Jumat, 19 Maret 2010

...Aku, Ego dan si Boss...

Kupandangi wajahku di permukaan cermin yang sedikit berembun. Kusapukan krim after save kebagian ats bibir, dagu dan leher sebagai ritual cukur pagi ini. aroma musk menyeruak ke sekeliling toilet.

Kususuri bayang wajah yang terpantul di permukaan cermin, wajahku terlihat semakin pucat, mungkin efek sesaat facial foam yang ku gunakan, mataku terlihat sembab,sudut-sudutnya terlihat kemerahan seperti tatapan cecunguk yang mabuk oleh arak murahan, rambutku masih berminyak, sisa wax yang kugunakan semalam. Sama sekali tak ada yang menarik disana, ini mematahkan asumsi banyak orang yang percaya kita terlihat jauh lebih cantik atau tampan pada saat kita baru bangun tidur. Wajahku terlihat sangat letih dan berantakan.

Terlalu banyak bir dan kopi semalam. Masih ku rasakan degum hentak suara musik didalam kepalaku, membuatnya semakin berat saja. Letih juga masih menglayuti tubuhku, bahkan untuk berdiri di depan cermin inipun aku harus berusaha kuat menahan rasa mual.

Perlahan kejadian semalam terlintas di benakku, seperti potongan-potongan film. Malam itu, malam panas yang membakar habis pendirian yang kubangun setelah kesalahan yang lalu, runtuh begitu saja bersama hentakan keras musik club. Saat itu mungkin iblis turut menari bersamaku yang semakin terlupa akan keberadaan iman yang terselip di hati, maka jadilah aku satu dari ribuan orang berengsek di kota ini, setanpun turut berpestapora bersamaku, tertawa selebar aku tertawa...

Dari awal aku tahu, cepat atau lambat aku akan terbawa arus kencang ini. Arus pergaulan yang menuntut loyalitas atas segala kegilaan demi eksistensi yang sesungguhnya tak pernah sejati adanya. Kasenangan yang semu, yang selalu kusesali setelahnya namun selalu terabaikan hitam yang mengancam dibalik punggungnya, kesenangan yang menyesatkan.

Setan menggandeng tanganku erat saat langkah pertamaku di dunia yang menjajikan kesenangan sesaat itu. Aku terlalu lemah untuk menolak kemewahan itu, kenikmatan yang tercium begitu menggoda, menjajikan jutaan kesenangan. Mantra sedehhanaku belum cukup untuk menangkalnya. Lingkar janji untuk tak akan mengulangipun terlewati. Janji bukan hanya tinggal janji saja, jauh lebuh hina, ia menjadi sesal yang akan membusuk ku tangisi.

Sial!!! Lagi-lagi aku dipercundangi nafsu yang lepas dari ikatan moral yang kubangun. Belum cukup kuat rupanya, belum cukup tebal tembok pendirian yang melindungi iman ini hingga akhirnya roboh dihantam geliat nafsu yang agresif menuntut untuk terus dipenuhi. Sial!!! Mengapa harus terjadi lagi!

Kubasuh lagi wajahku, berharap kantuk benar-benar hilang. Ingin kumuntahkan saja rasanya. Memuntahkan mual yang menggantung di ujung tenggorokan, sisa-sisa kegilaan semalam. Aroma busuk bir yang mengendap di lambungku masih dapat kurasakan, mengalahkan aroma pasta gigi yang kugunakan.

Dia masih terlelap...
Diatas tempat tidur. Tempat segala kegilaan itu berlangsung juga tempat yang sama saat aku berdoa malam, melaporkan apa saja yang kukerjakan sepanjang hari kepada si Boss. Entah apa lagi yang akan ku laporkan kepadaNya. Tugas yang Dia berikan mutlak gagal, tak ada yang bisa kulaporkan selain penyesalan lagi dan lagi... Penyesalan-penyesalan yang selalu membuatku merasa paling tak berguna, merasa pucundang paling kalah. Aku bosan harus terus begini! Seharusnya aku dapat memberikan yang lebih baik dari sekedar penyesalan. Bukan tiket kesenangan sejati yang Dia janjikan yang menjadi tujuanku, jauh dari itu aku hanya ingin menjadi manusia yang lebih baik. Mungkin aku bosan dengan ini karena begitu nyata kudengar teriakan hatiku yang mengemis meminta kekonyolan ini dihentikan.

Kupandangi wajah sayuku di cermin. Merah menggaris di dagu. Pisau cukurku ternyata sedikit mencideraiku. Baru kurasakan perih setelah kini aku melihat luka itu. Persis penyesalan yang kurasa. Selalu terasa setelah semua terjadi. Mungkin setan masih ada disampingku, karena tiba-tiba saja aku merasa tak ada yang salah dengan semua yang ku lakukan. Menjadikan diri ini sendiri tameng. Diri yang terlahir menjadi manusia yang selalu khilaf. Aku patut menikmati masa muda ini, aku berhak menikmati kesenangan dalam hidupku. Dan nafsu adalah bagian dari diri ini, ia layak mendapat maaf.

Ku kerjap-kerjapkan mataku. Ku geleng-gelengkan kepalaku, berharap ego yang meracuni kembali diam ditempatnya, secepatnya. Kucoba menenangkan kembali pikiranku, mempererat peganganku pada titah si Boss dan kembali menyusuri hati yang berbisik kejujuran. Segera ku benamkan wajahku dengan guyuran air keran. Kesadaran kembali menguasaiku walau belum sepenuhnya. Aku yakin Boss menciptakan bagian-bagian dalam hidupku bagai kepingan mazaik yang harus aku satukan, yang selalu mempunyai sisi lain untuk disandingkan. Dan akal adalah bagian lain dari ku yang harus kugunakan untuk menetralkan nafsu.

Kubasuh darah yang mengalir di daguku. Cuma luka kecil. Mungkin ada baiknya kusudahi pertempuran ini dengan air sejuk yang siap mengguyurku kuyup. Dan berdoa, seperti yang kulakukan setiapkali ini terjadi, berharap aku kembali putih, walau aku tahu itu tak akan mungkin namun Boss memerintahkanku begitu, agar Dia dapat kembali menerima semua laporan baikku.

Akupun melangkah menuju kamar mandi... Kiriku mengawalinya...

[Boss... Ampuni kelalaianku... MDN.23:04.19032010]