlahan Bumi memberanikan diri, ia melangkah kearah kamar sang putri dengan mug berisi kopi hangat. Pintunya terbuka sedikit, ia memberanikan diri untuk mengetuknya, tapi tak ada sahutan. Bumi pun memberanikan diri membuka daun pintu dengan hati-hati.
          “Permissssiiii…” ia melangkah kedalam tapi tak ia dapati sangputri disana, tidak dikasur, tidak dikamar mandi yang pintunya menganga lebar, kemeja yang semalam ia berikan sebagai baju ganti untuk Dian tergeletak kusut diatas kasur. Sang putri menghilang.
          Bumi meletakakan mug kopi itu diatas meja disamping tempat tidur yang masih berantakan, sang putri pergi terburu-buru. Seketika  itu Bumi merindu. Ia menjatuhkan tubuhnya diatas kasur yang masih menyisakan aroma harum tubuh Dian. Ia memejamkan matanya mencoba menghadirkan bayang Dian dalam fikirannya. Ingatannya me-reply kejadian semalam yang menempatkannya seperti seorang super hero yang menyelamatkan sang putri dari naga mabok. Wajah cantik Dian melintas seperti potongan-potongan film didalam fikirannya. Bumi terhanyut hingga satu ketika terhenti, terbentur sesuatu yang terlupakan.
          “Aga…!!” teriaknya, terperanjak kaget.
          Ditempat lain, diclub, Aga terbangun dari tidurnya yang nyaman diatas sofa kulit dan ditemani botol-botol minuman. Ia menguap lebar, mengucek kedua matanya, sekitar mulut dan dagunya dibasahi air liur, tanda semalam ia tidur pulas, celingukan kanan kiri…
          “…Bumi mana ya?” gumamnya.





Keping 6
Shut up and drive…

       Kejadian kemarin membuat Bumi semakin terobsesi dengan sosok Dian. tingkahnya seperti anak ABG yang baru pertama kali kasmaran. Sprai itu, bantal itu dibiarkanya tak berganti sejak semalam, lebih tepatnya sejak Dian meninggalkannya. Kemeja putih yang Dian kenakan kemarinpun masih tak tersentuh laundry, menjadi teman tidur dikala rindu melandanya dipenghujung hari.
          Ia semakin dihantui bayang-bayang Dian yang membuatnya semakin tak kuasa menahan semuanya. Ia digempur habis-habisan, didalam khayalnya, didalam mimpi-mimpinya,  Bumi menyerah takmampu melawan rasa yang terus membuainya.
          Sering Bumi merasa dirinya begitu naif, mencintai wanita yang tak mungkin mencintainya bahkan mungkin wanita itu sudah lupa siapa namanya. Bumi bimbang dengan perasaannya sendiri. Kinar dan Dian. Bumi pernah mengalami masa-masa kasmaran yang indah bersama Kinar yang jelas membalas cintanya, indah tapi tak seindah yang ia rasakan sekarang terhadap Dian. Meskipun Bumi tak pernah tahu apa yang Dian rasakan terhadapnya yang baru semalam resmi berkenalan.
          Semua teman-temannya mulai protes dengan tingkah Bumi yang selalu bermimpi tanpa kenal waktu dan tempat. Termasuk Kinar. Sering Kinar mendapati Bumi melamun saat mereka berdua. Baginya tak ada yang lebih menjengkelkan dari pada bicara sama orang yang tak mau mendengarkannya, apa lagi dengan kekasihnya sendiri. Beruntung Bumi dapat meyakinkannya dengan kebohongan-kebohongan dramatis.
          Ia menghela nafasnya panjang, memutuskan untuk segera berhenti dari kegilaan ini. Ia tak mau berharap lebih untuk rasa cintanya terhadap Dian, biar semuanya tertanam hanya dihatinya saja.
          *sight...
          Ia membuka laci diantara pintu lemari kaca dikamarnya, meraih kantungan merah yang diberikan Om Firman saat dibandara. Ia memutuskan untuk menerima tawaran Om Firman untuk tinggal dirumahnya dan berharap semoga penyakit halusinasi berlebihannya tentang Dian dapat sembuh disana.
          Bumi menggenggam erat kantungan merah itu, segera berkemas dan bangkit dari keterpurukannya,  bangkit dari lamunan-lamunannya tentang Dian.

*        *        *

          Satu setengah jam perjalanan Bumipun tiba di kediaman Om firman. Ia menuntun sepeda motor butut modifikasinya, menghampiri pintu pagar kayu yang menutupi sekeliling rumah. Hanya pucuk pepohonan yang terlihat dari luar. Dan yang paling menonjol adalah pohon kamboja yang terlihat begitu besar menjulang melewati pagar. Harumnya menyeruak manambah kesan angker.
          Pintu pagar itu terlihat begitu kokoh. Terbuat dari kayu beton berwarna coklat gelap, bentuknya persis gapura pura di Bali.
 Dengan rasa penasaran Bumi menekan bel yang bertengger disamping pintu dengan pasti, sekali, kuat, dan lama. Tak lama dari balik pagar muncul wajah seorang bapak setengah baya, celingukan melihat siapa yang menekan bel.
“Den Bumi??” pria itu memastikan.
Bumi sumringah membalas tatapan bingung si bapak. “Ya pak… ini Bumi.” Bumi membenarkan.
Dengan sigap sibapak langsung membukakan pintu untuk Bumi, dan langsung menyambutnya dengan pelukan hangat. “Wah… lama Den gak kesini lagi. Sedang sibuk?” tanyanya hangat.
“Gak juga pak…” Bumi segera mengiring sepeda motor miliknya memasuki pintu pagar kokoh itu, dibantu Pak Dedek dari belakang.
“Gimana kabarnya Den? Sehat-sehat saja kan?” tanyanya, sambil mendorong sepeda motor Bumi dari belakang.
“Baik Pak. Pak Dedek sendiri?”
“Yah gitulah Den, namanya juga orang tua, paling pikunnya nambah.”
Bumi melihat kesekelilingnya. Pekarangan itu begitu luas, ditumbuhi bermacam – macam tumbuhan. Baru setengah tahun ia tak mengunjungi rumah ini, tapi begitu banyak perubahan disana sini. Pekarangannya terlihat seperti taman yang luas yang didominasi tumbuh-tumbuhan hijau dan pohon-pohon besar,  sungguh rimbun. Beberapa jenis Bunga juga hidup disana, anggrek, melati, mawar, menambah asri suasana. “Wah… ini Bapak yang tanam semua?”
“Ah siapa bilang! Ini semua Ibunya Aden yang ngerjai, Bapak Cuma bantu-bantu aja… kebun angrek yang disana tuh juga ibu yang menanam.” Pak Dedek menunjuk kearah dereten anggrek yang ditanam sistematis, tertata.
Sejak dulu Ibu memang menyukai anggrek dan menginginkan kebun angrek sendiri. Dulu sewaktu Bumi tinggal berdua bersama Ibu, mereka mempunyai beberapa pohon anggrek yang ia letak di halaman rumah yang nyaris tak ada. Tapi sering pohon anggrek itu mati sebelum waktunya berbunga. Ibu terlalu sibuk mengurus Bumi hingga melupakan hoby sederhananya itu. Dan jika berbunga pasti tak akan tahan lama, tangan-tangan jahil anak tetangga penyebabnya.
Bumi tersenyum, membayangkan betapa bahagianya ibu sekarang. Anggrek-anggrek itu terlihat sehat terawat, bunganya mengembang menyertakan senyum ibu ditiap kelopaknya.
Bumi kembali melemparkan pandangannya kesekeliling rumah. Mengumpulkan memori kolektif yang bertebaran disana. Sebelumnya Bumi pernah tinggal dirumah ini hingga akhirnya ia memutuskan untuk hidup mandiri dan membiarkan Ibu hidup bahagia dengan Om Firman. Alhasil, Om Firman yang telah bebas dinaspun menyuruh Bumi untuk menempati sebuah flat kecil ditengah kota miliknya.
Bagasi. Dahulu bagasilah menjadi tempat paforitnya. Karena disana terparkir mobil-mobil mewah milik Om Firman. Bumi selalu bermimpi mengendarai salah satu mobil mewah itu, tapi dahulu ia belum dapat menyetir. Pernah Om Firman menawarkan salah satu mobilnya kepada Bumi tapi Bumi menolaknya. Melihat ibunya bahagia dan sebuah flat sederhana sudah cukup baginya.
“Silahkan Den… biar saya saja yang bawa sepeda motor Aden.” Pak Dedek mengambil alih sepeda motor dari Bumi dan memarkirkannya didepan bagasi.
“ Makasih Pak…” Bumi berjalan menuju pintu depan rumah, diikuti Pak Dedek yang berlari kecil menyusul Bumi. Didepan pintu mereka disambut oleh Mimin dengan ramah. 
“Siang Mas Bumi?” sapanya dengan senyum ramah.
“Siang juga.” Balas Bumi tak kalah ramah.
“Lama mas gak kesini?” ia kembali tersenyum.
“Yah, sudah lama aku gak kesini…”
“Kita sudah menunggu Mas Bumi dari kemarin, Bapak sama Ibu juga nelpon tadi malam, nanyai Mas.” katanya, dengan senyum yang masih menggantung.
“Oh ya?”
“Kalau begitu Bapak lanjutkan pekerjaan Bapak yang dulu ya Den…” sahut Pak Dedek disela basa – basi Mimin dan segera berlalu, melanjutkan pekerjaannya.
“Mas mau minum apa? Jus jeruk? teh lemon?” tawarnya masih dengan senyum seringai.
“Nanti aja, makasih… hmm aku mau kekamar langsung, istirahat dulu aja.”
“Silahkan Mas, kamar mas juga sudah kita siapkan.” Mimin kembali tersenyum.
Bumipun langsung menaiki tangga yang membawanya kelantai paling atas dirumah ini dan diikuti Mimin dari belakang. Dipintu kamar itu masih ada tertulis boys room dan bertempel poster tokoh kartun kegemarannya, Doraemon. Sekalipun Bumi rajin menjenguk Ibu dirumah ini, tapi ia tak pernah tahu kalau kamarnya masih tetap seperti dahulu. Ia menekan tangkai pintu dan melangkah masuk, dan mimin…
“Maaf saya mau istirahat dulu…” sergah Bumi yang sedikit risih dengan tingkah mimin.
“Yah… yah… silahkan Mas.” Ujar Mimin dengan senyum yang lama-kelamaan terlihat makin aneh. Dan kali ini ia menunjukan semua jejeran gigi putihnya.
Bumipun membalasnya dengan senyum garing tak kalah lebar. Dan wanita itupun berlalu seiring Bumi yang melangkah masuk.
Didalam kamar, Bumi memperhatikan sekelilingnya. Masih sama seperti dahulu. Wall paper, tempat tidur, bed cover, lemari, bahkan poster-poster yang menempel masih sama seperti dahulu. Hanya beberapa prabot saja yang hilang dan berganti dengan yang baru.
Seusai meletakan barang dikamar, Bumi keluar melihat-lihat seisi rumah yang menurutnya terlalu luas untuk ditinggali keluarga kecil Om Firman. Pantas saja Om Firman tak pernah lelah membujuk Bumi untuk tinggal kembali kerumah ini, disini terlalu sunyi. Jika kita bersuara akan mengema keseluruh penjuru rumah.
Diruang tamu terpajang figura-figura foto. Didinding, dimeja, semua tertata rapih ditempatnya. Gambar Om Firman, Ibu, Bumi, dan kedua putri Om Firman yang saat ini tinggal di negeri kengguru bersama suami-suami mereka. Semua terlihat bahagia, saling melengkapi, keluarga yang sempurna. A family potrait. Dahulu mereka hanyalah orang-orang yang merindukan kehangatan keluarga dan kini meraka adalah satu keluarga seutuhnya.
Om Firman adalah seorang yang sukses menjalani karirnya, tapi tidak dengan kehidupan pribadinya. Setelah ia bercerai dengan istrinya, kedua putrinya lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ibu mereka dibandingkan dengan Om Firman yang semakin tenggelam dengan kegiatan kantornya. Ia menjadi seorang work kholic, yang hampir tak punya waktu untuk hal-hal pribadi termasuk kumpul bersama putrinya.                Sering Bumi mendapati kerinduan di tatapan Om firman yang selalu menatapnya hangat. Kerinduan yang juga pernah ia kecap, kerinduan yang selalu membayangi Ibu. mereka merindu kehangatan keluarga.
Pernah satu ketika Om Firman mengundang Bumi dan Ibu makan di malam natal, di kediamannya. Dihari besar seperti natalpun kedua putrinya lebih memilih untuk merayakannya bersama Ibu mereka. Om Firman menghadiahkan Bumi sebuah mobil-mobilan yang digerakan dengan remote control. Betapa bahagianya Bumi saat itu. Itu pertamak kalinya Bumi merasakan hangatnya keluarga yang lengkap. Begitu hangat, mereka duduk diantara meja bundar disamping pohon natal yang sudah dihias dengan lampu flip-flop berwarna warni, menikmati hidangan lezat khas natal. Sungguh momen yang tak terlupakan bagi Bumi.
Lebih beruntung Bumi, ia masih punya Ibu sebagai teman berbagi. Saat lebaran tiba mereka dapat mengerjakan hal-hal menyenangkan berdua. Membuat ketupat, shalat ied, takbiran, semua mereka lakukan bersama-sama, walau kadang sering Bumi mendapati Ibu menangis tersedu saat takbir bersahut-sahutan di malam lebaran, sambil menggenggam foto Kakek dan Nenek.
 Tak ada acara mudik, karena mereka tak tahu harus mudik kemana. Hanya Om Firman yang rutin datang membawakan Bumi bermacam-macam jenis kembang api di malam takbiran dan kembali lagi esok paginya untuk menikmati ketupat buatan Ibu. Tak ada sanak saudara yang perlu dikunjungi mereka, maka lebaran dihabiskan mereka dengan berkeliling kota. Tapi kini, tak ada satu lebaranpun yang mereka lewatkan tanpa kebersamaan. Kini mereka benar-benar lengkap.
Bumi kembali menyusuri ruang demi ruang. Banyak perubahan yang Bumi lihat ditiap sudut. Dekorasi yang berubah dan beberapa perabot baru yang kebanyakan terbuat dari bahan kayu yang dicat coklat sederhana, koleksi barang antik Om Firmanpun bertambah banyak.
Dikejauhan terlihat Pak Dedek yang perlahan mendekati Bumi.
“Den ini ada titipan Bapak. Katanya kalau Aden mau keluar gunain ini aja.” Pak Dedek  menyerahkan beberapa kunci mobil ketangan Bumi.
“Oh ya… makasih pak.” Bumi menerimanya dengan senang hati. Sejak dulu Bumi bermimpi dapat mengendarai mobil-mobil dibagasi Om Firman, hatinya bersorak sorai. Bumi mengantunginya, bersama Pak Dedek, Bumi melanjutkan langkahnya menuju taman rumah. Tanpa ia sadari ia telah berhasil melupakan Dian, walau hanya untuk beberapa saat.

*        *        *

Malam pertama dirumah Om Firman ia lewati tanpa kopi melainkan jus. Bumi terlupa dengan kebiasaan yang sudah mendarah daging itu, ia terlelap dengan suasana nyaman dirumah ini. Dan saat pagi, kopi berganti dengan segelas susu hangat, sekali lagi ia terlupa akan mekanisme yang selalu terjadi di hari-harinya.
Hari ini ia berencana meluluskan semua mimpi-mimpinya untuk mengendarai mobil Om Firman. Bimbang memilih antara kedua mobil mewah keluaran VW atau Marcedez Benz, akhirnya Bumi memilih jalan tengah untuk tidak menggunakan keduanya dan memimilih mobil yang lebih sederhana, dengan pertimbangan agar penyakit jantung Aga tak kambuh. Karena Aga bisa mati tiba-tiba jika melihat Bumi jalan dengan mobil mewah. Bukan karena ia iri, tapi karena Bumi terlalu banyak menggarap lahannya.
Mobil metic berwarna merah itu melintas membelah jalan kota dengan pure shores, All Saint, mengalun over loud. Dengan fasih Bumi mengikuti liriknya.

I’ve crossed the desert for miles
Swam water for time, searching places to find
A piece of something to call mine
          I’m moving, I’m coming can you hear what I hear
          It’s calling you my dear out of reach (take me to my beach)
          I can hear it calling you
          I’m coming not drowning swimming closer to you
Many faces I have seen, many places I’ve been
Walked the deserts, swam the shores
Many faces I have known, many ways in which I’ve grown
Moving closer on my own...

Sebelum siaran, Bumi menyempatkan diri untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal dikamar flatnya. Dengan langkah riang, ia berjalan menuju kamarnya, tapi belum sampai kepintu masuk, ia melihat seseorang yang tak asing lagi, duduk dibangku, disamping pos satpam yang tak lagi dijaga. Bumi menajamkan matanya, menyakinkan apa yang ia lihat, langkahnya berjalan menghampiri, semakin dekat, semakin cepat.
Dian. Wanita itu adalah Dian. Mengapa ia ada disini, fikir Bumi. Wajahnya terlihat lusuh, Dian pasti sudah lama menunggu Bumi disana. Bumipun menghampirinya.
“Dian?” sapanya memastikan.
Dian hanya tersenyum masam dengan mata yang berkaca-kaca. Wajahnya terlihat begitu lelah, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Melihat keadaan Dian yang begitu kacau, tanpa banyak bertanya, Bumi langsung memapahnya masuk kedalam flat. Dengan sigap ia segera kedapur, mengambilkan segelas air putih hangat untuk Dian.
“Kamu minum dulu…” khawatirpun menghampiri Bumi.
Dian yang terduduk lemas diatas sofa maraih gelas berisi air putih hangat yang Bumi beri, dan meneguknya.
“Kamu sakit? Kamu istirahat dikamar saja?”
“Makasih” suara Dian terdengar lemah. “Saya gakpapa, cuma lelah saja… Maaf ya, saya sudah merepotkan kamu.” Dian menundukkan kepala.
“Hmm… Kamu kenapa? Ada yang bisa saya bantu?” Bumi semakin salah tingkah.
“Saya… Saya… Boleh tinggal disini untuk beberapa hari tidak?” tanya Dian terbata-bata, matanya berkaca-kaca menatap Bumi penuh harap.
Bumi hanya terdiam, membalas tatapan Dian yang begitu mengiba. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana, didalam hatinya ia teriak senang karena akhirnya ia akan berhenti membayangkan Dian karena ia bisa melihat Dian nyata disini, tapi tanda tanya besar memblokir bahagianya. Apa gerangan yang terjadi dengan Dian?
“Oh… Tentu! Kamu boleh…” Bumi memilih untuk mengubur tanda tanya itu, ia tak mau menambah beban Dian dengan pertanyaan-pertanyaannya. “Kalau kamu lelah istirahat dikamar saja, kalau kamu mau ganti baju ambil saja di lemari, anggap saja ini rumah kamu sendiri.”
Dian tersenyum tipis dan menatap Bumi dengan haru, hingga tak mampu menahan air mata yang dari tadi tertahan dipelupuk matanya.
Melihat Dian menangis, Bumi semakin salah tingkah. “Kamu gakpapa?”
“Maaf… makasih, ternyata kamu memang pria yang baik…” Dian kembali tersenyum tipis kearah Bumi.
Mendengar kata-kata Dian, pipi Bumi terlihat memerah, hatinya berdetak kencang tak karuan, Ia tak bisa menyembunyikan rasa malunya. “Hmm… Sebentar ya.” Bumi melangkah kekamar tidur, membuka lemari dan mengambil sesuatu untuk diserahkannya kepada Dian. “Ini…” serahnya ke Dian.
“Apa ini?” tanya Dian bingung mendapati rentengan kunci digenggaman Bumi.
“Kunci duplikat flat ini, kamu saja yang simpan. Anggap saja ini rumah kamu…” Bumi tersenyum ramah, mulai dapat beradaptasi dengan sang idola.
Dian meraihnya dengan senyum tak kalah ramah. Hatinya begitu yakin kalau Bumi pasti akan menerimanya, karena sejak awal bertemu Dian percaya kalau Bumi adalah pria baik.
“Maaf saya saat ini aku tak bisa nemani kamu…” Bumi beranjak menuju kamar dan mengambil beberapa benda kecil yang tertinggal didalam laci lemari. “Saya pergi dulu, kamu tak perlu sungkan, anggap saja rumah sendiri.”
“Terima kasih…” Dian menatap Bumi penuh dengan rasa terimakasih.
Dan Bumi membalasnya dengan senyuman manisnya. “Bye...” Sebenarnya ada rasa yang mengganjal dihati Bumi, halus namun begitu kuat. Bumipun meninggalkan Dian dengan langkah yang berat, ia masih ingin bersama dengan Dian tetapi kesibukannya diluar tak dapat ditunda.
Didalam perjalanan tak henti-hentinya memikirkan Dian yang tiba-tiba hadir di hadapannya dengan sejuta misteri yang selalu mengitarinya. Bayang-bayang Dian kembali mengisi fikirannya setelah semalaman menghilang, kali ini dengan sejuta tanya dan pesonanya. Sampai detik inipun jantungnya masih berdetak kencang.
Ia kembali menghela nafasnya panjang, mencoba menenangkan hatinya, membersihkan fikirannya dan dengan sekali tekananpasti pada pedal gas mobil itupun dengan gesit melesat cepat menuju studio.
Didepan pintu studio, Aga memandang Bumi yang baru keluar dari mobil dengan mulut setengah menganga, tak percaya.
“Wah… mobil baru neh!” Ia berjalan menghampiri mobil yang Bumi parkir tak jauh dari pos satpam.
Bumi melangkah sedikit sombong, mengacuhkan Aga dan berlalu masuk kedalam studio.

*        *        *

Pagi-pagi sekali Pak Dedek membangunkan Bumi yang semalaman tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan Dian yang saat ini berada diflat miliknya.
Seusai membersihkan diri Bumipun digiring menuju ruang makan. Dimeja bundar yang cukup besar itu tersaji sarapan komplit. Beberapa pilihan minuman : susu sapi, jus jeruk, susu soya, dan air mineral, ditambah beberapa pilihan roti : roti bakar, roti tawar, roti isi, dengan beberapa pilihan selainya pula : selai kacang, selai nenas, selai stroberi dan madu, juga beberapa pilihan telur : telur mata sapi setengah matang dan telur rebus setengah matang. Semua menanti untuk Bumi lahap.
Bumi terlihat bingung, matanya terbelalak ,bibirnya digigit sambil mengaruk – garuk kepala.
“Ini sarapan saya?” tanyanya bingung.
“Ya untuk mas Bumi…” jawab Pak Dedek singkat.
“Tapi, Bukannya ini terlalu berlebih?” tanyanya lagi.
“Habis Pak Dedek gak tau seleranya Mas apa, jadi ya Pak Dedek suruh aja Mimin siapken semuanya. Yah, Mas Bumi tinggal pilih aja.”
Dikejauhan, Mimin yang sedang bersih-bersih rumah, mendengar namanya disebutpun melempar senyum khasnya kearah Bumi dan Bumi yang tak lagi mood senyum membalasnya dengan senyum seadanya, garing.
Kali ini Bumi memilih beberapa potong roti tawar dengan selai kacang dan madu sedang minumnya ia memilih segelas jus jeruk segar, maka segeralah ia terlupa dengan sandwich kotak, mie instan dan susu kreamer yang biasa menemani santap paginya. Bukankah sudah selayaknya ini terjadi, bisiknya dalam hati. Senyumpun menggaris dipipinya. Samar-samar alunan musik  beethoven’s symphony yang Pak Dedek putar, terdengar lembut menyatu, melengkapi suasana.
Selagi Bumi menyantap sarapan mewahnya, Pak Dedek datang menghampirinya dengan lembar koran dan beberapa lembar amplop seperti surat.
“Korannya Mas, ada suratnya juga nih…”  serah Pak Dedek yang langsung meletakkan kertas-kertas itu disamping Bumi.
Bumi yang masih sibuk dengan gumpalan lezat dimulutnya segera meraih segelas jus dan meneguknya.
“Makasih Pak…” sungguh tak menyesal akhirnya Bumi memutuskan tinggal disini, sudah seperti tuan besar saja rasanya.
Disingkirkannya lembar-lembar koran yang manghalangi pandangannya ke amplop-amplop yang lebih membutnya penasaran. Disudut kiri amplop tersebut terdapat beberapa perangko yang terlihat asing, berstempel air mail yang terlihat asing pula. Dikolom tujuan tertulis nama Bumi lengkap bercetak kapital : BUMI BIRU.
Sungguh pagi yang sempurna, fikirnya. Sarapan mewah dengan menu berbagai pilihan, plus iringan beethoven’s symphony ditambah dengan dua helai surat untuknya. Bukan karena apa-apa, tapi terakhir kali Bumi menerima surat yang langsung datang dari Pak Pos sewaktu ia masih duduk dibangku sekolah dasar. Card lebaran yang rutin dikirim setiap tahun oleh Bunda Wulan, adik Ibunya yang berada diJakarta.
Tak sabar, ia merobek ujung amplop itu hati-hati dan Bumipun mendapati  kertas bergambar menara eifel dan balon udara. Dikartu pertama tertulis pesan yang digores dengan pena runcing bertinta biru, aksaranya saling bergandengan, sedikit sulit dibaca. Tulisan Pak Dokter.
“Haloha… Bum, menaranya berat banget, jadi Om kirim gambarnya aja. Gak papakan?...” begitu bunyi pesannya. Bumi tersenyum sedikit bingung.
“Emang Haloha salam dari prancis? Bukannya dari Hawai??” senyumnya semakin melebar.
Pesan dari kartu kedua, sudah bisa ditebak isinya. Beberapa pesan nasehat dari ibu. Jangan lupa makan, jangan lupa shalat, jangan terlalu kecapean, dan “jangan, jangan” yang lainnya.
Seusai membacanya, Bumi kembali meletakkan kartu-kartu itu kedalam amplop dan menyimpannya rapih kedalam tas.
Keping 7
…Ugly duckling to pretty swan...

Sejak pukul  setengah delapan pagi Bumi sudah tiba di kantor tempat ia magang, padahal baru jam 10 nanti ia mulai masuk kerja. Ia duduk dibangku tamu di lobi gedung, menunggu Bang Himsar datang membukakan kantor. Menunggu adalah hal yang paling membosankan bagi Bumi. Wajahnya masih sembab, jarinya sibuk mengotak-atik telepon genggam. Tak banyak yang bisa ia lakukan dilobi tunggu sepagi ini, sms-an dengan Kinar atau Aga bisa sedikit membunuh waktu yang paling membosankan ini. Tapi untuk Aga, Bumi sedikit punya pengecualian, mahluk seperti Aga Bangun dipagi hari sungguh langka terjadi.

Pagi…

Pagi jg… ad apa Pak? Pg2 gini udh sms…

Gak ada, Cuma Bosan aj. Nunggu Bos lama bgt dtangny…
 lg apa nih Nar? Udh mandi blm? Kangen nih…L

PDA… pg2 udah gombal! Km msh di tinggal dirmh mama km ya?
             Kmrin aku telp aprtmen km, tp msn pnjwb yg jwb.

          Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Bumi dari belakang, membuat Bumi sedikit kaget.
          “Pagi-pagi udah sms-an…” suara Bang Himsar masih tetap terdengar tegas walau pagi-pagi seperti ini.
          “Eh, pagi Bang…” sambil mengikuti langkah Bang Himsar, jari Bumi dengan cepat mengakhiri acara sms-annya dengan Kinar.

Udh dl ya Nar, Bos dah dtng nih! Good day J

          “Tumben nih, pagi – pagi kamu sudah datang.”
          “Ia nih, lagi bosan dirumah Bang.” Jawab Bumi seraya melangkah masuk kedalam kantor yang dibukakan Bang Himsar.

*        *        *

          Hampir tak ada yang Bumi kerjakan dikantor, semuanya selesai dalam waktu 3 jam, alhasil pukul 11 lewat beberapa menit, Bumi sudah boleh keluar.
          Kali ini Bumi lebih memilih panas-panasan dijalan bersama motor bututnya. Bukan karena tak mau menaiki mobil mewah Om Firman lagi, tapi pertimbangan ekonomi. Jika Bumi naik mobil, ongkos minyaknya lebih mahal padahal selalu terjebak macet, sedang motor, walau tak gaya namun hemat. Hemat ongkos, hemat parkir dan hemat waktu. Dalam waktu kurang dari setengah jam Bumipun sampai di depan pintu yang akan menghantarkannya kepada Dian.
Ia menatap keatas, mencoba memandang beranda kamar. Jantungnya berdetak kencang tak menentu, keringatnya mulai mengucur membasahi, langkahnya ragu.
Selangkah demi selangkah, Bumipun akhirnya masuk, menaiki anak tangga yang membawanya menuju kamar. Lambat namun pasti, akhirnya diapun tiba didepan pintu kamarnya. Bumi tak langsung mengetuk pintu itu, dia memandangnya lama mencoba menenangkan degup jantungnya, mengumpulkan segenap keberanian dan kemudian mengayunkan tangannya ke arah wajah pintu, ia mengetuknya pelan.
“Knock… Knock…” Ketukan pertama tak dijawab.
“Knock… Knock… Knock…” Ketukan kedua sama saja.
Entah apa yang mendorong Bumi hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk memutar handle pintu. Pintu itu tak terkunci, ia semakin penasaran. Dibukanya pintu itu pelan, matanya mengintip dari sela kecil pintu yang terbuka perlahan-lahan. Ia tak mendapati Dian disana. Rasa penasaran kembali memaksanya beraksi. Ia melangkah perlahan hingga terlihat seperti mengendap-endap, tapi tetap saja dia tak menemukan Dian disekeliling ruangan. Satu-satunya ruang memiliki daun pintu sebagai penyekat hanya kamar selain pintu depan dan kamar mandi yang juga berada didalam kamar.
Tak berniat buruk, Bumi melangkah mendekati pintu kamar yang ternyata tak menutup rapat yang menyisakan celah kecil yang cukup memungkinkan untuk Bumi melihat kedalam kamar dengan sedikit konsentrasi. Hatinya berbisik ini salah, namun rasa penasarannya mengalahkan semua.
Ia menyipitkan matanya yang memandang menerobos celah kecil dipintu dan tiba-tiba jantungnya berdetak semakin tak menentu… aliran darahnya serasa mengalir deras… keringat mulai membasahi tubuhnya… ia tak mengerjapkan matanya sedetikpun, tak mau kehilangan pandangannya…Dian berdiri polos, tanpa apapun, mengeringkan tubuhnya yang baru selesai dibersihkan. Dia tak menyadari kehadiran Bumi yang langsung berlari keluar, menghentikan aksi gilanya.
Bukan kali pertama Bumi melihat Dian dengan keadaan polos seperti tadi, tapi kali ini beda, Dian terlihat semakin cantik dipagi hari, sangat berbeda dengan yang ia lihat di klub.
Jantung Bumi masih berdetak kencang, tak percaya dengan apa yang ia lihat tadi. Hampir ia percaya kalau Dian adalah bidadari. Rasa bersalah segera menghampiri Bumi yang langsung tancap gas menuju studio.

*        *        *
     
          Seperti biasa, semua penghuni studio sibuk dengan tugasnya masing-masing. Tapi ada satu yang kurang, mahluk studio paling menyebalkan tak menampakkan batang hidungnya distudio. Sudah pasti sukar terlihat karena hidungnya terlalu pesek. Aga tak terlihat disekeliling studio.
          “Wah cepat amat mas datangnya?” sapa Babe yang sibuk dengan kemocengnya.
          “Iya nih, lagi gak ada kerjaan Be. Eh, Aga mana ya Be? Biasa juga dia yang sudah nongol pagi – pagi gini.” Tanya Bumi.
          “Gak tau juga, biasanya sih pagi gina Aga dah nongkrong di pos si Togar.”
          Bumipun berlalu masuk kedalam ruang operator, meninggalkan babe yang kembali bekerja. Bumi duduk disamping Jimmy, memperhatikan duet David dan Boim siaran.
          “Wah, tumben pagi amat datangnya mas?” tanya Jimmy yang sedikit kaget melihat Bumi yang sudah duduk disampingnya tanpa ia sadari.
          “Iya nih, lagi gak ada kerjaan aja.” Bumi memandangi pasangan sejoli sejati itu siaran, tapi fikirannya jauh melayang memikirkan kejadian tadi dikamar apartemennya. Jimmy yang melihat Bumi termenung langsung menyapanya.
          “Bum? melamunin apa lo? Segitu amat kayanya.” Tanya Jimmy.
          Belum sempat Bumi menjawab,Reva masuk keruang operator, tangannya penuh dengan CD-CD yang sudah ditanda tangani si artis kemarin yang menjadi bintang tamu di studio.
          “Jim, ini aku letak disini aja yah. Entar kalau ada pendengar yang datang minta hadiah kuis kemarin lapor ke aku aja.” Pesan Reva ke Jimmy.
          “Loh… kok gak dimeja depan Va? Biasa juga disitu kan?”
          “Didepan payah, berhubung Aga belum nongol disimpan disini aja, jangan kasih tau si botak ya Jim. Tuh anak rajin banget ngambil hadiah, jera gue ngeletak disono.” Omel Reva.
          “Eh ya, kok tumben tuh anak gak nongol, biasa juga pagi buta tuh anak jin dah ada di pos?” ternyata Jimmy juga merasa hal yang sama dengan Bumi.
          “Bodok ah… paling ntar juga dia nongol.” Reva segera meninggalkan ruang operator. Suasana kembali senyap. Mata Jimmy lalu tertuju kearah Bumi yang tak sadar diperhatikan, Bumi yang termangu melamunkan kejadian tadi.
          “Woi!!” teriak Jimmy mengagetkan Bumi yang langsung tersentak kaget.”
          “Anjrit lo!!!” maki Buimi mengelus – elus dadanya, jantungnya hampir saja lepas.
          “Mikirin apa sih Bum? khusuk amat?”
          “Gak ada!” jawab Bumi singkat seraya mengangkat kakinya keatas sofa, iapun merebahkan tubuhnya dan tak lama iapun tertidur. Dalam hati Bumi berharap untuk benar-benar melupakan kejadian tadi.
                  
*        *        *

          Bumi terbangun dari tidurnya, duduk termangu mengumpulkan nyawanya. Tangannya sibuk mengucek-ngucek matanya kemudian melirik kearah arloji yang melilit dipergelangan kirinya. 13.15. Hanya 1 jam-an ia tertidur, tapi rasanya sudah seperti setengah hari saja. Parahnya bayang Dian membuntutinya sampai mimpi.
Sempoyongan Bumipun keluar menuju dapur, berniat membersihkan wajahnya yang habis ditumpahi air liur dan membuat segelas kopi hangat.
          Dari dapur Bumi memboyong mug berisi kopi panas menuju ruang tengah. Langkahnya masih sempoyongan.
          “Hei Bum!” tiba-tiba Aga muncul dari belakang Bumi seraya menepuk pundak Bumi kuat, menumpahakan sedikit kopi panas dalam mug yang Bumi bawa.
          “Anjing!” refleks Bumi menghempahkan tangannya yang kirinya yang terkena pecikan panas kopi yang ia bawa dan langsung memandangi Aga kesal. “Panas gila!!”
          “Sori Bro, gak sengaja…” Aga cengengesan.
          Bumi menoleh kearah Aga. Mata yang seharusnya memandang kasal malah terbelalak kaget mulutnya pun sedikit menganga.
          “Wah! Kenapa rambut lo Ga?” tanya Bumi memandang aneh kepala Aga.
          Aga semakin cengengesan, menggaruk-garuk kepalanya yang berambut sedikit dengan tampilan baru yang menurut Bumi semakin menambah aneh bentuk kepalanya yang tak benar bulat.
          “Gak salah ni Ga! Rambut lo yang gak seberapa lo cat kaya gini?? Warnanya kuning atau apasih?” Bumi menyipitkan matanya, mengamati kepala Aga.
          “Apaan sih lo! Lo ternyata selain rabun sex buta warna juga ya! Ini orange gilak!!” jawab Aga yang mulai risih diperhatikan Bumi.
          “Nih pake cat atau pake kunyit sih?” ledek Bumi.
          “Pake kunyit?! Lo kate kepala Gue salak bule kale!”
          “Eh, emang salak bule warna orange? Bukannya lebih mirip buah jeruk penyok?” ledek Bumi semakin menjadi-menjadi. Dan kembali memperhatikan kembali kepala salak bule Aga.
          “Trus nih apa?” tunjuk Bumi ke garis-garis yang membentuk motif di sekitar jambang Aga. “Jalan kutunya bukan?” ledeknya lagi.
          Aga semakin jengkel hingga tak menghiraukan Bumi lagi.
          “Terserah!” Agapun segera berlalu meninggalkan Bumi yang kemudian tersenyum puas, dan kembali larut dengan mug berisi kopi panasnya yang mulai menghangat. Ia melirik kearah arloji yang melingkar dipergelangan tangannya dan langsung menuju ruang siar.
          David dan Boim sudah tak ada lagi disana, dengan segera Bumi melanjutkan siaran. Jimmy yang tadi berada diruang operator kini berganti dengan reva yang terlihat sedikit sibuk mencoret-coret kertas.
          Another Bumi membawakan acara dengan lancar tanpa hambatan apapun, sama seperti hari-hari sebelumnya. Begitu asiknya membawakan acara, Bumipun terlupa dengan kejadian tadi siang yang terus membayang-bayanginya. Ia juga tak sadar bahwa ada sesosok wanita cantik yang memperhatikannya dari ruang operator. Disampingnya berdiri Aga yang sepertinya sibuk merayunya.
          Wanita itu bertubuh ramping, rambutnya sedikit merah, panjang dan lurus, wajahnya dipoles alat-alat kosmetik terbaru, ia dibalut kaus ketat yang menunjukan semua lekuk tubuhnya dan jeans biru yang ketat pula lengkap dengan sepatu high heal bertali gliter yang berkilau-kilau. Matanya biru karena mengenakan soft lens, lengannya bersangga tas kulit bermerk. Sungguh cerminan wanita trendi masa kini.
          Ia memandang kearah Bumi, tak menghiraukan rayuan-rayuan si kepala jeruk penyok disampingnya. Saat Bumi memandangnya ia melempar senyum ramah ke arah Bumi dan dibalas Bumi dengan senyum sekenanya. Sekilas Bumi seperti mengenal wajah wanita itu, wajah yang begitu familiar.  
          Seusai siaran, Bumi tak langsung mengahampiri wanita itu, rasa penasaran tak mengalahkan sifat sok misteriusnya. Ia duduk di ruang tengah, membuka-buka majalah yang tertumpuk di laci dibawah meja. Semua rublik isi majalah itu tak membuat Bumi tertarik, ia terus membuka lembar-lembar majalah. Sekilas ia melihat kearah sudut cover, disana tercetak tanggal, edisi majalah yang ternyata kadaluarsa. Majalah keluaran satu tahun yang lalu.
          Tak lama wanita modis yang ia lihat tadi diruang operator tadi berjalan mantap menghampiri Bumi. Tanpa sungkan, ia langsung duduk didepan Bumi yang langsung menoleh kearahnya. Wanita itu tersenyum manis, bibirnya yang dipoles lipstik berwarna merah menyala merakah seperti bunga kembang sepatu. Bumi membalasnya.
          “Hai… Gimana kabarnya Bang?” tanya wanita itu dengan suara lembut menggoda. Ia kembali tersenyum.
          “Oh… Baik.” Bumi menjawab dan tersenyum seadanya, ia masih sibuk dengan fikiran-fikirannya tentang wanita ini tak siap dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.
          Sejenak senyap menyusup diantara mereka. Wanita itu seperti kehabisan kata-kata, ia hanya tersenyum, sesekali menyelipkan rambut panjangnya yang jatuh tergerai menghalangi penglihatannya ke balik telinga. Sedang Bumi sibuk mengingat-ingat wajah wanita yang ada dihadapannya ini, wajah yang sepertinya ia kenal.
          Lama Bumi mencoba mengingat tapi tak satupun wajah yang ia ingat menyerupai wajah cantik wanita ini. Wanita itu semakin terlihat gusar, hingga akhirnya Bumi memberanikan diri untuk menanyainya perihal siapa gerangan dirinya.
          “Maaf, sepertinya saya pernah melihat kamu… tapi dimana ya?” tanya Bumi yang langsung disambut tawa renyah wanita itu. Deretan gigi putih rapih menghiasi tawanya.
          “Masa lupa…” ia kembali merapikan uraian rambut hitam yang sedikit menghalangi wajahnya yang terlihat begitu familiar bagi Bumi.
          Bumi memperhatikan wajah wanita itu. wajahnya semakin menawan.
          “Maaf…” Bumi tergelak pelan. “Mungkin saya salah lihat ya…” ia semakin tergelak, mengeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin saja wanita ini mirip artis, fikirnya.
          “Bang Bumi masa lipa sama saya…”
          Lamat-lamat gelak Bumi menghilang tertelan kata-kata wanita itu.
          “Coba ingat lagi deh…” pujuk wanita itu.
          Bumi yang terlalu malas berfikir langsung menyerah. “Maaf, tapi saya benar-benar tak ingat…”
          Wanita itupun akhirnya lelah berteka-teki, iapun turut menyerah. “Saya Gaby, masih ingat gak?”
          “Gaby?” Bumi langsung menyelami memori kolektif tentang wanita bernama Gaby. Engine search dalam otaknya langsung bekerja dan hasilnya ia mengingat sesuatu tentang sosok benama Gaby.
          “Gaby…? Yang suka ngasih coklat dulu?” tanyanya ragu. “Ah…, gak mungkin…” search engine di dalam otaknya menemukan Gaby dengan tampilan yang berbeda. Gaby yang culun, kutu buku, rambut kribo, gigi kawat jemuran, mata empat, wanita yang kerap Aga katai mahluk mars. Siapa yang akan lupa dengan wajah “unik” Gaby, apa lagi Bumi yang pernah mengalami kejadian traumatis bersamanya.
          “Iya… ternyata Bang Bumi masih ingat ya…” ia tersenyum kegirangan.
          “Oohh…” Bumi tak dapat berkata apa-apa. Ia shok dengan wanita yang menurutnya adalah penghuni venus dimana para cupid dan malaikat-malaikat cinta cantik berkumpul ini ternyata jelmaan dari mahluk mars.
          Penampilannya, bentuk tubuhnya, cara berbicaranya, caranya bersikap sungguh jauh berbeda dengan Gaby yang dulu pernah ia kenal. Bentuk tubuhnya terlihat begitu terawat, jari-jarinya lentik dengan kuku berwaran merah muda dengan cuting up to date. Matanya sebiru laut karena soft lens yang ia kenakan, menggantikan kacanata tebalnya. Rambutnya lurus berwarna agak kecoklatan tak lagi disangga bando karena tak ada lagi yang perlu disangga disana, rambut kriwilnya menghilang dibantai treatmen mutakhir produk salon. Giginya juga terlihat rapih, putih, hasil dari bertahun-tahun menggunakan kawat.
          “Wah… kamu terlihat begitu berubah ya…” Bumi mencoba berbasa-basi.
          “Oh ya?” pipi Gaby terlihat memerah, tapi sikapnya tak menampakkan sedikitpun rasa canggung. Ia begitu percaya diri, sadar betul dengan perubahannya.
          Bumi berfikir pastilah orang hebat yang bisa merubah Gaby si mahluk mars berwajah berantakan menjadi secantik artis ibu kota. Gaby juga pasti mengikuti kursus keperibadian hingga Gaby yang dahulu tak dapat membedakan mana toilet pria dan mana toilet wanita, kini bertingkah seperti tuan putri dengan sikap dan tata krama penghuni istana. Seperti cerita ugly duckling, bebek buruk rupa yang menjadi angsa cantik nan anggun, demikian kisah Gaby, tanpa unsur dramatisir sedikitpun. Hari ini Bumi  menyaksikan methaform ulat bulu jelek dan gatal menjadi seekor kupu-kupu bersayap cantik menawan. Kini nama Gabrielle terasa sangat pantas untuknya.   
          Tak lama, Aga menghampiri Bumi dan Gaby yang sedang asik bertukar cerita. Ia langsung meloncat keatas sofa tepat disamping Gaby, mengagetkan keduanya yang sedang asik bertukar cerita.
          “Gak nyangka ya Bum, Gaby bisa berubah begitu drastis,”
          Bumi tahu apa yang diinginkan Aga, ia hanya terdiam, berfikir bahwa Aga telah merusak acara temu fans-nya.
          “Pas pertama gue liat tadi, kirain artis yang jadi bintang tamu kita, taunya eh… Gaby.” Aga mulai meluncurkan rayuan-rayuan kampungannya.
          “Bang Aga juga keliatan berubah…” balas Gaby.
          Mendengar perkataan Gaby, Aga langsung mengelus-elus kepala berwarna orange-nya sok kecakepan. Sedang Bumi hanya bisa mengelus dada, dasar Aga, fikirnya.
          “Oh ya…” Gaby meraih sesuatu dari dalam tas LV-nya, beberapa batang coklat langsung diserahkanya kepada Bumi.
          “Untuk ku??” tanya Bumi, yang sedikit canggung. Maklum saja, sejak hilangnya Gaby, hampir tak pernah ada yang menghadiahkanya coklat.
          “Bang Bumi masih suka coklatkan?” Gaby kembali bertanya memastikan.
          Gaby  tak pernah tahu kalau ternyata Bumi lebih menyukai t-shirt dibanding kado – kado lain yang pernah ia beri. Bukan karena Bumi tak menyukai coklat, tapi menurutnya  t-shirt akan lebih berguna daripada coklat.
          Aga yang menyaksikan acara serah terima kadopun tak mau tinggal diam. “Wah, jadi Bumi aja nih yang dapat kado?” sindirnya.
          “Maaf Bang, Gaby gak tau kalau Bang Aga juga suka coklat…” jawab Gaby lugu. Mendengar perkataan Gaby Bumi tersedak menahan tawa, menambah kesal Aga.
          “Masa sih Gaby gak bisa liat dari wajah Bang Aga?” Aga semakin Agresif, senyumnya terlihat nakal, tangannya mulai menjulur, merambati tangan Gaby perlahan-lahan dan tanpa ia sadari Lina mengendap-endap masuk dan mendapati Aga sedang mengeluarkan jurus-jurus mautnya merayu Gaby, seolah tak ingat bahwa dahulu ialah yang kerap mengejek Gaby dengan julukan mahluk mars.
          Lina yang berdiri dibelakang Aga terlihat begitu tak sabar untuk segera melancarkan bogem kearah Aga. Wajah lembut Lina segera berubah seseram monster, tangannya mengepal gemas. Bumi yang menyaksikan kehadiran Lina segaja tak bersuara. Ini akan jadi tontonan seru, fikirnya.
          “Ehmm…” Lina berdehem.
          Peringatan petama tak digubris, tenggelam dimakan rayuan-rayuan Aga yang semakin memabukkan hingga Lina benar-benar akan muntah.
          “EHHMMM….”
          Peringatan kedua, lebih kencang, lebih tegas dan lebih seram. Agapun tersadar, ia segera menoleh kebelakang. Wajahnya memucat hingga terlihat kontras dengan warna rambutnya. Bumi setengah mati menahan tawa.
          “Botak gila!!!!” Lina pun pergi meninggalkan Aga yang terplongo, kehilangan nyawa.
          “Lin… tunggu Baib…” Agapun segera beranjak mengejar Lina.
          Sejenak Bumi dan Gaby terdiam menyaksikan drama percintaan tragis Aga. Merasa tak enak hati, Gabypun mengambil langkah.
          “Gaby dah harus pergi nih Bang…” Gaby melirik kearah arloji Guchi yang melingkar manis dipergelangan kurusnya. Cinderella pun segera pergi meninggalkan studio sebelum ia kehabisan waktu dan kembali menjadi upik abu. Ia menyelipkan sesuatu disela jabatannya dengan Bumi, bukan sepatu kaca melainkan kartu nama.
          Bumi menghela nafas panjang.  

*        *        *