Sabtu, 08 Mei 2010

Happy ending

Di jembatan yang gelap dan sunyi itu segalanya berakhir. Kau sempat protes dengan tempat yang kupilih untuk mengungkapkan segala yang terjadi dengan perasaan ini. Tak terpikirkan lagi olehku tempat lain, gundah ini begitu mendesak untuk segera tertuntaskan. Pesanmu terakhir -setelah lebih sebulan kuabaikan kau- telah meledakkan gundah ini menjadi keping-keping emosi.

"...Gw tak perduli dengan hubungan ini lagi. Lo akan kehilangan sahabat terbaik lo, ndut...", begitu kira-kira bunyi pesanmu. Menyadarkanku akan ketakutanku kehilanganmu.

Rasa ini telah menemukan jalannya untuk di akhiri. Rasa yang membuatku sesak bebarapa minggu ini, kini tak mungkin dapat kutahan lagi. Tak ada lagi yang menghalangi rasa ini, ia mengalir dan bermuara bersama jutaan rasa yang berenang bebas di samudra hati.

Tak pernah kusangka hatimu sungguh seluas cakrawala yang siap melumat samudra dan lembayung bagai roti lapis. Hatimu yang tak pernah kusangka begitu luas. Maafkan aku yang telah berpikiran begitu sempit tentang cinta ini, tapi percayalah, ini semua kulakukan karena aku tak ingin kehilanganmu. Hanya cinta yang kita persempit ini benar-benar menghimpitku. Dan sekarang aku hanya ingin mengembalikan semuanya ke tempatnya semula, awal kita mulai cinta ini. Tempatnya yang jauh lebih luas tanpa mengikat.

Jangan bilang aku cengeng. Aku hanya kehilangan kesempatan untuk berbuat lebih. Aku kehilangan akal harus bersikap bagaimana lagi. Biarkan aku bicara senggugukan, karena tak bisa kutahan lagi semua ini, aku cuma tak ingin lagi menyimpan semuanya. Inilah hal terjujur yang dapat kutunjukkan kepadamu. Gundah ini begitu mendesak untuk segera diakhiri dan kini kumohon biarkan ia menemukan jalannya, sudah terlalu lama ia bersarang di hati ini.

Kau tak perlu percaya semua yang kuucap, aku hanya ingin kau dengar. Inilah yang sesungguhnya terjadi dalam hubungan yang kita jalani sekarang. Rasa cinta ini terhempas. Karena terlalu kuat kita genggam atau karena terlalu lemah kita gengam, yang kutahu cinta ini tak hilang atau berkurang sedikitpun. Ia hanya ber-transform menjadi sosok yang lebih luas, yang siap menampung siapa saja yang ada didalamnya. Cinta ini menemukan damainya kembali dalam kubah yang dulu pernah menaunginya, persahabatan, format sederhana yang dapat mengikat ribuan hati.

Gelap suasana membawa emosi ini mencapai puncaknya dan tak pernah kusangka semua akan berakhir seperti ini. ketakutanku akan kehilanganmu sama sekali tak terjadi. Semua berakhir seperti yang kuharapkan. Hatiku terasa begitu ringan, tak ada lagi yang membebani, semua rasa menetes bersama hangat yang menggaris dipipi ini. Bahagia menyeruak, mendapati dirimu masih disini bersamaku, melanjutkan kisah yang hampir terputus dengan akhir yang tak pernah kuinginkan.

Perlahan kupejamkan mata. Segaris senyum tersungging penuh syukur di wajah ku. Ini kali pertama kurasakan cinta yang nyata memeluk hangat tanpa harus menyesakkan. Haruskah kita sebut ini happy ending, atau ini bukanlah akhir dari cerita kita? Aku hanya mencoba mengikuti kata hati.

Ahirnya kau ejek aku cengeng. Kau juga ikut tenggelam dalam suasana gelap yang diliputi aura emosi ini. Kita berdua kembali menjadi sejoli yang aneh. Menangis, tertawa dan saling mengejek, kita berdua tenggelam dalam haru. Kita pun mengukir janji-janji kecil, saling cerita tentang rencana kita masing-masing dalam rangka mewujudkan mimpi kita yang segudang.

"Janji, lo tetap harus disamping gw selalu... Nemeni gw undangan, ke toko buku, ngumpul bareng temen-temen band, seperti dahulu, sampai gw nemui pengganti lo!!" Itu permintaanmu kepadaku yang kujawab dengan anggukan berulang-ulang.

"Dan lo harus temukan cowok yang lebih bai dari gw!" Itu bunyi permintaanku, yang kau jawab dengan satu kata melegakan. "Pasti!"

Mungkin tak salah jika ini kusebut happy ending atau malah happy beginning. Langit April yang gelap ahirnya terkalahkan oleh gumpalan awan biru luas yang memenuhi rongga hati ini.

[Untuk F.... Terimakasih kau masih menggenggam tanganku. Semoga persahabtan ini selalu merangkul kita... ILU... APL.MDN]

Selasa, 04 Mei 2010

Latte and Dian

Sudah hampir satu jam Dian menunggu di kafe tempatnya biasa menghabiskan waktu bersama pria yang telah ia pacari hampir setahun ini. Di temani latte panas dan sepotong brownies coklat yang beraroma begitu menggoda, namun kedua menu yang biasa menemaninya itu tak juga dapat membuatnya tenang. Rasa galau yang mengaduk-ngaduk perasaannya, menelan habis seleranya.


Suara lembut Michael buble mengalun sempurna merambati suasana yang terasa semakin mengharu biru. Galau di hati Dian semakin menjadi-jadi. Ia menggigit bibirnya, pertanda kawatir mulai menghampiri. Tatapnya menjelajah keseluruh sudut kafe, mencoba menemukan sesuatu yang mungkin dapat sedikit menenangkannya dan tak beruntung, Dian hanya mendapati beberapa penghuni kafe yang bereksprresi wajah hampir sama, atau malah tak berekspresi sama sekali. Roman wajah seorang yang kalah taruhan pertandingan liga Inggris setelah semalam suntung bergadang menyaksikan pertandingan. Hanya bebrapa pelayan yang tampak begitu menikmati waktu. Pelayan itu terdengar bersiul pelan mengikuti alunan lagu sambil membersihkan carkir-cangkir keramik yang bergantungan rapi di rak meja bar. Tak ada waktu yang tepat untuk menikmati detik-detik waktu berjalan lambat selain saat kafe sesunyi ini.


Hujan semakin deras, bunyi gemuruhnya samar terdengar di sela-sela alunan suara empuk Michael buble . Kilat dan petir menyambar-nyambar mengagetkan, memantulkan kilatannya yang menembus etalase kaca kafe, seperti blitz kamera paparazi yang sembunyi-sembunyi mengambil gambar dari balik etalase. Diluar terlihat begitu gelap, hampir tak terlihat seperti sore hari. Hanya beberapa mobil saja yang melintas di jalan yang tak terlalu besar itu dan beberapa pejalan kaki dan pengendara sepeda motor memilih berteduh ditepi rumah toko yang berjejer rapi. Beberapa anak kecil dengan jas ujan seadanya menawarkan jasa payung kepada pengguna jalan yang ingin terselamat dari hujan. Mereka berlari-lari ditengah hujan dengan payung berwarna-warni, beberapa malah menari seolah hujan yang begitu ditunggu membawa hadiah terindahnya, menghangatkan suasana yang dingin dan murung sore ini. Segaris senyum tersungging di wajah Dian, tertular girangnya hati para anak-anak payung itu.


Tatap Dian kembali ke meja bundar tempatnya meletakkan semua barang-barang bawaannya. Ia kembali memandang latte yang sudah kehilangan panasnya dan sepotong brownies coklat yang juga mulai kehilangan aroma lezatnya karena terbawa udara sejuk yang meliputi seisi kafe. Permukaan latte yang pekat itu memantulkan tatapan Dian yang mulai meredup, kehilangan semangatnya. Tiba-tiba terlintas kenangan-kenangan yang pernah terajut di tempat ini bersama sang pria yang kini ia tunggu kehadirannya. Dahulu ia tak pernah menyukai rasa pahit latte hingga pria yang sempat membuatnya tergila-gila itu mengubah nya menjadi manis dengan tingkah, kata-kata, semua hal-hal romantisnya. Dan kini, entah setan apa yang membuatnya yakin akan berbalik meninggalkan pria yang telah menemaninya seajuh ini. Atau Dian hanya terlambat tersadar kalau ini semua bukan jalannya.


Sesekali ia menoleh kearah pergelangan tangannya yang dililit arloji mungil. Tepat satu jam ia berada disini, yang dinanti tak kunjung terlihat membuatnya semakin risau. Perlahan-lahan lengankurusnya bergerak meraih cangkir keramik berisi latte yang sudah dingin. Memangdangi bayangnya yang terpantul di permukaan pekat latte sekali lagi, dan ia hanya mendapti gundah. Sedikit tak yakin ia mendekatkan cangkir itu keujung bibir merahnya, mereguknya perlahan dan yang tertinggal setelahnya adalah pahit. Pahit yang menempel di bibirnya, membuatnya kembali menyadari satu persatu kelupaannya tentang pria yang ia tunggu. Segera potongan kecil brownies coklat menetralisir pahit di mulutnya. Rasa coklatnya begitu kental terasa, Dian sangat menyukainya.


Hujan mulai mereda. Matahari mulai menunjukkan batang hidungnya lagi. Jalan kecil itu mulai kembali lalu lalang. Michael buble sudah berganti dengan lagu-lagu riang Maliq D'Essentials. Pelayan yang tadi bersiul bahkan mulai berdendang mengikuti hentakan irama riangnya. Suasana hati Dian berangsur membaik, tak ada yang perlu ia tunggu lagi disini. Mungkin pahit latte menempel di bibirnya, namun ia sadar ini adalah rasa sebenarnya. Ia segera beranjak menuju pintu keluar dan mendapati rintik-rintik halus gerimis yang tersisa berkilauan bagai keristal disapu cahaya sulau matahari senja. Langkahnya ringan menemukan kembali ceria yang sempat menghilang. Tanpa sengaja, Dian melihat uarian cahaya yang menggaris warna-warna indah di langit biru yang tak lagi kelabu. Pelangi. Dengan senyum simpul ia memulai langkahnya dengan doa di senja yang indah ini.


[Semangat!!! Mdn.16:55.040510]