Selasa, 26 April 2011

Aku, mereka, diantara meja bundar itu.... [broken child]


Feel but don't love by Broken child

Di meja bundar itu semua tersaji. Bukan hanya hidangan yang siap disantap tapi juga hati yang siap dicabik-cabik. Selalu seperti itu. Membayangkannya saja sudah membuatku kehilangan selera makan, kenyang dengan semua yang selalu terjadi disana. Tapi aku tak bisa menghindarinya. Aku tak mau menambah kemarahan mereka dengan ketidak hadiranku diantara meja bundar itu.

Meja bundar ini tak seperti meja bundar yang kemarin-kemarin lagi. Dahulu meja ini adalah peraduan kasih sayang. Tak ada lagi cinta disana, yang tersisa hanya luka yang harus selalu kureguk mau tak mau. Meja bundar ini bukan hanya sekedar meja makan, tapi juga panggung bagi mereka. Tempat penyiksaan bagiku karena aku dipaksa menjadi penonton dengan perasaan yang siap dijagal habis.  

Seperti biasa, aku selalu di tempatkan ditengah-tengah, diantara mereka. Ternyata meja bundar ini tak cukup luas untuk menghalangi kebencian mereka. Biasanya, obrolan selalu dimulai dari basa-basi yang ditanyakan kepadaku. Tentang hari-hariku, tentang kegiatan sekolahku. Sekedar basa-basi, karena sesungguhnya mereka tahu jawabannya, meski aku berkata baik-baik saja. Atau hati mereka sudah semakin kebal, tak peka lagi terhadap keadaan yang sebenarnya. Mereka terlelap dalam mimpi buruknya sendiri. Dan mengapa aku harus ikut terseret diantaranya.

Sebelum menyantap sarapanku, aku berdoa. Benar-benar bedoa. Semoga pertunjukan cepat usai.

*        *        *

Malam ini aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Suara ibu yang terisak mengusik tidur lelapku. Hampir setiap malam ini terjadi. Aku muak dengan semua ini, kesal tak tahu harus berbuat apa.

Ku putuskan untuk tidur di dalam kamar mandi, satu satunya tempat yang aman dari semua suara isak ibu yang terus menusuk bukan hanya di telinga tapi juga hati ini. Kuhidupkan keran deras-deras, berharap suara itu lenyap dari kepalaku. Sial, aku tak dapat menahan diri untuk tak terbakar rasa kesal yang memaksa memecah, lantas aku teriak sekuat tenaga, berharap kesal menguap bersama teriakanku yang merambati dinding kamar mandi pucat itu. Tahukah mereka yang kubutuhkan hanya ketenangan agar tetap menjadi waras. 

*        *        *

Pagi ini aku bangun terlambat. Aku tak peduli. Degan seragam lusuh dan langkah meragu, aku berjalan menuju meja makan. Aku duduk ditempat biasa. Mereka sudah disana lebih dahulu. Tak banyak makanan yang tersaji, hanya beberapa potong roti dan tiga gelas susu hangat. Tak ada lagi basa-basi yang ditujukan kepadaku. Mata ibu sembab karena menangis semalaman sedang ayah terlihat tak serapi biasanya. Mereka diam dan aku bersiap akan sesuatu yang siap meledak di depan meja itu. 

Aku mulai berdoa. Tak sungguh-sungguh berdoa, karena aku ingin cepat berangkat dari meja makan yang mendadak menjadi meja paling bisu.

Kusantap roti yang telah kubalur dengan selai. Menyantapnya perlahan, mengunyahnya dengan perlahan,

Segera ku sudahi sarapanku dan tak mau menunggu piring-piring itu berterbangan, aku segera beranjak dari sana. Tak ada lagi adegan cium tangan. “Aku pergi...” salamku mengambang diudara dan dibalas dengan senyum getir ibu yang terlihat begitu palsu.

Aku berlalu... berlalu meninggalkan mereka... kupercepat langkahku... Aku berlalu... berlalu... berlari... berlari secepatnya.........

*        *        *

Senja baru saja akan turun menyisakan malam. Langkahku melambat saat memasuki pekarangan rumah yang tak lagi memberikan ketenangan untukku. Aku pulang terlambat tapi ibu sudah tak terlalu peduli, sibuk dengan kesenangannya sendiri.

Rumah ini seperti kehilangan jiwanya. Atau sebenarnya para penghuninya lah yang tak menjiwainya.  Keluarga ini telah kehilangan waktu-waktu kebersamaan seperti dahulu. Tak ada lagi waktu makan malam bersama. Tak ada lagi acara kumpul diruang TV. Semua terlalu sibuk dengan egonya. Sibuk mencari kebahagiaan masing-masing hingga kehilangan kepekaannya terhadap sekelilingnya. Tak lagi saling menghargai.

Aku putuskan untuk mengurung diri di kamar, melupakan makan malam dan segera mengguyur diri dibawah shower,  lama, membersikan rasa penat yang menjubel sumpek di kepalaku dan semoga dapat segera ternyenyak dalam tidur, setelahnya. Kuharap dalam tidur dapat kurebahkan sejenak beban hati ini. Namun kasur ini pun tak dapat menjanjikan ketenangan. Baru saja kantuk menghinggapiku, mimpi buruk itu kembali membuatku terhenyak. Lebih parah lagi, ternyata ini bukan mimpi. Di luar kudengar suara ayah dan ibu dengan nada tinggi. Sesekali terdengar suara barang-barang yang terhempas pecah.

Aku bangkit menuju pintu kamar yang terkunci rapat. Kurapatkan kupingku kepintu itu, sekedar ingin mencari tahu apa yang terjadi. Terdengar ayah yang menjelek-jelekkan ibu, begitu juga sebaliknya, membuat aku bertanya dalam hati, apakah mereka masih ingat kala dulu mereka selalu melempar puji? Kemudian diakhiri dengan suara pintu yang dibanting keras. Malam ini suara ibu yang mengisak miris kembali menjadi nina bobokku.

Aku kembali ke tempat tidur. Menangis kesal karena tak dapat berbuat apa-apa. Aku terisak, meringkuk di balik selimut tebal yang menyelimutiku. Isak tangisku terbawa hingga kedalam mimpi.

*        *        *

Pagi ini aku bangun lebih lambat dari biasanya. Hari minggu yang tak bersemangat. Aku melangkah lunglai seperti mayat bermata sembab -sama seperti hari-hari semalam- menuju meja bundar itu. Duduk manis ditempat biasa. Ibu sudah ada disana tapi tidak dengan ayah. Ia tak terlihat lagi sejak pertengkaran semalam. Suasana semakin terasa begitu senyap. Hanya senggugukan dari tangis ibu semalam yang masih terdengar.

Tak ada apapun yang tersaji di meja bundar itu. Diantaranya, hanya ibu bersama sebotol anggur yang sudah hampir habis dan asbak rokok yang di penuhi puntung-puntung rokok. Ibu terlihat begitu berantakan. Sepertinya, aku harus menyiapkan sarapan sendiri. Maka jadilah dua porsi roti bakar mentega dan dua gelas susu hangat.  Satu porsi ku untuk ibu. Dia pasti butuh banyak tenaga setelah bergadang dan menangis semalaman, pikirku. Kusodorkan makanan itu kearahnya. Sejenak ia menatapku dan peluknya pun berhambur erat ke tubuhku. Tangisnya hangat menetes di punggungku. Kalau kamu besar nanti jangan jadi seperti ayah kamu, itu bisiknya kepadaku. Tercium bau alkohol dari mulutnya.

Hari ini meja bundar itu menjadi panggung sepasang anak manusia yang saling mengobati lukanya dengan saling berpelukkan. Aku hanya bisa menghela nafas dan berdoa semoga semua cepat berakhir.

*        *        *

Sejenak kurasakan ketenagan saat kedua manusia itu asik dengan kesenangan mereka di luar sana. Aku dititipkan dengan seorang pengasuh. Apa jadinya jika mereka mendengar berita tentang seorang anak berusia 14 tahun hilang dibawa lari pengasuhnya. Mungkin akan lebih baik begitu, toh mereka tak pernah benar-benar menganggap aku ada.

Hingga malam turun mereka belum juga pulang. Kuputuskan untuk segera tidur. Sekedar balas dendam dengan hari-hari sebelumnya yang tak menyisakan nyenyak. Dengan keadaan setenang ini, akan dengan mudah aku terlelap dan semoga mimpi indah mampir di tidurku.

Dalam tidurku kurasakan ada seseorang menghampiri. Ia membelai kepalaku. Aku mengenal belaian ini. Belaian dari tangan-tangan berjari besar milik ayah. Antara mimpi dan sadar kurasakan ayah mengecup keningku dan berbisik kepadaku : Kamu jangan seperti ibu kamu, kerjanya hanya berpesta saja. Tercium bau alkohol dari mulutnya.

Aku hanya menghela nafas, semoga semua cepat berakhir dan mimpi indah segera menenggelamkan ku lagi.

*        *        *

Pagi ini, aku adalah orang pertama yang berada di meja itu. Sepertinya, aku sudah harus terbiasa menyiapkan sarapan sendiri. Ibu belum bangun. Semalam ia pulang terlalu larut. Tak lama ayah datang dengan seragam kantornya lengkap. Ia menghampiriku. Memasukkan berapa lembar uang kedalam kantungku. Uang jajan, begitu katanya sebelum ia berlalu terburu-buru.

Hanya aku yang tersisa diantara meja bundar itu. Rasa perih itu masih kurasakan namun aku lebih memilih untuk tak begitu menghiraukannya. Mungkin lebih baik begini, pikirku. Minimal untuk pagi ini, tak kulihat pertunjukan memuakkan yang selalu mereka pertontonkan di meja makan bundar ini.

Ibu tak juga datang. Mungkin ia kelelahan di pesta gilanya semalam. Aku sudahi sarapanku dan sebelum beranjak, kuraih secarik surat dalam amplop putih. Surat undangan orang tua murid untuk menghadiri pentas seni yang akan di selenggarakan siang ini. Dalam acara nanti aku akan mengisi beberapa pertunjukkan seni.

Ku letakkan surat itu diatas meja sebelum aku beranjak meninggalkan meja bundar itu. Aku tahu mereka tak akan datang. Waktu mereka terlalu sempit untuk menghadiri pertunjukkan kecilku. Mereka terlalu sibuk mencari kesenangannya masing-masing. Aku tahu itu. Dan mungkin, aku juga seharusnya seperti mereka. Mencari kesenanganku sendiri.

Ibu yang kutunggu tak juga menghampiri. Kutinggalkan surat itu diatas meja. Aku segera beranjak meninggalakan rumah.

*        *        *

Sebentar lagi pertunjukkanku dimulai. Orang yang paling kunantikan tak juga menunjukan tanda-tanda kehadirannya. Mereka tak ada diantara para orang tua murid, tak juga diantara para penonton. Benar, mereka tak punya waktu untuk menghadiri pertunjukkanku. Sebisa mungkin kutahan tangis yang siap tumpah.

Aku terlupakan...

*        *        *

Mereka menjadi orang-orang yang paling tak kukenal, paling tak kupercaya. Prestasi yang dahulu selalu menjadi milikku hilang tak tergenggam lagi. Tak mengapa, karena itu semua kulakukan untuk mereka dan sekarang, aku pikir mereka sudah tak menginginkannya lagi. Lebih parah lagi, semalam ibu terpaksa datang ke sekolah karena aku kedapatan sedang merokok di kantin sekolah dengan beberapa teman baruku, para anggota gang di sekolah. Ibu marah besar. Ia merasa malu. Ia melarangku untuk berteman dengan mereka dan sebagai hukumannya aku dikurung di kamar seharian. Tak masalah, hukuman yang paling menyiksa bagiku justru menyaksikan mereka saling tegang saraf, seolah berlomba suara siapa yang paling keras.

Mereka saling menyalahkan karena prestasiku yang hancur lebur. Sadarkah mereka, merekalah penyebanya. Aku hanya mencoba mencari kebahagianku sendiri yang tak lagi kudapat dari mereka, seperti yang mereka lakukan saat ini. Bagaimana pula jika seandainya mereka tahu kemarin aku mabuk di sebuah pesta minuman kecil-kecilan dirumah salah satu anggota gang. Ia bernasib tak jauh beda denganku. Ayah ibunya jarang ada dirumah.

Suara mereka tak juga mereda. Aku sudah terbiasa dan sudah terlalu malas untuk mengeluh dan menangis. Lantas kuambil iPod, kusumpel kupingku dengan earphone. Suara teriakkan vokalis rock yang kudengar jauh lebih menenangkan. Kupejamkan mata, memaksa diri untuk segera tidur.

*        *        *

Meja makan bundar itu terlihat begitu kusam, seolah mulai kehilangan kegunaannya. Tak ada lagi obrolan-obrolan hangat diantaranya. Tak ada makanan-makanan yang menyehatkan tersaji disana. Hanya hati yang selalu siap untuk dicabik-cabik. Hati yang tak pernah didengar lagi suaranya. Hati yang tak pernah terdengar menyanyi lagi. Ia hanya merintih, berharap dapat sedikit didengar, cukup sedikit. Demikianpun terlalu muluk kah?

Kurasakan ngilu menggerogoti tulang belakangku. Mungkin akibat posisi tidur meringkuk atau karena aku kerap tidur di dalam kamar mandi. Namun masalah ini lebih membebani. Aku tak tahu harus mengadu kepada siapa. Mereka terlalu repot untuk mendengar keluhanku.

Aku mulai menyantap sarapanku. Roti isi perih. Mereka tak hadir di meja bundar ini, aku sudah mulai terbiasa.

*        *        *

Sneak and you shall find by Broken Child
Hari ini aku berjalan menyusuri kota. Sekedar berkeliling-keliling karena tak ada yang dapat kuajak bermain. Semua teman-teman mendadak sibuk mengikuti bimbingan belajar, karena sebentar lagi akan ujian akhir. Dan barusan aku di nasehati ibu guru. Ia kecewa dengan nilai-nilai ku yang anjlok drastis. Ia mengkhawatirkanku tidak akan lulus ujian nanti. Ibu guru memberiku lembar-lembar ujian kemarin. Tak ada hasil yang memuaskan. Lantas ia menitipkanku surat untuk orangtuaku bersama dengan lembar-lembar bukti kebobrokan prestasiku.

Aku tak berani pulang. Ibu pasti akan marah jika surat panggilan ini sampai di tangannya. Mereka tak pernah mau tahu apa penyebab semua ini, sama sekali. Yang mereka tahu hanyalah memarahi dan menghukumku jika aku melakukan kesalahan. Tak pernah mau tahu siapa penyebab sebenarnya. Mereka lupa kapan terakhir mendampingiku mengerjakan tugas sekolah, mereka juga lupa kapan terakhir mereka mengantarku ke sekolah.

Tiba-tiba jalan riuh. Terjadi kecelakaan di jalan yang baru saja kuseberangi. Terlalu banyak orang yang menontoninya. Rasa ngeri sekejap mengecap tubuhku namun masalahku sudah terlalu pelik untuk berdesak desakkan hanya demi menyaksikan kesialan yang menimpa sang korban. Aku berlalu, mencoba menghapus rasa ngeri yang merasukiku. Punggungku serasa remuk. Ngilunya semakin menjadi jadi.

Langit mulai gelap. Sejuknya angin yang bertiup seolah memusuhiku, memaksaku untuk segera pulang. Mereka pasti belum pulang. Seandainya pun sudah, mereka tak akan mengkhawatirkanku. Selalunya seperti itu.

Langkahku meragu saat memasuki pekarangan rumah. Rumah itu terlihat ramai namun muram. Beberapa kukenal dan lebih banyak lagi yang tidak. Mungkinkah ibu memenangkan arisannya, dan pesta gila berpindah kerumahku? Tak ini tak segila yang kubayangkan. Tak ada musik yang mengelegar, tak ada tawa bahkan senyum di wajah para undangannya.

Tak ada yang memperdulikan kehadiranku. Aku melangkah masuk. Disana kulihat ibu menangisi sosok yang terbaring didepannya. Ayah juga disana, ia juga terlihat menangis. Baru kusadari, mereka semua bukan berpesta melainkan berduka, entah untuk siapa. Rasa ngeri itu datang lagi, kali ini ia seolah berwujud hingga membuatku berkeringat walau angin terasa begitu dingin menguliti.

Aku melangkah menghampiri ibu, mencoba mencari tahu siapakah yang terbaring disana. Namun belum aku melihat wajah pucat itu, rasa ngeri memaksa langkahku untuk berhenti dan berbalik arah menuju kamar. Aku tak ingin perduli siapa yang terbaring disana. Kurebahkan tubuhku yang kedinginan di atas kasur tempatku biasa merajut mimpi. Berharap sekali lagi ia membawakanku mimpi indah.

Punggungku serasa remuk. Ngilunya semakin menjadi jadi. Perlahan perih itu menyeretku kedalam mimpi. Aku merasa lebih baik.

*        *        *

Pagi ini serasa begitu indah. Tak ada lagi rasa ngilu di tulang punggungku. Rasanya aku terlalu lama tertidur. Namun aku tak perduli, yang penting aku merasa baikan. Seolah semua beban yang menggantungiku sedikit berkurang. Dengan langkah seringan kertas aku melangkah menuju meja yang menyisakan kekhawatiranku.

Disana kulihat ayah dan ibu. Tak ada sarapan tersaji disana. Aku duduk diantara mereka. Di tangan ibu ada surat yang kemudian diserahkannya kepada ayah. Surat cerai. Mereka memutuskan untuk berpisah. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Sedih namun entah mengapa ada bahagia terselip disana. Mungkin memang lebih baik begitu. Dengan begitu mereka tak lagi saling menyakiti.

Perlahan kurasakan kebahagiaan menyelimutiku hingga merasuki molekul-molekul kulitku, relung-relung terkecil dalam tubuhku, begitu hangat. Tubuhku seolah ringan dan memudar. Yang tertinggal hanya jernih...

*        *        *
       
[Seorang remaja berseragam sekolah tewas dihantam sebuah mobil yang melaju cepat. Bagian punggungnya remuk karena hantaman yang sangat keras. Di ketahui sang pengemudi adalah seorang pelajar Sekolah Menengah Atas yang sedang mabuk. Belakangan diketahui, pelaku adalah seorang anak yang tertekan masalah pertengkaran orang tuanya…]

BDG.25042011.15:28

Selasa, 05 April 2011

...Biru ini tertinggal dihati...

Re created
Theres nothing you can hide from me... your eyes reflected all, just like a open window... so, let me in just like summer breeze...

Kau tahu perasaan ini, Biru. Tak ada satu pun yang dapat mengubahnya. sekalipun waktu. Tapi saat ini, tahukah kau? Aku menginginkan kau lebih dari apapun. Banyak hal yang ingin kubicarakan. Detik ini, serasa kau terus membayangi namun tak cukup mengobati, hanya menambah rasa rindu ini. Atau sesungguhnya kau telah bersukutu dengan waktu karena saat ini kurasa semua seperti melambat.

Semua terasa begitu cepat sesaat aku tersadar semua telah berakhir. Namun waktu kembali mengendur, memanjang, seolah telah berabad lama kutanggung rindu ini karena tanpa kusadari aku demikian menginginkan kau ada bersamaku. Seperti dahulu. Seperti saat kita jejaki tepian pantai ini hingga membawa kita jauh bermil-mil. Seperti saat kita urai warna keemasan senja yang menunggu tertelan cakrawala barat. Atau saat kau dan aku berdansa diringi nyanyian ombak malam di makan malam romantis ketika kuserahkan janji setiaku bersama sebuah cincin – aku melamarmu. Saat itu kita sepakat tak ada yang lebih merdu dari pada suara ombak, tak ada yang lebih nyaman dari hembusan angin di musim panas.

Kau sungguh menggilai laut. Kau selalu berfikir kalau kau adalah salah satu utusan neptunus yang tersesat di darat. Itu sebabnya kau menyukai laut, kau menyukai warna biru, kau juga berzodiak aquarius dan aku selalu menganggapnya gurauan konyolmu. Kau pun meminta sebuah rumah kayu kecil tak jauh dari pantai ini sebagai hadiah pernikahan kita. Kau teramat menyukai pantai.

Rumah itu tak sehangat yang dulu. Tanpa mu biru yang mendominasi rumah itu terlihat begitu muram, tak seperti dahulu. Karena bagiku kau lah arwah yang menghidupkan biru itu. Rumah mungil itu sedikit terabaikan olehku. Warna biru dan putih nya telah usang, termakan cuaca dan lembab angin laut. Aku berencana untuk mengecat ulang rumah itu. Mungkin akan kuganti biru yang sedikit lebih ceria karena menurutku biru yang kau pilih terlalu sendu. Kuharap kau tak marah.

Re created

Ada perasaan senang yang terselip saat kaki telanjangku menyentuh butir-butir pasir. Terasa lembut dan seolah aku turut mendengar detak jantung bumi disana, seperti yang kau katakan dulu. Tanpa kusadari perasaan yang dahulu kuanggap kekonyolan telah merasukiku dalam, perasaan biru yang kau tularkan. Mungkin dahulu aku tak terlalu peka dengan semua yang kau rasakan, aku terlalu berambisi memilikimu. Dan kini biru itu telah tinggal dihatiku, Biru.

Mungkin kisah kita terlalu singkat tapi semua teramat berharga untukku. Haruskah aku bersedih atas kepergianmu? Kala kau pergi kau memintaku untuk tak mengubur jasadmu, kau tak ingin terkubur kesepian, maka kau meminta untuk dikremasi dan kemudian abumu dilarung di laut. Karena dengan begitu impianmu berkeliling dunia akan tercapai bersama abumu yang tertelan lumba-lumba, wasiatmu telah terpenuhi.

Kau juga pernah berkata jika suatu saat aku merindukkanmu aku tak perlu repot, cukup pergi kepantai karena kau pasti akan selalu disana. Mungkin itu sedikit menjelaskan wasiatmu yang dipandang aneh oleh awam. Kau tak ingin terkubur dibawah prasati dingin yang menandai jasadmu tertidur disana, akan mengundang rasa sedih saja. Laut biru nan luas lah yang pantas menjadi tempatmu bersemayam. Laut biru yang memeluk dunia, maka dari belahan dunia manapun jika aku merindu -seperti saat ini- aku tinggal bertamasya ke pantai. Bukankah menurutmu ‘bertamasya’ terdengar lebih menyenangkan dari pada ‘berziarah’. Kau tak akan merasa sepi. Akan banyak tawa yang kau nikmati diantara riak ombak di pantai. Demikian juga yang kuharapkan. Suatu saat akanku tunjukan kepadamu bahagianya aku bersama anak-anak kita saat mengunjungimu di pantai ini.

Sambil menunggu senja turun, kususuri kembali bibir pantai, seperti yang selalu kita lakukan. Sungguh aku rindu kau disini, menemani langkahku, menggenggam kembali tangan ini. Sesaat hembusan hangat angin musim panas membelai kulitku. Tak sehangat yang kau katakan, namun cukup membuatku nyaman. Pandangku jauh menatap luasnya biru yang terbentang dihadapanku yang perlahan mulai terlihat menjingga. Sekali lagi, matahari senja memamerkan keindahannya sebelum akhirnya tertelan di cakrawala dan meninggalkan laut yang semakin terlihat misterus.

Diatas pasir putih itu ku rebahkan tubuhku, mencoba mengurai kembali kenangan-kenangan indah bersamamu. Aku semakin tak kuasa menahannya. “Hay,” kusapa kau yang seolah menemukan wujud diantara keemasan senja yang merefleksi di permukaan laut. “aku merindukanmu. Maaf karena sudah lama rasanya aku tak pernah lagi berbicara denganmu.” suara desir pasir yang tertiup angin laut menyapa lembut, diantaranya samar kurasakan suaramu turut membisik.

“Sudahkah kau berkeliling dunia? Bagai mana rasanya menunggangi lumba-lumba? Pasti menyenangkan!” ombak laut mulai merambat naik, kini dia dapat menyentuh kakiku. “Ada yang ingin kusampaikan kepadamu Biru. Saat ini aku sedang dekat dengan seorang wanita berhati emas. Aku mencintainya, Biru. Tak dapat kupungkiri, aku butuh seseorang untukku berbagi”

“Semua karena perasaanku terhadapmu begitu berlebih. Aku tak ingin semakin tenggelam bersama semua kenangan yang pernah kita rajut bersama. Kau tak perlu kawatir, kau selalu punya tempat istimewa dihatiku. Aku hanya ingin kau tahu cinta ku tak berkurang sedikitpun. Aku mencintaimu, maka izinkan aku juga mencintainya. Dia sungguh seorang perempuan berhati emas, kau juga pasti akan menyukainya.”

Biru, mungkin saat ini kau menatapku bahagia. Bertengger diantara gugusan awan yang menjingga dilembayung senja yang kutatap. Senyummu… senyummu masih menjadi penenang untukku. Dan mungkin kini senyummu menjadi bagian dari laut yang siap merobek apapun dengan badainya. Misterimu menyatu bersama magisnya suasana senja di pantai ini. Rindu ini memberat namun begitu lepas, terbawa hangatnya tiupan angin musim panas. Maka biarkan aku menangis, sekali pun kau tak pernah ingin ditangisi. Kali ini saja, biarkan aku terisak manja diatas pantaimu, biarkan airmata ini tersapu ombakmu agar tersampaikan rasa rindu yang teramat ini.

Aku berniat untuk melamarnya. Tolong jangan salah sangka, tak akan ada yang menggantikan tempatmu dihatiku. Kau teristimewa untukku, demikian juga dia. Dia yang telah mencintaiku seperti kau mencintaiku. bukan maksudku menyamakan kalian, namun cintanyalah yang kini nyata tengah berdiri di tebing pintu hati ini. Dan aku tak dapat memungkirinya, jauh didalam hatiku aku juga menginginkan cintanya.

Segala tentangmu seolah mengkristal dalam ingatanku, tak akan ada yang akan dapat mengusiknya bahkan cinta yang kupunya untuknya. Aku hanya ingin menjalani hidup ini dengan semangat baru yang lebih nyata, bukan sekedar kenangan. Maafkan aku.

Biru, aku harap kau merestui jalanku yang masih harus kutepaki ini. Karena bersamanya aku ingin mewujudkan mimpi-mimpi kita yang tertunda. Malam semakin pekat, namun laut terlihat begitu tenang. Permukaannya berubah keperakan, memantulkan cahaya bulan. Ombak yang bergulung beriringan menciumi bibir pantai, menyentuh hangat jari jemari kakiku. Aku tahu, kau merestuiku.

Aku harus segera beranjak. Terimakasih atas kisah luar bisa yang pernah kita rajut bersama. Ingatlah, kau tak akan pernah terganti olehnya atau siapapun.

Dia mungkin sudah menunggu di rumah biru itu. Disana telah kusiapkan sebuah makan malam kecil istimewa untuknya. Malam ini aku akan melamar cintanya. Dan ku ingin kau menjadi saksinya.

Sampaikan salamku untuk neptunus, jika kau bertemu dengannya disana...

Seorang wanita bergaun putih berdiri diujung perkarangan rumah biru itu. Rambut dan pita digaunnya melambai-lambai tertiup angin pantai. Menunggu pintu itu terbuka untuknya. Di wajahnya terlihat cerah, secerah malam itu. Ya, dia jatuh cinta.

[BDG.032011]

...cukup sampai disini...


http://pakistaniat.com/2008/05/08/pakistan-women-violence/
Semua harus berakhir disini. Sudah cukup, sabarku kian mengering. Tak ada lagi yang boleh melukaiku, tidak dia, tidak siapapun. 

Kupandangi wajahku dicermin yang hari kehari semakin terlihat menyedihkan. Wajah yang bukan hanya kehilangan keceriaannya tapi juga kepercayaan akan mimpi-mimpinya. Wajah yang penuh luka memar karena kepengecutannya. Pengecut karena selalu melampiaskan semua kegagalannya kepada tubuhku.

Selalu seperti ini. Selalu berakhir dengan luka yang semakin membuatku jengah. Sungguh tak pernah kusangka semua akan menjadi seperti ini. Harapan dan mimpi yang pernah kutitip bersamanya seolah menguap, menghempasku ke jalan yang semakin tiada pasti untuk terus kutempuh. Rumah tangga ini hanya satu kesalahan. Harapan yang kuharap berbuah bahagia ternyata kecewa. Dan kini hanya sesal yang tersisa.

Kudapati bayangku dicermin. Terlihat menyedihkan. kususuri luka-luka diwajahku. Tak pernah kubayangkan akan separah ini. Jauh dari semua, hatiku lebih terluka. Laki-laki yang kucinta dan mengaku mencintaiku tega melakukan semua ini. Dimana semua janji-janji yang dahulu pernah ia ucap untukku?

Terlalu banyak yang kupertaruhkan untuk hubungan ini. Mungkin dahulu yakinku dapat menguatkan tapi kini semakin tak dapat lagi kutahan, kau tak lebih dari seorang pecundang, pengecut. Bayangkan betapa terlukanya aku saat laki-laki yang kucinta mencekikku,  menyeretku saat tubuh ini tak terbungkus sehelai benangpun. Atau tahukah betapa terlukanya aku saat laki-laki yang kuharap dapat melindungi diriku justru dengan ringan melayangkan kepal tinjunya kewajahku. Bayangkan seberapa mengerikannya malam-malamku saat ia mulai mendekapku dan mencumbui tubuh yang habis babakbelur, dikala air mata masih mengendap di pelupuk. Tak ada lagi cinta disana, yang tersisa hanya rasa takut.

Sekarang bukan hanya fisikku yang ia lukai. Pecundang itu bermain cinta dibelakangku. Lebih menyakitkannya lagi, mengapa harus sahabatku sendiri. Aku tertipu sekali lagi. Mereka tak lebih dari sepasang penghianat busuk. Tak ada lagi yang dapat kupertahankan disini, tidak juga rumah tangga ini. 

Tak ada yang dapat kulakukan selain menangisi sesal. Peraduan pun tak menyisakan lelap, rasa takut terus menghantui hingga kedalam mimpi. Semua kehangatan yang pernah terjadi mengusang, kehilangan gairahnya. Sungguh yang kulakukan hanya berusaha untuk bahagia, tak lebih. Namun suratankah semua ini harus terjadi? Kesempatan dan percaya yang kuberi dibalas dengan kecewa dan luka. Aku hanya manusia, semua yang ada padaku terbatas adanya, demikian sabar ini. Aku letih berharap. Aku tak mampu lagi menahan rasa sakit ini, tak mampu lagi menerima semua perlakuan kasarmu.

Harapan yang pernah menjadi tempatku berpegang agar tetap waras kini seolah menjadi kesia-siaan. Dia menghancurkannya bekeping-keping dan semakin menyakitkan saja jika aku terus menggenggamnya. Dengan sadar aku mengakui cinta untuknya, tapi tak begini caranya. Dan aku gamang, cinta yang kupunya kian berubah. Semua berubah karena perlakuannya yang memperlakukanku jauh dari seorang yang disayang. Tak ada lagi damai yang kurasa, rumah tangga ini layaknya kepura-puraan karena tak pernah aku merasa dapat menjadi diri sendiri. Dia membatasi segalanya. Bahkan sekarang saat semua kebusukannya terungkap. 

http://www.wethewomen.org

Semua telah kuputuskan. Aku harus mengakhiri semua ini. Aku berhak untuk bahagia, setidaknya lepas dari rasa takut. Kukumpulkan kembali puing-puing harapan. Sesaat aku merasa menjadi orang paling bodoh, tak tahu harus menyesali atau malah bersyukur. Ya, bersyukur karena sekarang semua terlihat begitu jelas. Dan sekarang takkan kubiarkan waktuku terbuang sia-sia. Terlalu banyak ketertinggalan yang harus kukejar sekarang, bahagia akan selalu menanti. Diriku teramat berharga untuk terus mengendap disini.

Semua harus berakhir disini. Aku layak untuk bahagia.   

[For my lovely sister, ..yong. Semoga bahagia yang kau cari segera kau temukan.  Stop violence against women!!. BDG.032011]