Jumat, 15 Oktober 2010

Seperti Cuaca

Ku kenal kau sebagai pribadi yang unik. Tak perlu kawatirkan aku karena aku benar-benar ingin mengerti kau yang seperti cuaca, tepat seperti dahulu kau ucap, saat kita baru saling mengenal. Seperti cuaca yang terkadang sulit tertebak, terkadang hati mu seolah di selimuti arakan awan yang menumpahkan hujan deras tanpa memberi pertanda terlebih dahulu hingga membuat panik seisi kota atau jika tak puas engkau bisa seperti badai yang siap merangsak murka menghancurkan apa saja yang kau lewati, namun seketika cerah bisa hadir seolah badai tak pernah terjadi menyisakan samar indah pelangi di awan. Engkau sungguh tak pernah terduga.

Hari ini badai menghampirimu, aku tahu itu. Sejak semalam kudapati wajahmu muram mendung dan sekarang adalah puncaknya, kau menjadi topan. Hubunganmu dan dia tak berhasil, tak berjalan seperti yang kau harapkan. Kau tak henti-hentinya bicara tentang rasa yang kini menghimpitmu, menuangkannya dipunggungku. Kadang kau menghujat, memaki-maki dan kadang kau menyalahkan dirimu yang tak sempurna, atau terkadang kau malah terbahak menahan tangis mendapati hidup yang memainkan pentas-pentasnya yang menguras rasamu. Yah, kau tertawa menahan tangis, menganggap semua adalah kekonyolan. Terkadang beranggapan seperti itu lebih baik bagimu. 

Suaramu terdengar berpacu diantara deru mesin motor yang sedang kukemudikan. Dibalik punggungku, aku ingin kau tumpahkan semua. Berharap badai itu dapat teredam disana. Tumpahkan semua rasa kesalmu, duka dan tangismu, aku akan mendengar semuanya. Lepas saja topeng itu, tak perlu takut akan rapuh yang kau tutupi. Biarkan badai itu berlalu, dengan begitu kau akan lebih baik.

Motorku melaju pelan. Tak perlu terburu-buru, aku akan menunggu badai itu reda. Saat seperti ini kuingat kau selalu memilih tempat dimana kita dapat memandang luas. Dan tepat ditepi jembatan itu kita berhenti sekedar untuk menumpahkan, melepas badai itu di aliran sungai bertepi padang hijau itu. Tempat yang sesuai untuk menikmati jingga keemasan langit sore dan kau selalu jatuh hati tiapkali menatapnya. Kuharap jingga dilangit sore yang kita tatap dapat memberikan ketenangan dihatimu, walau hanya sedikit.
Aku dapat merasakan duka yang kau rasa. Semua terlukis di mata bening yang memantulkan keemasan jingga sore itu dapat kulihat luka yang kau tawar. Tumpahkan semua, bisikku. Namun kau memilih untuk menahannya, meredamnya dengan kebesaran hati yang selalu kau percaya kekuatan mahadahsyatnya.

Kaupun banyak bicara tentang hidupmu. Hidupmu yang mengharuskan kau mengenakan topeng. Terlalu sulit untuk menjadi diri sendiri bagimu, aku tahu itu. Kau mempersoalkan cinta yang kita jalani, cinta yang kau dan dia jalani, cinta yang memenuhi lorong-lorong hidupmu. Sedang aku? Aku hanya diam kehilangan kata-kata setiap kali kau bertanya padaku. Bukan karena aku tak mendengar semua yang kau katakan, tapi justru karena kusaadari kita mempertanyakan hal yang sama. Aku hanya terdiam menatap airmata yang dari tadi kau bendung sekuat tenaga, kau sungguh takut terlihat rapuh. Dan saat ia menetes kau buru-buru menyekanya, tak membiarkannya menggaris dipipimu. 
Sedikit demi sedikit badai itu larut bersama langit sore yang mulai luntur dan menghitam. Hatimu yang tadi seolah diselimuti awan mendung kini berangsur pulih. Kekuatan hati yang kau percaya membuktikan kuasanya. Perlahan awan putih berarak menyelimuti hatimu, meski kau belum sepenuhnya cerah, namun kurasakan hatiku senang saat melihat senyum tripis terbit di wajahmu. Tenang, kita serahkan saja kepada sang empunya kesempurnaan yang menjawab, ujarku mencoba menenangkanmu. Kau hanya tersenyum tipis, masih menyimpan ketidakpuasaan. 

Semua orang yang kau sayang perlahan menghilang, begitu kau bisikkan kepadaku. Dan hanya ingin kau tahu, aku ada disini dengan rasa sayang yang ingin kuberi setulusnya untukmu hingga waktu yang kita punya untuk kebersamaan ini usai. Maaf karena kau tak banyak memberi solusi atas rasa yang kau hadapi sekarang, atau seharusnya aku meminta maaf atas kehadiranku yang membuatmu semakin terhimpit perasaan bersalah. Aku sungguh tak bermaksud begitu.

Badaimu mereda, kita pun beranjak menyudahi acara menatap sunset yang telah biru kehitaman tertelan malam. Sengaja kulambatkan laju motorku, sekedar ingin merasakan kau tenang bersandar di punggungku. Tumpahkanlah semua rahasia yang tak terucap itu dipunggungku, biarkan aku turut merasakannya.

Hari ini semakin kumengerti kau yang seperti cuaca. Kuharap pelangi segera muncul, mengganti badai dihatimu. 

[...Terimakasih telah mau mengerti gw yang seperti cuaca... MDN:01.27:151010]

...Satu SMS masuk... "Apa cuacamu hari ini?"...


Rabu, 13 Oktober 2010

Movin' on...

Sorry.. Forget the website...

Semua harus berakhir...

Menu hari ini adalah Brownies. Semua bahan telah kusiapkan. Kubaca kembali resep hasil browsing kemarin.
               

Ingredients

·1/2 cup butter

·1 cup white sugar

·2 eggs

·1 teaspoon vanilla extract

·1/3 cup unsweetened cocoa powder

·1/2 cup all-purpose flour

·1/4 teaspoon salt

·1/4 teaspoon baking powder

·3 tablespoons butter, softened

·3 tablespoons unsweetened cocoa powder

·1 tablespoon honey

·1 teaspoon vanilla extract

·1 cup confectioners' sugar

Satu persatu ku cek ulang. Lengkap. 

 Semua harus sampai disini...

Kusiapkan semua perlengkapan. Tak lebih setengah jam semua telah siap. Kulihat lagi catatan resep contekan, memastikan semuanya tak ada yang terlewatkan. Selanjutnya ku kenakan celemek dan mulai mencampur bahan demi bahan. Sesekali kupandangi catatan resep...


  Directions

1. Preheat oven to 350 degrees F (175 degrees C). Grease and flour an 8 inch square pan.

2. In a large saucepan, melt 1/2 cup butter. Remove from heat, and stir in sugar, eggs, and 1 teaspoon vanilla. Beat in 1/3 cup cocoa, 1/2 cup flour, salt, and baking powder. Spread batter into prepared pan.

3. Bake in preheated oven for 25 to 30 minutes. Do not overcook.

4. To Make Frosting: Combine 3 tablespoons butter, 3 tablespoons cocoa, 1 tablespoon honey, 1 teaspoon vanilla, and 1 cup confectioners' sugar. Frost brownies while they are still warm. 

Kemudian kusiapkan oven pemanggang, kupanaskan sesuai resep. Kemudian adalah bagian yang paling menentukan berhasil tidaknya brownies yang kubuat, begitu yang kudengar dari ibu setiapkali ia memasak cake. Kulelehkan mentega didalam oven. 

Rasa ini cukup disini. Tak ada yang boleh merenggut kebahagiaan ku, sungguh aku tak  akan membiarkan itu terjadi... tak akan!

Setelah mencair, kutuangkan kedalam panci besar. Perlahan kumasukkan gula, kemudian telur dan sesendok teh vanili. Saatnya mengaduk hingga semua bahan tercampur dan mengembang.

Tak ada satupun yang dapat merebutnya dari ku! kebahagiaan ini harus kembali! Harus!! 

Kumasukkan sedikit coklat, setengah cangkir tepung, garam dan backing powder dengan takaran yang disarankan catatan resep. Kuaduk kembali. Semakin berat terasa. Aromanya menyeruak memenuhi seisi dapur. Adukanku semakin kuat.

Aku telah mengusahakan yang terbaik dan aku tak  layak mendapatkan luka ini. Kebahagiaan itu milikku.

Setelah semua bercampur, ku tuang adonan itu kedalam loyang yang telah kusiapkan dan kemasukkan kedalam oven.

  Aku menolak untuk rasa yang kini menghimpit ku...

Sekarang tinggal menunggu. Kulepas celemek yang kukenakan. Menunggu adonan menjadi brownies, aku melangkah ke kamar. Di laci kecil dibalik pintu lemari bercermin itu terselip sesuatu yang kuharap akan sedikit menghantarku kepada bahagia. Segalanya telah kusiapkan didalam ransel hitam itu.

"Ting tong!!" Oven berbunyi pertanda brownies ku telah jadi.

Passport itupun kumasukkan kedalam ransel hitam. Sepatu kats high cut yang baru saja kukenakan segera membawaku kembali kedapur. Dari dalam oven kukeluarkan seloyang brownies siap santap. Aromanya begitu lezat namun saat potongan hangat nya menyentuh lidahku, kurasakan pahit yang menyengat mulutku seketika. Mungkin karena terlalu lama dipanggang atau karena coklat yang berlebih.

               Aku akan raih kebahagian itu lagi!! 

Kusandangkan ransel itu dan melangkah keluar. Ditanganku turut serta seloyang brownies pahit itu. Tepat di depan pagar rumah ku hempas brownies pahit itu ke dalam trash bin , sebelum akhirnya kau beranjak menuju airport.

               Kebahagiaan yang seharusnya menjadi milikku... 

[...Kebahagian yang selayaknya menjadi milikku... MDN:11.41:131010]

"Bersama mentari ku bernyanyi, Mewarnai hari-hari,Bersama pelangi ku menari, Menyambut bebasnya hati ini, Tiada lagi yang mampu menghalangi, Aku takkan berhenti melangkah, Cause i’m moving on..." -Andien-

Minggu, 03 Oktober 2010

Bagai Jingga & Biru

Me & a half of my soul

Siang ini kita putuskan untuk mengungkapkan saemua perasaan yang berkecamuk di hati ini. Ini adalah hari terakhir kita di kota yang selalu membawa kesenangan ini dan aku tak ingin membawa perasaan yang membuat kita seolah lupa bagaimana merangkai waktu yang selalu kita anggap sahabat untuk kita bunuh. Demikian menyesakkan dada, hingga tak mungkin kita tunda lagi.

Tak seperti biasa, kali ini kita memilih tempat tak jauh dari dermaga lama, karena sedikit sulit untuk menemukan tempat seluas lapangan, tempat kita biasa bersuaka, melebur segalanya di kota jingga. Atau sebenarnya kita hanya malas mencari, karena rasa ini tak mungkin tertahan lagi, kian menyesak. Namun entah mengapa tempat ini juga selalu menjadi pelabuhan perasaan kita di kota biru, kota yang tanpa kita duga-duga akan menjadi tempatmu meretas mimpi.

Dari sini dapat kulihat perbedaan biru laut dan langit yang seolah ingin menyatu di ujung cakrawala. Itu sebabnya kota ini kita sebut kota biru. Seolah tertular, kurasakan biru mulai menyelimuti kita, kau dan aku semakin tak dapat menahan perasaan yang membuncah di dada. Biru semakin merasuk.


"Kau gak boleh nyerah!! jalani mimpimu!!"


Kita saling menatap. Dapat kulihat dimatamu katakutan yang juga kutakutkan. Ketakukan yang dari tadi tak bisa kita sembunyikan. 

Kau katakan kau takut kehilangan cermin yang selalu bisa kau anggap apasaja. Demikian juga aku, namun aku yakin kau akan menemukan bahagiamu di kota ini, akan ada banyak cinta yang akan kau tuai di kota ini, dan bagiku itu cukup menjadikanku bahagia. 

"Aku akan baik-baik saja dan aku yakin kau juga akan baik-baik juga, karena disini kau akan menemukan banyak cinta. Biarkan kota jingga menjadi bagianku..."

Tak ada niat untuk menjadikan hari ini menjadi perpisahan yang menyedihkan. Namun biru benar-benar telah menelan kita. Satu persatu perasaaan yang tak terungkap beberapa hari ini mengalir bersama biru. Bahagia, sedih, kesal, cemburu dan cinta, semua bercampur, mewarna di tawa dan tangis kita. Semua menguap seketika di telan debur ombak yang menghantam dinding pembatas laut. Seperti buih yang terhempas dan menghilang di garis pantai. Kita menyadari satu hal dalam pembicaraan penuh emosi ini, bahwa cinta yang kita punya tak kita tanggapi dengan bijak hingga menjadi kebodohan-kebodohan yang hampir menghapus segalanya dari kita. 

Kini saat kau dan aku akan terpisah jarak, kita semakin yakin, kita saling memiliki, saling membutuhkan untuk saling menguatkan, untuk membagi semua mimpi yang menggunung ini hingga kadang terasa menghimpit, membebani. Ketakutan yang sejak tadi menghantui kita sedikit menghasut. Ketakutan akan kehilangan kebahagiaan-kebahagian kecil yang kadang orang anggap konyol, kesedihan-kesihan yang selalu kita tertawakan, rahasia-rahasia kecil yang tak butuh deklarasi karena ia akan selalu indah bersama misterinya. Tak perlu dunia tahu, cukup kita yang tahu betapa indahnya 'dunia' kecil yang selau kita bagi ini.

"Genggam tanganku erat..." Bisikku, sekedar ingin menghapus ketakutan yang membawa ragu ditengah-tengah kita. Aku sungguh ingin kau tetap disini menjalani mimpi yang selalu kita agung-agungkan. Aku akan baik-baik saja, karena melihatmu bahagia meretas mimpi telah menjadi bagian dari mimpiku juga. 


Tanganmu, tanganku saling menggenggam. Kurasakan jari jemarimu, dingin.


"Genggam lebih erat!!" Sekedar ingin meyakinkanku, bahwa kau akan selalu menjadi milikku, separuh jiwaku.


"Ayo! Lebih erat lagi!!" Aku ingin kau tahu, akupun akan selalu menjadi milikmu. Sungguh! Aku dan kota jingga akan selalu ada untukmu.


"Lebih, lebih erat lagi!!" Rasakan semua. Aku tahu ini bukan yang terakhir.


Kau tak perlu kawatir. Tak ada yang harus kau risaukan disini. Biarkan kota jingga menjadi bagianku, semoga aku dapat menaklukkannya. Genggam kita semakin erat, memastikan semuanya akan baik-baik saja. Kita telah menyepakatinya, ini bukan perpisahan, sungguh bukan perpisahaan melainkan jalan kita untuk menemukan kebahagiaan yang sudah seharusnya menjadi milik kita.





Angin laut bertiup menyapu sejuk pipi kita yang basah karena tangis, namun senyum tersungging penuh suka di wajah kita. Tak ada lagi yang tersembunyi, tak ada lagi kawatir dan ragu. Di depan birunya laut dan langit kota ini kita ungkap semuanya, semoga Tuhan mendengar doa-doa yang kita lepas di ujung biru. Dunia kecil kita kembali menemukan alasan untuk kembali berputar riang, dan aku yakin dia akan selalu menemukannya.

Aku dan kau bagai laut dan langit. Walau pertemuan mereka di cakrawala sesungguhnya adalah semu, namun tahukah kau bahwa mereka saling mengindahkan satu sama lain, saling merefleksi. Seindah jingga lembayung dan biru laut di petang hari. Percayalah, aku akan selalu menjadi cerminmu tanpa harus menjadi bayang-bayang yang mengikutimu.


Mimpi-mimpi kembali terikrar diantara kita. Tak terlalu menuntut, nikmati saja. Hidup selalu punya kejutan agar tetap memikat. Kita hanya perlu mempersiapkan diri untuk tawa, tangis, pertemuan, perpisahan yang menjadi bagian dari kejutannya.

Kali ini kita tak menunggu senja turun. Waktu kita tak banyak, kota jingga telah menanti untuk kujejaki dan kutaklukkan.Toh kita maish bisa menikmati senja berdua lagi lain waktu. Liburan kita usai, atau lebih tepatnya liburan ku karena sesungguhnya kau hanya pulang menjemput mimpi. Dan aku bahagia...

[...Genggam tanganku selalu. Kita akan selalu mengindah seperti lembayung jingga dan biru samudra... MDN:19.55:021010]