Selasa, 25 Januari 2011

Ayah baru untuk Tono

Photo: Grab from blog http://ronidream.blogspot.com

Hari ini Tono tak terlihat semangat seperti biasanya. Pikirannya di bebani oleh omongan-omongan teman dan tetangga yang mengatakan ibunya lagi ngebet cari ayah baru untuknya dan adik kecilnya. Tono tak ingin percaya dengan semua omongan-omongan itu. Bisik-bisik yang tak biasa, karena biasa dia hanya mendengar obrolan tentang kemiskinan dan nasib malang keluarga meraka saja, tapi yang satu ini sudah terdengar terlalu, sungguh bukan fakta dan itu sangat mengusiknya.

Bagi Tono ibu adalah sumber semangatnya selain Tini kecil, adiknya. Ibu adalah sosok yang sangat Tono kagumi dan hormati. Dia mungkin bukan seorang wanita pintar, dia hanya seorang wanita penjual kopi keliling yang sayang terhadap anak-anaknya. Wanita tangguh yang tak pernah menyerah dengan keterbatasannya sebagai seorang orangtua tunggal yang begitu memimpikan anak-anaknya agar dapat mengenyam pendidikan dan memiliki kehidupan yang lebih cerah lagi. Dengan segala keterbatasannya, dia tak pernah redup demi kedua buah hatinya. Bersama Tono yang terpaksa menjadi seorang pemulung, wanita yang selalu Tono panggil "tercinta" itu mati-matian mengumpulkan uang untuk dapat menyekolahkan Tini kecil, adik Tono.

Kerikil-kerikil kecil jalanan kota serasa menjengkelkan bagi Tono. Kaki kecilnya nyeri tertusuk dan menahan panas. Sandal karet tipis yang selalu menemaninya mengais rejeki di jalanan kota sudah tak dapat diandalkan lagi. Demikian dengan omongan-omongan tak sedap tentang ibunya, bagai kerikil dihatinya membuat suasana panas jalanan kota seolah menyusup di hatinya. Tono menghela napas, matanya kembali awas menyusuri jalan, mencari benda-benda yang mungkin dapat ia jual. 

*    *    *
Malam ini di meja makan tersaji makanan yang tidak terlalu biasa hadir di meja makan mereka. Ibu, Tono dan Tini duduk mengelilingi meja makan butut yang terlihat begitu kontras dengan  makanan yang tersaji diatasnya. Satu kotak ayam bakar yang terlihat kecoklatan dan mengkilap, begitu lezat. Dimata Tini terpantul warna kecoklatan mengkilap itu, tak demikian dengan Tono, matanya masih bertanya-tanya, mencari-cari pembenaran apa yang menghadirkan ayam bakar lezat itu di atas meja butut mereka. Namun yang lebih mengganggunya adalah obrolan-obrolan teman dan tetangganya yang terus mengusik pikirannya, ia kehilangan selera karenanya.

"Asik!! Hari ini kita makan ayam bakar!!" Teriak Tini girang sambil mengeluarkan gumaman-gumaman lirik lagu yang selalu ia nyanyikan bila senang. Ibu tersenyum lebar merasa kejutan yang ia buat bekerja sesuai harapan. Dengan segera ia menuangkan sendokan nasi kepiring kaleng masing-masing. 

"Nasinya juga wangi!!" Teriak Tini lagi yang semakin tak dapat menahan rasa girang. Dan saat ibu menyodorkan sepiring nasi wangi lengkap dengan lauk lezatnya ke arah Tono, ibu mendapati kegundahan yang Tono rasa. 

"Kenapa Ton? Kamu sakit?" Tanya ibu kepada putra kesayangannya itu, namun ibu hanya mendapati kebisuan dari Tono. "Cerita ke ibu..." Bujuk ibu.

"Kata teman-teman ibu sedang cari ayah baru untuk kita ya?" Ujar Tono penuh kehati-hatian, ia tak mau ibu terluka dengan pertanyaannya.

Ibu terlihat begitu terkejut namun ia tak ingin merusak kesenangan di acara makan malam istimewa yang ia buat. "Kata siapa Ton?" tanya ibu penuh perhatian dengan senyum yang menggaris tulus diwajahnya.

Tono hanya diam, ia benar-benar tak ingin ibu semakin terluka. Tono tau, wanita yang teramat ia cintai itu sudah begitu banyak menderita karena omongan-omongan tak bertanggung jawab seperti yang sekarang mengganggu pikirnnya. Ia tak ingin melanjutkan semua obrolan yang tak mengenakkan ini dan lebih memilih percaya kepada keyakinannya akan ibu. 

Ibu menghela napas dan membelai kepala Tono penuh kasih sayang. "Tak usah kau dengarkan omongan mereka Ton. Mereka tak pernah tahu apa yang benar-benar terjadi kepada kita. Mereka hanya orang-orang yang tak bertanggung jawab dengan omongannya. Jangan hiraukan.". Ibu kembali menyodorkan piring berisi santapan istimewa itu kepada Tono dan Tono menerimanya tanpa sepatah katapun. Dipikirnya hanya ada Ibu yang baik dan selalu menyayanginya.

"Sekarang biar Tini yang pimpin doa!" Dari mulut kecil Tini terlantun doa tulus sebelum mereka menyantap makanan yang tersaji diatas piring kaleng mereka. 

Dengan lahap kedua buah hati ibu menyantap makan malam mereka. Namun masih tersisa lauk lezat yang mustahil Tono dan Tini tidak suka. Ibu yang melihat keanehan itu pun bertanya, "Kok ayam panggangnya gak dihabiskan?"

"Untuk besok dan sisa ayam yang masih di kotak boleh untuk lusa!" Jawab Tini lugu. 

Rasa sedih menyesak tertahan di tenggorokan yang tersumbat nasi dan ayam lezat, ibu tersenyum getir dibalas senyum sumringah Tono dan Tini. Beras aking yang teronggok didapur meraka menanti untuk menjadi santap dihari-hari selanjutnya.

*    *    *

Azan subuh berkumandang di tengah lelap penduduk pinggiran rel kereta. Ibu segera membangunkan Tono dan Tini yang masih dibuai mimpi-mimpinya akan dunia. Waktunya shalat berjamaan.

Di ruang sempit yang mereka sebut ruang serbaguna karena merangkup ruang tamu, ruang makan dan ruang ibadah itu mereka membentang sajadah kumal dan bersiap dengan doa-doa yang tak kunjung lelah mereka hatur kepada Sang Maha Penyayang. 

Sesaat Tono melirik kearah Ibu yang bersiap mengenakan mukenahnya. Mukenah ibu sudah tak terlihat putih lagi dan robek, semakin terlihat buruk dari hari ke hari.

"Yuk Ton, kita mulai..." Perintah ibu usai mengenakan perlengkapan ibadahnya. 

Diantara senyap yang menyelimuti, qomat merdu Tono lantunkan, pertanda mereka segera menghadap Sang Pencipta.

*    *    *

Hari ini Tono memulung seperti hari-hari yang selalu ia jalani. Langkah Tono begitu ringan, tak ada yang mengusik pikirannya lagi. Baginya hanya omongan ibu saja yang patut ia percaya, bukan teman atau pun tetangga yang hanya dapat mengunjing apapun tentang keluarganya.

Tak satu kerikilpun membuat kesal, langkahnya ringan seolah tak menghiraukan panas dan kerikil yang kerap mengganggunya. Demikian juga dengan sandal tipis nan setia. Siang ini sandal butut ini melangkah penuh angkuh. 
Peria kecil itu dengan semangat menjalani nasibnya. Tak ada yang perlu ia khawatirkan. Baginya Ibu dan Tini adalah harta berharga yang patut ia syukuri meski tanpa kehadiran ayah sekali pun. Sosok yang Tono kenal jauh dari sosok seorang pelindung keluarga, melainkan sebaliknya. Sosok ayah baginya adalah seorang algojo yang selalu menggunakan otoritas status suami untuk bertindak sesuka hati di dalam keluarga. Setidaknya itu yang ia alami. Dengan matanya sendiri ia menyaksikan ayahnya memukuli ibunya hingga babak belur. Dengan napas bau minuman keras itu, ayah kerap memaki-maki dan meludah ibu hanya karena masalah sepele. Ayah adalah raja merangkap algojo dan Tono membencinya sepenuh hati.

Ayah pergi se enaknya, setelah menghajar ibu habis-habisan di depan para tetangga. Masih dapat terbayang jelas kejadian-kejadian yang membuat Tono begitu membenci ayahnya. Puncaknya adalah suatu malam yang beranjak pagi ayah yang mereka tunggu-tunggu pulang setelah hampir dua bulan menghilang dengan keadaan yang biasa, mabuk dituba minuman keras murahan. Ibu yang baru mendapati diri nya hamil Tini menyambut ayah dengan suka cita. Dengan harapan ayah akan merubah kebiasaan buruknya dengan kehadiran janin Tini di rahim ibu, ibu pun memberitahukan kabar gembira itu kepada ayah. Entah apa yang terjadi setelah beberapa menit mereka berbicara, Tono di kejutkan dengan teriakkan ibu yang menggambarkan sakit yang teramat. Tono segera tersadar dari kantuknya dan mencari tahu apa gerangan yang terjadi dan betapa terkejutnya Tono saat mendapati ibu tersungkur, menagis menahan tangis setelah menerima pukulan dari ayah yang masih belum begitu sadar dari mabuknya. Ibu meringkuk kesakitan sambil melindungi perutnya. Dengan segenap kemampuannya, Tono mencoba untuk melerai tindakan ayah yang semakin tak terkontrol, seolah kesurupan setan. Ayah benar-benar silap mata, ia melepaskan sabuk yang melilit pinggangnya dan memecutnya ketubuh ibu. Tono sungguh tak dapat bertindak apa-apa selain menangis. Kemudian Tono berlari keluar, mencari pertolongan.

"Katakan padaku!! Siapa laki-laki itu, jalang?!" Bentak ayah penuh kebencian tanpa berhenti memecutkan sabuk ke tubuh ibu.

"Ini anakmu mas! Anakmu!!" Ratap ibu menahan sakit yang teramat. Bukan hanya ditubuhnya tapi juga di hatinya yang mendapati kenyataan bahwa suami yang termat dicintanya tidak mengakui janin yang dikandungnya. 

Beberapa orang tetngga mulai berdatangan dan memenuhi halaman rumah. Tono berharap mereka dapat segera melerai pertengkaran orang tua nya, namun kehadiran mereka tak sesuai harapan Tono. 

Kemudian ayah menyeret ibu ke halaman depan rumah. Tono yang saat itu tak dapat melakukan apa-apa hanya dapat berteriak-teriak histeris dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya. Di depan para tetangga yang hanya dapat berdiri kaku memandangi ibu dianiaya tanpa berbuat apapun, ayah meraih gunting rambut dan segera menggundulu rambut ibu dengan brutal. Saat itu hanya ada sesosok iblis yang sedang menganiaya ibu di mata Tono kecil.  Rasa benci dihati semakin menjadi-jadi. Setelah puas menggunduli ibu, Peria iblis itu berujar lantang :
"Di hadapan kalian semua kuceraikan wanita jalang pezina ini!" Tanpa sedikitpun rasa kasihan, kemudian peria yang Tono sebut ayah itu meninggalkan ibu dan Tono dalam duka dan dendam yang mendalam. Itu terakhir kalinya Tono memanggil peria itu dengan sebutan ayah. Sebutan yang demikian tak layak untuk seseorang yang bersifat seperti iblis.     

Dan kini, dimasa yang seharusnya ia habiskan dengan bermain kini habis dengan membangun impiannya untuk dapat menyekolahkan Tini, impian yang juga kerap mengisi waktu-waktu lelap ibu teramat yang ia cintai.

Matahari mulai turun beberapa derajad dari puncaknya, langkah Tono pun mulai melambat. Lelah mulai menggelayuti tubuh kurusnya. Ia memutuskan untuk istirahat di tempat ia biasa kumpul bersama dengan teman-teman seprofesinya. 

Baru saja Tono merasakan sedikit tenang tiba-tiba seorang teman yang tepat duduk disampingnya bertanya. 

"Ton, ibu lo lagi cari ayah baru buat lo dan adik lo ya?" Tanya seorang teman Tono dengan suara tawa yang tertahan. Tono hanya diam, tak ingin terpancing dengan olokan teman-temannya< ia mencoba untuk tetap menikmati sepotong roti coklat, menu makannya siang ini. Disela kunyahan roti coklatnya terdengar cekikikkan teman-temannya.  Dan tono tetap mengunyah makan siangnya meski terasa berat untuk menelannya.

"Ton, adik kamu Tini itu anak haram ya?" Tanya seorang teman diantara gerombolan usil yang tak henti-hentinya menggoda Tono. Namun pertanyaan satu ini sudah tak dapat Tono tolerir lagi. Seolah puncak emosinya sudah diujung ubun-ubun dan akhirnya terlepas di kepalan tinju yang segera mendarat di wajah sang teman bermulut besar. Segera tono menjadi keroyokan gerombolan usil tersebut. Tanapa gentar, Tono menghajar semuanya. Tak ada lagi yang dapat menghentikannya, ia sudah cukup bersabar.

*    *    *

Dibawah sinar keemasan mentari yang hampir tertelan malam, Tono berjalan sempoyongan menuju rumahnya. Ada kekesalan yang teramat tergambar diwajahnya. Dari kejauhan, Tini berlari menghampiri Tono. 
"Kakak kenapa? Kok...??" Tanya Tini yang terkejut melihat sang kakak yang babak belur. Tono hanya menggeleng pelan. Segaris  senyum sungguh ia ingin suguhkan  demi menenangkan adik tersayangnya, namun begitu terasa berat. Rasa kesal masih menguasainya. 
Bagi Tono dan Ibu, Tini adalah kesayangan. Tempat mereka mencurahkan sayang. Tono sungguh tak percaya dengan semua omongan-omongan ayah, teman dan tetangga-tetangganya tentang Tini.

Tono segera meraih tangan Tini. Mereka berjalan beriringan menuju rumah kotak mereka. 

"Kak, dirumah ada om Badri." celetuk Tini.

"Om Badri??" Tanya Tono bingung. Ia sama sekali tak pernah merasa mengenal nama itu. 

"Om yang beliin kita ayah bakar itu kemarin." Jawab Tini lugu.

Tono terkejut. Ia tak pernah tahu menahu asal mula makan malam istimewa kemarin. Entah mengapa jantung Tono berdetak semakin kencang. Ia pun mempercepat langkahnya menuju rumah. Semakin Tono mendekati rumah, jantungnya semakin berdetak tak tentu. Perasaan tak enak merasukinya. Dan saat mata Tono menyaksikan langsung ibu sedang berbicara asik dengan seorang peria bernama Badri itu, semakin terngiang ditelinganya omongan-omongan jelek yang teman-temannya katakan. Tak biasanya ibu terlihat begitu, wajah dan gerak tubuhnya saat berbicara tak seperti biasa, Tono merasakannya. 


"Ton, kamu sudah pulang..." Sapa ibu yang sedikit terkejut dengan kehadiran Tono. Dan ibu lebih terkejut lagi saat melihat Tono yang babak belur. "Kamu kenapa Ton?? Wajah kamu..." Ibu segera menghampiri Tono dan saat ibu ingin meraihnya, Tono menepis tangan ibu.


"Jadi benar yang dikatakan teman-teman? Laki-laki itu pengganti ayah bu? Kuhajar mereka  karena mereka bilang Tini adalah anak haram, benarkah itu bu?" Tono bertanya penuh emosi yang tak tertahan lagi, tangis yang tertahan dimatanya pun menetes.


Ibu terkejut, tak siap dengan pertanyaan Tono. "Ton..." ibu mencoba meraih Tono lagi namun Tono mundur, ia meraih tangan Tini dan berlari menjauh dari Ibu. Tini hanya diam tak tahu menahu apa yang terjadi.


Perlahan Hujan turun bersama dengan tangis ibu yang tak lagi dihiraukan Tono.


"Ton!! Kembali! Maafkan ibu!" Teriak ibu tertelan derasnya hujan menyisakan sesal yang tak terhapuskan.

*    *    *

"Kak kita mau kemana? Tini anak haram ya kak?" Tanya Tini lugu tanpa mengerti apa yang ia tanyakan. "Ibu jahat ya kak?" Pertanyaan Tini hanya membuat Tono semakin sedih, tak terima dengan kenyataan yang telah ia lihat. 

Jauh dalam hati kecilnya, Tono tak ingin melakukan ini., ia tak ingin meninggalkan ibu, namun emosi membutakan matanya, ia hanya tak ingin terlihat cngeng didepan peria sial yang akan menggantikan ayahnya. Setidaknya itu yang ada di pikirannya saat ini. Tono hanya tak ingin kejadian dahulu terulang lagi. 
Tono mendekap adik kesayangannya, mencoba menenangkanya sekaligus menenangkan dirinya sendiri. Tono merasa begitu gagal. Ia telah berusaha sekuat tenaga untuk jadi pelindung, pengganti ayah bagi ibu dan Tini, namun Tono sadar, ia tak dapat menggantikannya. ia telah mengorbankan pendidikannya, memulung demi impian ibu yang juga kini menjadi impiannya, melihat Tini bersekolah layaknya anak-anak kebanyakan. 

Tono menatap nanar rintik-rintik hujan yang turun semakin deras saja. Pikirannya tertinggal bersama ibu yang ia tinggalkan dalam kesedihan. Sungguh tak pernah terpikir akan terjadi seperti ini. Tak pernah terlintas sedikitpun niat untuk meninggalkan ibu yang teramat ia sayangi. Dari dalam karung ia meraih sebuah bungkusan yang dibungkus rapis dengan koran kemarin. Tono meremasnya penuh sesal bersama dengan tangisnya yang semakin tak terbendung.  Disela sedu tangisnya ia mendengar Tini berujar setengah merintih. 

"Kak... Tini mau ibu..." 

Dari gelapnya malam dan hujan seorang wanita terseok-seok, memanggil-manggil nama mereka. "Tono...!! Tini...!!"

Tini yang mendengar ibu langsung berlari menghambur kedalam peluk ibu. Kemudian ibu menghampiri Tono yang hanya dapat menangis sedu sambil memeluk buangkusan yang sejak tadi ia remas.

"Ton maafkan ibu..." bujuk ibu. "Ibu tak bisa hidup tanpa kalian. Hanya kalian harta ibu yang paling berharga, tak ada lagi. Maafkan ibu. Ibu hanya ingin kalian berdua hidup selayaknya anak seumuran kalian. Bersekolah bukannya kerja, memulung. Maafkan ibu, karena tak ada yang dapat ibu lakukan untuk kalian..." ibu tersedu penuh haru.

Lama Tono hanya tertegun, terisak tangis yang tak kunjung reda. 
"Kak... Kesini..." Panggil Tini. "Tubuh ibu basah, ibu pasti kediginan!" 

Mendengar ucapan lugu Tini, Tono pun tak dapat menahan perasaannya. Ia segera menghambur memeluk ibu erat. "Maafkan Tono bu... Tono sayang ibu..." Tak ingin melanjutkan rasa sedihnya lebih lama lagi, Tono pun segera menyerahkan bungkusan yang dari tadi ia pegang erat kepada ibu. 

"Apa ini Ton?" Tanya ibu sambil membuka bungkusan yang setengah basah karena gerimis. Terkujutnya ibu saat mendapati isi dari bungkusan itu. Disaat hujan mulai reda tangis ibu kembali menggaris hangat namun kali ini beda, rasa bangga memenuhi hati ibu.

"Punya ibu sudah jelek, jadi Tono beli yang baru untuk ibu." Diatas mukenah putih pemberian Tono tangis ibu terhapus. 

Diantara rintik hujan yang membasahi malam, ketiga anak manusia itu saling mengucap syukur karena cinta yang mereka miliki begitu berharga. 

[Jan.BDG.10:49.11012011]

Kamis, 06 Januari 2011

...Jika aku mati...

Entah setan apa yang merasuki pikiranku. Belakangan hari selalu terlintas di benakku sebuah kalimat yang mendistorsi otak, "bagaimana jika aku mati?". Kalimat yang membuat orang-orang disekelilingku terhenyak dan lebih memilih marah atau meledekku daripada menjawab pertanyaan gila yang keluar dari mulutku iseng.

Pernah satu ketika pertanyaan itu menyambangiku dan seorang sahabat saat segala topik obrolan ludes dimakan waktu yang semakin menjelang pagi. Sahabatku berfikir ia ingin mati disaat tua nanti, saat segalanya yang ingin ia cicipi dalam hidup telah tercapai. Ia ingin mati selayaknya pria baik yang punya banyak kasih. Kemudian ia bertanya kepadaku hal yang sama, seketika pikirku melayang membayangkan upacara manis apa yang akan mengakhiri langkahku di kehidupan. "Aku ingin suatu hari saat aku mati aku gak ingin dikubur... aku ingin di bakar hingga lebur menjadi abu, kemudian aku ingin abu itu di larung ke laut lepas, jadi saat semua orang yang kusayangi dirundung rindu mereka tinggal datang ke pantai dan kuharap mereka gak bersedih disana karena aku selalu merasa bahagia saat aku menatap pantai, kuharap meraka akan merasakan hal sama..." ucapku. Sahabatku hanya meringis.

Kini, saat sunyi menghampiri kesendirianku, pertanyaan gila itu kembali terlintas bersama buntut-buntutnya yang lebih gila lagi. "Bagaimana seandainya aku mati muda?? Bunuh diri??". Dan enath mengapa sedikit kesenangan tertawar bersamanya. Kesenangan akan misteri yang membuatku semakin penasaran dan bertanya-tanya, "Adakah kesenangan ini adalah pelabuhan yang sama dengan kebahagiaan yang selalu kuangap tujuanku melayari hidup ini?".

If I die young, bury me in satin
Lay me down on a bed of roses
Sink me in the river at dawn
Send me away with the words of a love song

Lord make me a rainbow, I'll shine down on my mother
She'll know I'm safe with you when she stands under my colors
Oh, and life ain't always what you think it ought to be, no
Ain't even gray, but she buries her baby

A penny for my thoughts, oh no, I'll sell 'em for a dollar
They're worth so much more after I'm a goner
And maybe then you'll hear the words I been singing
Funny, when you're dead how people start listening
 
The ballad of a dove
Go with peace and love
Gather up your tears, keep 'em in your pocket
Save them for a time when you're really gonna need them.

Aku tertegun dalam alunan sendu Band Perry... 


  *    *    *

Satu ketika kudapati diriku kedinginan dalam balutan kain putih yang kukira satin tipis. Samar-samar kudengar suara tangis mengiris diantara alunan merdu nyanyian ayat-ayat suci yang selalu mom lantunkan dan selalu berhasil membiusku dalam nyaman. Pandanganku gelap, apa gerangan yang terjadi, pikirku. Seperti kabut yang terungkap dari hadapanku, perlahan semua semakin jelas. Suara mom yang melantunkan ayat-ayat suci, semakin lama semakin terdengar begitu lirih. Kurasakan dingin semakin menyeruak, membungkusku. Dingin yang menembus relung hatiku. 

Aku mulai mencerna apa yang terjadi saat semua mulai terlihat jelas dalam pandanganku. Kudapati orang-orang berpakayan serba putih mengelilingiku. Diantaranya adalah orang-orang yang kusayang. Mereka menangis begitu sedihnya. Apa yang terjadi?, tegang mulai kurasakan namun seolah tak kurasakan lagi detak jantungku yang selalu berpacu dengan detik waktu. Ingin kuseka airmata mereka dan menyakan apa yang sedang terjadi, namun kusadari tubuhku tak dapat bergerak. Tubuhku yang dingin seolah membeku, tak dapat bergerak bahkan udara yang kuhirup terasa begitu hampa. Panik mulai menyerangku, aku teriak memanggil mereka berharap mereka segera meyadari keberadaanku namun yang keluar dari mulutku hanya hampa yang menguap sombong, tak menyisakan apapun. Sedih teramat merundungku namun airmata yang selalu bergulir hangat saat aku merasa sedih turut lenyap, tak menetes sedikitpun. Semua menyesak dihati, tak terperi.

Beberapa saat kemudian tubuh kaku dan dinginku berpindah kedalam sebuah tempat yang kukira adalah lubang. Tubuhku di baringkan diatas tanah yang menambah rasa dingin saat sejuknya menembus satin putih yang kukenakan. Dingin seolah menusuk kulit. Taburan kelopak mawar berwarna pucat menghujaniku bersama lantunan doa dan tangis orang-orang yang kusayangi. Tangis keringku menyesak tak terperi.

Perlahan tubuhku mulai ditutupi papan-papan kecil dan yang kutakutkanpun terjadi, tubuhku mulai ditutupi tanah merah kecoklatan. Aku berteriak sejadinya, teriak hampa yang sia-sia. Doa dan tangis dari orang-orang yang kusyang perlahan mulai hilang tertelan hitam. Tak ada yang tersisa lagi, hanya aku dan gelap. Sesal menumpuk, aku hanya ingin mereka tahu, betapa aku mencintai mereka dan kini cinta ini teresat, terkubur bersama jasadku yang akan segera membusuk.

Aku tersedu sejadi-jadinya. Aku akan segera bertemu dengan Sang Maha Segalanya, namun akankah Dia sudi bertemu denganku yang tak sempat menyiapkan bingkisan untukNya?. Aku semakin tersedu.

Tak ada yang dapat kulakukan lagi. Doa kuuntai, berharap Dia masih sudi mendengarku. "Ampunkan hambamu yang lalai dan hina ini ya Rab... Berikan kebahagian kepada orang-orang yang kusayangi ya Rab...", Lirih ku dalam doa yang kuucap sungguh-sungguh hingga putih kembali menyelimutiku. Kurasakan kembali hangat yang menggaris dipipiku, menyadarkanku dari lelap.

Satu persatu wajah-wajah orang yang kusayangi terlintas dipikiranku. Segera aku beranjak dari tempat tidur, berlutut, memejamkan mata dan mengadahkan tangan. Ku syukuri masih dapat ku miliki semua orang-orang yang kucintai dan mencintaiku ya Rab. Namun kusadari, Engkaulah yang lebih tahu bahagia terbaik untuk mereka. Aku berserah kepadaMu...

Kurasakan hangat airmata menggaris dipipiku...

[...if i die young... BDG.12:06.04012011]

*    *    *     

Rabu, 05 Januari 2011

...Kado akhir tahun untuk mom...

Gambar dipinjam dari http://lupwincess.blogspot.com/2009_04_01_archive.html

Malam ini langit Jakarta bergemuruh. Riuh rendah suka cita bersemarak menyambut pergantian tahun yang tinggal beberapa detik lagi. Beberapa kembang api pecah di langit lebih awal bersama dengan tiupan terompet yang juga ditiup lebih awal. "Lebih awal" karena yang kutahu atribut tersebut harusnya beraksi saat hitungan detik ke 10 habis di 1, pertanda datangnya tahun yg baru...

Di Jakarta paling utara, di sebuah desa pinggiran kota yang padat penduduk, udara selalu terasa lebih hangat. Perlahan rindu menyusup bersama hangatnya udara dan tertinggal di hatiku. Menyadarkanku aku akan satu tempat yang kusebut "rumah" beserta semua penghuninya yang teramat kucintai. Hangatnya udara sedikit meleset dari nyaman, kini ia mulai terasa gerah.

3...2...1... Happy new year!!

langit Jakarta kembali bergumuruh, kali ini lebih hebat, lebih bersemarak. Bunyi terompet bersahut-sahutan merambati udara dan singgah di daun telingaku. Bersama raungan terompet dan ledakan-ledakan kembang api yang pecah di langit dan melukis indah, kutahu ribuan doa dan harapan turut melebur bersama kemeriahan ini. Banyak PR yang harus kuselesaikan. Kuhela nafas, mengumpulkan segenap keyakinan yang aku punya mencoba kembali memegang harapan.

Kupandangi lagi langit hitam Jakarta. Kota yang hampir tak pernah menyentuh minatku dan sial!, faktanya nasib membawaku kesini. Okey, sekarang kuputuskan untuk mulai mencoba berdamai dengan keadaan berharap perasaan tak nyaman sedikit berkurang. Kata mereka langit Jakarta selalu terlihat lebih hitam. Aku tak begitu merasakannya, mungkin karena tak pernah punya kesempatan untuk menatapnya lebih hikmat. Namun satu hal yang kurasa berbeda. Langit di "rumah" selalu menawarkan ketenangan untukku. 

Rindu itu tak kunjung redup bersama pesta tahun baru yang kian berlanjut menjadi acara bertukar cerita bersama keluarga. Hatiku turut bergemuruh, rindu ini seolah memecah di langit-langit hati. Sesaat kupejamkan mata membayangkan sesosok perempuan yang sangat kucintai. Bersamanya tak pernah habis kurenangi cintanya yang tak pernah putus kepadaku. Belum ada yang bisa kuberikan kepadanya, bahkan hanya sekedar rasa bangga memiliku. Hanya doa ini yang dapat ku untai, doa yang sesungguhnya adalah ke egoisan. Bagaimana tidak? karena dengan melihatnya bahagia adalah sebagian tujuanku menjejaki hidup.

Bagaimanapun aku tak akan pernah bisa membalas segala yang telah kureguk rakus, bahkan cinta yang kupunya tak akan pernah cukup mengisi cawan berisi cinta yang selalu ia tuang saat aku merasa haus. 

"Selamat ulang tahun mama tercinta. Cinta ini selalu untukmu... I love u mom..."

[catatan -yg berusaha- manis, di malam pergantian tahun yg miris..]