Senja
mulai turun. Menggurat jingga diantara langit biru kehitaman, terhalang sosok
bukit raksasa yang melindungi kampung kecil ini. Di hadapanku terbentang
hamparan pemandangan terindah. Danau hijau yang membentang sangat luas.
Hijaunya turut menggelap seiring matahari yang semakin bersembunyi di pundak
bukit.
Pasangan
tua penuh cinta itu mulai terlihat di ujung jalan yang terus mendaki. Aku
melambaikan tangan kearah mereka. Keduanya sumringah tulus, berjalan menggiring beberapa ekor kerbau menuju rumah
panggung kayu, istana kecil mereka.
Melihat
pasangan itu beriring menuju rumah saat senja sperti ini, tiba-tiba hatiku
disusupi damai yang begitu nyata. Sesuatu yang semua orang dambakan. Hidup
bersama orang yang kita cintai hingga menua.
Desa
ini terletak di lembah dibawah bukit-bukit di tepi hamparan danau raksasa yang
terkenal akan keindahannya. Desa yang seolah berada didalam mangkuk raksasa.
Jauh dari ingar bingar dunia luar. Yang terdengar hanya suara burung-burung
penghuni lebah dan suara angin yang menggesek daun-daun pinus. Tempat yang
sempurna untuk mengasingkan diri.
Rumah
panggung kayu itu terletak tepat ditepi kaki bukit yang di tumbuhi hutan pinus
dan sebagian sudah tergarap menjadi kebun kopi yang berundak cantik. Posisi
paling sulit untuk di kunjungi namun paling strategis untuk menikmati semua
keindahan alam. Dari jendela rumah kau dapat melihat bentangan desa yang
menghampar hingga ke danau yang terlihat seperti laut. Sedang dari pintu depan
kau akan di sambut oleh bukit-bukit perkasa yang menjulang meninggi ditanami
pohon-pohon kopi yang langsung berbatasan dengan hutan pinus. Seperti bentangan
permadani hijau yang melindungi seisi desa.
Istana
mungil itu dihuni oleh sepasang kakek nenek yang biasa kupangggil opung. Mereka hanya hidup berdua dirumah
itu. Sesekali salah seorang anak mereka -yang memilih hidup dan bekeluarga di
desa ini- melihat-lihat keadaan mereka. Sisanya lebih memilih hidup diluar desa
demi kehidupan yang lebih baik. Sepi namun selalu ada cinta disana untuk tetap
terus menghangat.
Rumah
kayu itu memiliki dapur yang sering merangkap menjadi ruang keluarga. Satu-satunya
ruang bertungku yang digunakan bukan hanya untuk memasak tapi juga penghangat.
Tungku itu berada tepat ditengah-tengah ruang berukuran cukup luas untuk
rebahan. Tak banyak ornamen yang menghiasi ruang-ruang. Sederhana sekali. Hanya
beberapa pajangan berbau keagamaan saja.
Di
desa ini, waktuku seolah lebih lambat bergerak. Biasanya kupenuhi dengan
membaca buku di tepi kebun kopi, lengkap dengan secangkir kopi olahan opung sendiri. Bila ingin sedikit
berolahraga, aku bisa ikut membantu kedua opung
diladang atau memanen kopi yang telah masak. Jika punya tenaga ekstra, trip
kecil menuju air terjun di tepi hutan akan menjadi pilihan kegiatan
selanjutnya.
Saat
malam turun, suhu udara ikut membeku. Maka kami akan berkumpul di dapur
bertungku. Bersama-sama menyiapkan makan malam. Banyak perbedaan antara kami
namun tak pernah menjadi penghalang untuk saling berbagi kebahagiaan. Opung perempuan tak pandai berbahasa
Indonesia sedang aku tak pernah fasih berbahasa batak. Maka opung laki lah yang menjadi perantara
kami. Seringnya kami berbahasa isyarat untuk saling berkomunikasi yang malah
kerap menjadi bahan candaan efektif untuk mencairkan suasana.
Menu
kali ini sesederhana biasanya. Semua bahan didapat dari kebun ataupun tumbuhan
yang tumbuh disekitar desa. Maka dengan bahan seadanya, opung laki –yang tak hanya handal sebagai petani dan penebang kayu
tapi juga koki- mengajariku mamasak ayam yang tadi sore kusembelih. Ayam gulai
kelapa ala batak. Ya, mereka memintaku menyembelih ayamnya dengan cara yang
diajarkan kepercayaanku agar aku merasa nyaman. Walau sebenarnya sungguh hal ini tak
pernah menjadi masalah yang berarti untukku.
Kerena
tomat sedang sulit di minggu akhir panen ini, maka sambal kami menjadi sambal dadak kering. Sayurnya lalap timun
dan rebusan daun singkong. Aroma ikan asin yang kami bakar langsung di bara
tunggku mengepul memenuhi ruang, membangkitkan rasa lapar. Seperti biasa, opung laki akan memimpin doa sebelum
kami menyantap makan malam.
Berada
diantara mereka membuatku merasa menyasikan langsung kisah cinta abadi yang
mengalahkan waktu. Mungkin opung laki
bukan tipe yang senang memuji atau romantis kepada opung perempuan. Tapi saat ia memasakkan makan malam untuk kami
siapa pun akan melihat ketulusan yang tanpa sadar ia praktekkan. Atau saat
makan malam usai dan kantuk mulai menguasai kesadaran kami yang tergeletak
pulas diantara tungku. Opung laki
yang biasa menikmati kopi dan kereteknya di waktu larut sambil membaca
jurnal-jurnal dari gereja atau pemerintah desa, akan datang menghampiri kami satu
persatu. Dengan hati-hati di menyelimuti kami dengan selimut tambahan yang ia
bawa. Aku tahu tapi tak ingin membuka mataku hanya demi merasakan ketulusan
yang ia sematkan bersama hangatnya balutan selimut. Terkadang ia turut
menyematkan jaketnya untuk membuat kami tetap nyaman dan hangat dalam tidur.
Saat
subuh turun, opung laki
membangunkanku untuk ibadah. Kita harus berjalan sedikit jauh dari rumah untuk
menuju sumber air. Disana aku akan mensucikan diri sebelum ibadah subuh. Opung laki turut menemaniku, karena
diluar masih teramat gelap di jam-jam sepagi ini. Maklum, listrik di desa ini
masih teramat terbatas untuk menerangi jalan. Biasanya kami menyiapkan beberapa
ember air untuk opung perempuan -yang
sudah tak kuat lagi untuk mengangkat air- dan kebutuhan dapur tentunya.
Opung laki akan merapikan kamarnya dan
membentangkan kain terbaiknya sebagai alas untukku ibadah sebelum akhirnya ia
menuju dapur, menyalakan kembali tungku dan menjerang air yang tadi kami
angkat. Sebagian air digunakan untuk air minum dan sebagian untuk mandi opung perempuan. Belakangan opung perempuan mulai mengeluhkan
tentang tubuhnya yang semakin tak tahan sejuknya air gunung.
Betapa
nyata ketulusan kasih yang opung
punya. Bagiku merekalah mahluk berhati emas. Karena saat tulus itu kau terima
hanya ada damai dan cinta yang kau rasa. Hal itu yang ingin kucuri darinya.
Kebijaksanaan, ketulusan, kesederhanaan dan kasih menjadi satu. Siap
mencerminkan kebaikan kepada siapa saja yang ingin menemukan kebaikan itu
sendiri.
Pagi
belum benar-benar datang, opung
perempuan yang sudah terlihat bersih segera menyiapkan kopi untuk opung laki yang sedang mandi. Kopi yang
ia sangrai sendiri, yang ia giling sediri kini berpindah kedalam teko kaleng
usang, siap menjadi teman santapan pagi ini. Pagi ini ubi jalar rebus dan kopi
istimewa buatan opung menjadi santap
pembuka hari.
Kami
duduk mengelilingi tungku menikmati santap pagi. Sungguh senang melihat mereka
bercerita penuh bangga tentang anak-anak mereka yang kebenaran berkegiatan tak
jauh dari bidang keagamaan. Bukan harta dan materi yang mereka banggakan tapi
lebih kepada kedekatan anak-anaknya kepada sang pencipta. Tentang anaknya yang
seorang guru agama, seorang pastor dan seorang lagi yang tengah belajar menjadi
seorang pastor. Sungguh membanggakan. Satu ketika pernah opung laki berkata kalau semua agama mengajarkan kebenaran. Tak perduli
apapun labelnya, agama harus mengajarkan kasih terhadap sesama, memberi
kedamaian untuk kita, untuk sesama. Aku mengamini perkataannya.
Untuk
kesekian kalinya aku merasa amat beruntung memiliki mereka sebagai orang yang
mengasihiku. Sepasang manusia berhati emas dalam kesederhanaan.
Kuingat
lagi tujuanku kembali lagi kerumah mungil ini. Ada gundah yang berkecamuk dalam
diri ini. Gundah berupa ketakutan-ketakutan yang terkadang aku tak tahu dari
mana asalnya. Gundah yang ingin ku lebur disini. Di tempat penuh damai dan
ketulusan ini. Gundah yang mengahantuiku sejak satu keputusan yang kurasa belum
tepat waktu untuk kujalani terlanjur kuambil. Mungkin aku takut kebebasanku
terikat, dibatasi tanggung jawab yang terlanjur kuambil. Atau aku takut tak
dapat merealisasikan mimpi-mimpi yang kupunya selama ini karena terhalang
kesibukan yang lebih menyita waktuku. Ketidaksiapan tentang satu langkah besar
dalam hidupku. Langkah yang kutakut adalah kesalahan.
Dan
saat melihat kedua opung yang
terlihat amat bahagia dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan yang mereka
miliki, aku malu melihat diriku sediri. Mengapa aku seperti tahanan dalam hidup
sendiri? Bukankah harusnya aku lebih bisa jadi sipenentu jalan hidupku sendiri?
Sungguh tak pernah semudah kita mengatakan. Atau semua hanya
ketakutan-ketakutan tak beralasan saja? Tak lebih.
Melihat
kedua opung yang kembali berjalan
beriringan saat akan memulai rutinitas mereka, rasa iri terbesit dihatiku.
Mengapa aku tak dapat berpikiran sesederhana mereka saja? Tapi mungkin ini lah
kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup mereka. Siapa yang tahu? Mungkin saja
sebagian orang menganggap apa yang kedua opung
lakukan di hari-harinya adalah satu kebosanan. Tapi mungkin itulah yang opung cari. Bukan kehidupan yang mewah.
Haruskah
kupertanyakan kembali cinta yang kupunya? Apakah gerangan yang membentuk gundah
ini? Hidup seperti apa? Kebahagiaan yang bagaimana yang sebenarnya kudamba?
Semua pertanyaan semakin menghimpitku sesak.
Matahari
saat itu perlahan muncul dari diantara bukit di seberang danau. Cahaya peraknya
memantul di permukaan danau yang berwarna hijau kebiruan. Sosok kedua manusia
penuh kasih itu usai tertelan jalan yang semakin menurun. Opung laki menggiring beberapa ekor kerbaunya dan membawa beberapa
perlengkapan kebun sedang opung
perempuan menjunjung ember yang tak kutahu isinya, tangan sebelahnya menenteng
bekal untuk makan siang mereka nanti.
Tiba-tiba
aku merasa amat kecil diantara semua ini. Kedamaian seperti apa yang kucari
sebenarnya hingga aku terdampar disini? Memilih hilang dari peredaran. Ini bukan hanya perkara menyepi tapi juga menemukan
kembali rasa percaya yang akan menguatkanku untuk tetap melangkah maju. Atau
malah sebaliknya, menemukan kebenaran yang mengharuskanku memutuskan sesuatu
sebelum terlambat.
Menjadi
benar bukanlah hal yang mudah. Mereka-mereka yang tak mengertimu akan selalu
punya alasan untuk menganggapmu salah. Karena sejatinya kebahagiaan untukmu
belum tentu menjadi kebahagian mereka juga. Namun jujur terhadap diri sendiri
adalah kewajiban universal yang akan membebaskan kita dari kepicikan memandang
hidup yang serba dualitas. Memiliki dua sisi. Kebenaran yang relatif.
Mungkin
banyak yang akan terluka. Tapi sejatinya manusia adalah egois. Kita punya tujuan-tujuan
berbeda di hidup masing-masing. Orang tua, saudara, sahabat karib, siapa saja.
Masing-masing punya tujuannya sendiri. Dan yang paling kita butuhkan adalah
pengertian untuk memahami dan dipahami.
Kopi
yang ku teguk kehilangan hangatnya dan menjadi semakin getir di lidah. Ubi
jalar rebus sarapanku semakin mengerut, semakin susah untuk ditelan. Lantas
kuputuskan untuk bernjak menuju kebun kopi. Memungut kopi-kopi yang sudah
memerah kehitaman dan memasukkannya kedalam ember yang kubawa. Terus melangkah
menepaki kebun yang berundak membukit.
Aku
terhenyak saat akhirnya kau tiba di perbatasan kebun dan hutan pinus. Daun-daun
jarum pinus tua yang diterpa angin di penghujung mei menutupi pemukaan tanah
seperti permadani cokelat. Tak terasa, kini aku sudah berada diatas dengan
seember kopi yang sudah matang.
Bahkan
alam pun mengajarkan banyak ilmu jika kita peka terhadapnya. Seperti yang
kualami saat ini. Anggaplah buah kopi yang kau pilah dan kau kumpilkan adalah
pelajaran dari berbagai kejadian yang terjadi di hidupmu. Semua akan mencapai
batas hidupnya. Seperti saat aku berada di puncak bukit, perbatasan hutan ini.
Jika kau memang cermat, buah kopi yang terbaiklah yang mengisi embermu. Dan
saat kau dipuncak, kau dapat melihat seberapa misteriusnya langkahmu kedepan,
saat melihat kebelakang, kau akan menemukan keindahan yang menghampar luas
sepanjang mata melihat. Seperti masa depan dan kenangan.
Kuhela
napas panjang. Mencoba menghempas semua gundah bersama lelah. Aku terduduk
penuh takjub di bibir hutan. Menatap kosong pemandangan yang memenuhi
penglihatanku. Mencoba menyimpulkan semua yang kudapat di tempat ini menjadi
damai yang akan menenangkan gundahku. Hidup punya jalan sendiri untuk menjadikan
semua pemeran di panggungnya dramatik.
Terkadang
pasrah menjadi jalan tertepat untuk meraih damai. Atau damai yang terlahir dari
rasa pasrah hanyalah bom waktu yang kapan saja akan siap memporakporandakan
kepalsuan.
Perlahan
awan hitam berarak di ujung pulau. Aku melihat hujan yang tumpah di belahan
bukit di pulau yang terletak di tengah-tengah danau yang menghampar di depanku.
Di lebah ini begitu cepat terasa perubahan cuaca. Awan hitam mulai merambat menuju lembah. Bersamanya, damai menyusup ke
dalam diriku. Hati ku berbisik, aku hanya ingin mensyukurinya dengan tulus. Tanpa
rasa dendam dan bersalah.
Semilir
angin menghembus menerpa tubuhku. Ranting-ranting pinus pun mulai bergesekan menyanyikan
lagu muram namun damai. Mataku perlahan memejam, menghanyutkan jiwa menjadi
satu dengan sekitar. Akulah si pemeran di panggung hidup. Hanya sebutir pasir
didalam tabung waktu yang terus bergulir.
Bandung, 14 mei 2013, 11.42
Dream with a broken heart by John Mayer.