Rabu, 17 Agustus 2011

Covered Jazz II



Pearlescent Diva By Brent Lynch (http://www.art-prints-on-demand.com/a/lynch-brent/pearlescentdiva.html)

Malam semakin lambat bergerak. waktu seolah berkhianat membiarkan sepi ini menjalari tubuh kurusnya. Alunan musik jazz merambati udara yang menghangat mengisi ruang. Dian masih menunggu disana. Cintanya menghilang tak terdengar lagi kabarnya. Wajahnya sendu menggariskan rindu dan khawatir yang kian menggunung. Dimatanya terpantul bayangan pasangan-pasangan yang sedang dimabuk cinta, saling merangkul, seperti melayang dibuai jazz. Ada risau disana, turut menari-nari dimatanya. Alunan musik jazz membelai-belai emosi Dian, seperti jari jemari bayu yang membelai lembut lidah api sang pelita.

Tempat ini adalah tempat mereka dahulu sering menghabiskan waktu. klub jazz mungil namun begitu menghangatkan. Siapa sangka tempat ini akan menjadi tempat Dian menyimpan airmatanya, setelah beberapa bulan lalu tempat ini adalah tempat senyum tawanya tertumpah. Pria itu yang mengenalkannya dengan klub jazz mungil ini. Tempat mereka menghabiskan masa-masa indah berdua. Masih jelas terbayang dalam ingatan Dian saat pria itu melamarnya dengan sebuah lagu jazz indah disudut kegemaran  mereka. Saat itu juga rasa bahagia itu mendorongnya kuat hingga melewati batasan yang digariskan keluarganya. Dian meninggalkan studinya, memilih hidup bersama pria yang begitu ia cintai. Keputusan besar yang kini menyisakan galau. Pria itu menghilang tak tahu dimana rimbanya dan Dian hanya bisa berharap kebahagiaan yang dulu ia percaya tak mengkhianatinya. Kebahagian yang kini bukan hanya Dian seorang yang berharap disana, tapi juga buah hatinya dan jantung kedua yang berdetak di perutnya.

"Dian..." sapa Jo, bartender tomboy yang menjadi teman Dian di klub ini.

Dian segera menoleh kearah bar, mendapati Jo dengan raut wajah yang sama seperti kemarin-kemarin. Wajah penuh kasihan. Dan Dian tak perlu lagi menanyakan tentang peria itu kepada Jo, ia telah mendapati jawabannya.

"Belum ada kabar dari Angga. Sudah menjelang pagi, kamu belum pulang?" tanya Jo, khawatir.

Dian hanya menggeleng kecewa. Ia mulai lelah dengan penantian yang selalu berbuah sama, kecewa.

"Terus, anakmu bagaimana?"

"Aku titip ke ibu tetangga..." Jawab Dian lemas. Ia meraih gelas berisi bir miliknya, namun belum sempat ia menggecap gelas itu dengan bibirnya, Jo sigap merampasnya.

"Oh Tuhan... berapa kali harus kubilang, kamu itu sedang hamil, Dian! Berhenti minum bir!" Jo segera menjauhkan gelas berisi bir itu dari Dian. Sebagai gantinya, ia menyerahkan sebotol air mineral kepada Dian.

Dian hanya pasrah. Ia memegang erat botol itu. Tertunduk memandanginya lama.

Melihat tingkah Dian, Jo semakin tak dapat menahan rasa ibanya. "Aku tahu kamu sekarang sedang kalud, tapi bir tak baik untuk kandungan kamu. Tunggu sebentar." Jo berlalu sekejap menuju ke belakang. Ia kembali dengan sebuah sweater rajut miliknya yang langsung ia serahkan ke Dian. "Pakai ini, biar kamu tidak masuk angin. Kamu harus jaga kesehatan. Tak perlu lagi pikirkan laki-laki tak bertanggung jawab seperti Angga itu. Pikirkan saja anakmu dan jabang bayi yang kau kandung." Ujar Jo geram.

Dian tetap saja tertunduk. Tatapnya beralih ke perut mungilnya yang beberapa bulan lagi akan menggembung. Tiba-tiba beban yang ia pikul terasa memberat hingga membuatnya tak kuasa menahan tangis. "Entah mengapa..." ratap Dian, tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Jo yang melihat Dian menangis semakin tak kuasa menahan rasa kesalnya. "Sial!! Semua laki-laki memang seperti itu! Mereka mahluk yang paling ku benci dalam hidupku! Terlalu bangga hanya karena sekerat daging yang tersempil di selangkangan mereka! Sial!" Jo mengumpat sepenuh hati. Menunjukkan rasa irinya yang tak pernah terlahir menjadi seorang laki-laki utuh.

"Jo, aku butuh kerjaan..." Ujar Dian dengan tatapan mengiba, penuh harap.

Sejenak Jo kehilangan kata-kata mendapati wajah Dian yang ternyata lebih cantik dari yang pernah ia lihat sekilas. Wajah yang membuatnya ingin menyerahkan cintanya. Namun sayang, dunia mereka terlalu picik untuk dapat menerima cinta yang Jo punya. "Sebentar," Jo berpikir, mencari-cari jawaban dari wajah yang membuatnya jatuh hati itu. "Mungkin kamu boleh bekerja di klub ini. Menjadi temanku dibalik meja bar ini. Dengan begitu aku bisa terus memantaumu!" Jo tersenyum lebar. Berusaha menghibur Dian.

"Terus..."

"Kamu tak perlu repot, masalah si boss dan lainnya biar aku yang tangani, kamu besok boleh langsung kerja." Ujar Jo penuh keyakinan.

Dian tersenyum penuh rasa terimakasih.

Jo turut tersenyum. Memamerkan giginya yang geripis akibat terkikis soda.

*          *          *

Diantara meja bar dan lemari yang dipenuhi botol-botol minuman itu, Dian terlihat begitu canggung. Ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai pelayan bersama Jo yang terlihat begitu sibuk melayani tamu-tamu yang silih berganti menghampiri meja bar untuk memesan minuman. Melihat tingkah Dian yang kikuk membuat Jo merasa lucu. Dari mulai bekerja tadi, wajah Jo terus menyunggingkan senyum. Kehadiran Dian cukup memberi tenaga ekstra untuk Jo.

"Santai aja. Ntar juga bakal terbiasa kok." ujar Jo, masih dengan senyumnya yang semakin lama semakin terlihat aneh.

Saat meja bar tak begitu ramai, mata Dian menyoroti seisi klub. mencari sesuatu yang terus ia tunggu hingga saat ini. Yang ia cari masih tak terlihat. Dikejauhan Jo terlihat asik bergoyang sambil menghisap rokoknya, di iringi nada jazz yang menghentak ceria.

Hari ini adalah hari dimana Dian menerima lamaran sang pangeran yang hilang. Masih hangat terasa kenangan itu. Saat-saat dimana cinta memberi keyakinan yang kuat untuk Dian menutup mata dan telinganya dari semua omongan orang sekelilingnya. Saat dimana kebahagiaan seolah berwujud begitu nyata dan membuatnya terlelap, terlupa bahwa bahagia selalu berdampingan dengan kesedihan. Kebahagiannya mengering bersama isak tangisnya bawah bantal lusuh yang tak lagi menjajikannya mimpi indah di malam hari.

Cintanya merapuh. Ia di khianati sedemikian rupa, tanpa pernah tahu alasannya. Namun ia terus mengharap jawaban itu. Jawaban yang bisa saja membuatnya hancur berkeping-keping. Mungkin akan lebih baik begitu, akan lebih mudah untuk merelakan segalanya.

Tiba tiba tangan yang dihiasi tato dan gelang yang bertumpuk milik Jo meraih tangan Dian cepat. "Aku tahu kamu suka lagu ini!" dipaksanya Dian yang masih canggung turut bergoyang.

Dian hanya tersenyum.

"Tak usah pikirkan lagi! Sedih terus juga gak baik buat janin kamu. Dunia ini memang tak pernah adil Dian, jadi kamu harus pandai pandai menikmatinya. Ayo, tarikan kesedihanmu, tertawakan perih yang mempecundangimu." seru Jo, menyemangati Dian.

Seketika semua penonton bersorak girang, turut membakar semangat Dian kembali. Diantara botol-botol minuman yang memantulkan cahaya kerlap kerlip lampu, dua perempuan menari riang mengobati duka masing-masing.

*          *          *
Azan subuh akan segera berkumandang saat Dian baru saja sampai dirumahnya. Jazz tempatnya bekerja sesungguhnya bukanlah sebuah klub malam yang selalu buka hingga pagi, namun dihari-hari dimana pengunjung ramai, klub akan memperpanjang waktu operasinya.

Dian berjalan di sebuah lorong kawasan padat penduduk yang menghantarkannya menuju tempatnya tinggal, di sebuah gedung kumuh berlantai tiga yang terdiri flat-flat yang di tempati beberapa keluarga. Sebelum ia menuju ke flatnya, ia singgah sebentar di sebuah flat, selang beberapa pintu dari flat miliknya. Dian menitipkan anaknya disana. Dari balik pintu coklat itu muncul seorang perempuan setengah baya berwajah ramah.

Dian segera mencium tangan si ibu. Dia masih tidur, bu?” tanya Dian yang langsung di persilahkan masuk untuk melihat sendiri si sulung yang sedang tertidur lelap di dalam kamar si ibu.

“Kamu lembur Dian? Pulangnya kok pagi banget.” tanya si ibu ramah.

“Ya bu... klub lagi ramai.”

“Baiknya kamu cari kerjaan yang lain saja nduk. Kamu anak perempuan gak baik juga sering-sering pulang larut.” Nasehat si ibu yang mulai khawatir dengan keadaan Dian.

Azan mulai berkumandang, si ibu pun mengenakan mukenahnya. Dian segera meraih buah hatinya yang masih terlelap, membawanya menuju flat mereka. “Terimakasih bu, Dian pulang dulu.”

Si ibu tersenyum penuh kebijakan. Wajahnya yang masih dibasahi air wudlhu semakin terlihat berbinar. “Iya, kamu istirahat sana. Jangan lupa shalatnya ya nduk...” pesan si ibu sebelum akhirnya pintu coklat itu ditutup kembali.

Sesampainya di flatnya, Dian langsung meletakan anaknya di tempat tidurnya. Kemudian ia langsung menuju kamar mandi untuk berwudlhu, bersiap untuk mengadukan semua keluh kesahnya kepada kepada sahabat terbaiknya.

*          *          *

Malam ini klub terlihat lengang. Hanya beberapa pasang tamu reguler saja yang terlihat asik menikmati sajian musik oleh para pemusik yang seolah tak pernah kehilangan semangatnya untuk selalu berdendang. Mereka adalah para penghibur sejati. Tak pernah kenal ramai ataupun sepi, suka ataupun duka, hati mereka sungguh tertuang penuh di tiap gebukan drum, tiupan terompet, dentingan piano dan petikan gitar, ditiap nada yang mereka alunkan. Bagi Dian sendiri, mereka layaknya kotak musik yang selalu siap menghibur, sedih atau pun senang. Tak jarang, Dian yang ternyata punya suara merdu itu turut didaulat ikut menyanyi bersama mereka diatas panggung.

Jazz adalah roh dari klub kecil ini. Tak ada semangat yang mampu membuatnya tetap tegak berdiri selain kecintaan para penikmat jazz. Dian adalah salah satunya. Jazz telah menjalin hubungan dengan emosinya entah sejak kapan. Jazz seperti ombak yang mengayun-ayun perahu emosinya. Diatas panggung yang tak pernah ia pijak sebelumnya, segalanya tertumpah. Dian menjelma menjadi diva. Ia bukan hanya menyanyi melainkan menumpahkan isi hatinya. Malam ini semua penghuni klub jatuh hati, turut terbakar dengan hangat emosi yang Dian tebar dari atas panggung yang menjadi bahternanya mengarungi malam. Dan jazz adalah ombak yang mengalun menghentak, memenuhi klub.  

*          *          *

Malam minggu adalah puncak keramaian di klub kecil ini. Klub yang tak terlalu populer tapi memiliki penggemar yang selalu setia meramaikan pestanya. Malam semakin larut, namun pengunjung semakin ramai berdatangan, pertanda kerja keras untuk Jo dan Dian. Mereka terdiri dari beberapa group. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang menggilai jenis musik penuh emosi ini. Tak ada pesta gila seperti di klub disko, segalanya dilakukan dengan elegan dan penuh penghayatan. Kecintaan terhadap jazz membuat mereka seolah di mabuk asmara. Ada juga group pengunjung yang terkesan berpura-pura mencintai jazz demi eksistensi di kalanggannya. Mereka selalu bercerita, berkomentar tentang orang-orang sekitarnya. Group yang tak begitu disukai Jo.

Bar kecil Jo malam ini menjadi tempat yang paling sibuk. Tak henti-henti orang menghampiri dan memesan minuman. Mata Jo kerap mengawasi Dian yang belum begitu terbiasa dengan keadaan seramai malam ini. Di tambah lagi kondisinya yang sedang mengandung. Dengan perut yang sudah semakin membesar, Dian terlihat mengkhawatirkan. Saat bar kecil itu mulai kembali sepi, Jo meminta Dian untuk istirahat, namun Dian menolaknya dengan senyum, mencoba menghapus kekhawatiran Jo. Berdiam diri akan semakin membuatnya kembali tenggelam dalam duka.

“Jo! Satu picher bir lagi untuk meja enam...” ujar seorang pelayan yang masih terlihat terburu-buru menerima pesanan di meja lain.

Dengan sigap, Dian meraih picher berisi bir dari tangan Jo. “Biar aku saja...” ujarnya.

Jo yang terlalu sibuk terpaksa membiarkan picher itu berpindah ke Dian. Di waktu seramai ini memang tak banyak waktu untuk berdiam. Lantas Dian pun berlalu menuju meja enam. Mata Jo tetap awas mengawasi Dian.

Ada beberapa lelaki dewasa disana. Mereka terlihat mabuk berat.

“Satu picher bir?” tanya Dian.

“Ya, letak sebelah sini...” jawab seorang pria yang duduk di tengah-tengah.

Dian segera meletakkannya di atas meja, namun tangannya di cegat. Pria congkak itu memberi isyarat kepada Dian untuk menuangkannya ke gelas pria itu langsung. Teman-temannya yang duduk  ditepi segera memberi jalan kepada Dian. Rasa takut segera menyerang Dian, namun ia mencoba untuk berpikir positif. Ini adalah pekerjaannya, hanya menuangkan bir kedalam gelas pria itu, tidak lebih, pikirnya. Sedikit gugup, Dian melangkah menghampiri si pria congkak itu. Tercium bau parfum mahal yang bercampur dengan bau alkohol yang menyeruak dari mulutnya yang tak henti tertawa. Tertawa entah karena apa. Dian menuang penuh bir itu kedalam gelas penuh kehati-hatian. Tugasnya selesai, ia bersiap berlalu namun lagi-lagi ia di cegat.

“Buru-buru amat sih! Tadi saya lihat kamu menyanyi di panggung loh! Suara kamu bagus.” ujar pria itu, bau napasnya semakin terasa menusuk.

“Makasih... Tapi saya harus segera kembali ke bar.” saat Dian akan melangkah, kacung-kacung si boss manaja manghalangi jalannya dan tiba-tiba tangan besar pria itu menggenggam erat lengan Dian.

“Duduk dulu aja dulu. Temani kita.” tawar si pria.

“Maaf saya gak bisa, saya harus segera kembali.” pujuk Dian, berharap pria itu akan melepaskan tangannya.

Namun pria itu berkeras, ia semakin kuat menggenggam lengan Dian dan memaksanya untuk tetep menemaninya. “Ayo lah... Gak perlu jual mahal kamu.”

Dian mulai panik melihat tingkah si pria yang mabuk berat. Genggaman di lengannya mulai terasa menyakiti. “Lepas!! Sakit!!” mendengar Dian merintih kesakitan, bukannya iba, mereka malah tertawa. Dian yang panik lantas berontak dan tiba-tiba spontan meraih gelas berisi bir itu dan menyiramkannya ke wajah pria itu, yang langsung terkejut dan marah.

“Heiii!! Jangan ganggu dia!!” Teriak Jo yang langsung menghampiri Dian dan menarik tangannya keluar dari gerombolan pemabuk itu. “Kalian sudah mabuk berat, sebaiknya jangan bertingkah macam-macam. Dia perempuan baik-baik!” desis Jo memperingatkan.

“Baik-baik katamu? Oh ya?” pria mabuk itu meraih picher berisi bir dan menyiramkannya ke Dian.

“Kamu!!” Jo mulai kehilangan kendali, namun tinjunya di cegat beberapa pelayan disitu. Sedang Dian hanya diam menangisi nasibnya.

“Aku tahu wanita itu bunting! Kau pikir aku buta? Terus apa namanya, seorang wanita bunting tanpa suami? Jalang!” desis si pria penuh kemarahan.

“Bajingan kau!” Hujat Jo.

Dian semakin tak kuasa menahan sedihnya saat mendengar kata-kata pria itu. Seluruh tubuhnya berguncang hebat. Tak pernah merasa begitu terlecehkannya. Dan Jo segera membawa Dian menuju ruang istirahat di belakang bar. Dian menangis terisak, tak pernah menduga cinta yang ia agungkan kini terasa begitu menyakiti.

*          *          *

Malam ini Dian memutuskan untuk mendengarkan saran Jo. Dian turut pulang bersama Jo. Gedung sederhana bertingkat lima tak jauh dari klub itu terlihat begitu kelam. Hanya beberapa neon merah yang menggantung malas, berusaha setengah mati menyinari jalan. flat Jo ada dilantai dua. Didalam flat jauh lebih gelap karena hampir setengah dari bangunan yang hanya terdiri dari beberapa ruang itu di cat hitam dan putih saja. Bahkan barang-barang yang terpajang kebanyakan berwarna gelap.

“Anggap rumah sendiri. Maaf sedikit berantakan.” Ujar Jo, mempersilahkan Dian masuk. “Oh, sebentar. Kamu harus segera mengganti baju kamu.” Jo berlalu menuju kamar tidurnya yang hanya dipisah sekat lipat berbahan rotan. Ia kembali dengan sebuah piyama lelaki dan selembar handuk yang juga berwarna hitam putih dan menyerahkannya kepada Dian. “Nih. Kamu mandi saja dulu. Sebentar aku siapkan air panas untuk kamu.”

“Makasih Jo. Kamar mandinya dimana?”

“Sebelah sana.” Tunjuk Jo. “Air panasnya nanti aku antar.”

Dian pun berlalu. Perlahan Jo mengikutinya dari belakang mengantarkannya sampai di depan sekat kamar. Cukup sampai di tepi sekat. Dari sana masih dapat terlihat Dian yang sedang melucuti satu persatu pakaiannya yang basah karena bir. Nafas Jo tercekat, melihat tubuh seputih pualam itu ternyata jauh lebih indah dari yang pernah ia bayangkan. Beberapa saat kemudian ia pun langsung menuju dapur. Menyiapkan air panas untuk Dian dan tak henti membayangakan pemandangan yang baru saja ia lihat. Ada rasa sesal terselip dihatinya. Sesal akan perasaan yang selalu menemui jalan buntu.

*          *          *

Malam ini Jo merelakan kasur nyamannya untuk Dian. Dia akan tidur di kasur di ruang tidur mungilnya. Namun Dian yang sudah merepotkannya tak ingin semakin merepotkannya.

“Kasur ini masih luas untuk kita berbagi tempat. Tidurlah bersamaku.” Pinta Dian.

Ajakan Dian terdengar bagai godaan yang sulit untuk ditolak bagi Jo. Lantas jadilah kedua perempuan itu menyibak mimpinya bersebelahan. Namun bagi Jo, justru sekarang mimpinya sedang mewujud nyata. Ia tak ingin tidur. Ia ingin terus menatap Dian yang terlelap tepat di sebelahnya. Hingga wangi yang menyeruak dari rambut hitam Dian menggiringnya kedalam lelap. Malam itu Jo pun bermimpi indah.

*          *          *

Pagi-pagi sekali Dian sudah tak berada disana, ia tak ingin anaknya mencari-cari. Ia membisikkan terimakasih sebelum meninggalkan Jo yang masih terlelap dibuai mimpi indahnya. Ada doa yang tertinggal di atas kasur yang membekas tubuhnya. Semoga cinta sejati segera menemuinya.

*          *          *

Azan magrib baru saja usai, namun para pengunjung sudah mulai berdatangan. Minggu ini klub di penuhi rona-rona penggemar yang jatuh cinta. Juli penuh cinta, bahkan hari ini wajah Jo terlihat begitu berbinar. Mungkin turut tersengat suasana cinta yang memenuhi setiap molekul udara di dalam klub.

Dian sendiri mulai terlihat lebih santai. Mungkin kesibukan dan suasana klub membuatnya sedikit terlupa akan masalah yang beberapa bulan ini kerap menghujaninya. Memang sudah seharusnya ia merelakan semua. Tak mungkin lagi rasanya ia mengharap cinta dari seorang yang tak lagi mendambanya. Ia tak menginginkan jawaban itu lagi, alasan-alasan itu lagi. Ia cukup mengartikan keadaannya yang ditinggal tanpa kata penutup. Mungkin ‘selamat tinggal’ lebih baik dari ‘sampai jumpa’, Dian sudah memilih kata penutupnya sendiri meski tak pernah dia dengar langsung. Sesekali ia membelai lembut perutnya yang semakin membuncit. Disana turut tertanam harapan dan cintanya.

Klub ini serasa rumah bagi Dian. Begitu banyak perasaan yang tertumpah di klub ini. Para penghuni klub adalah keluarganya ,tempat ia berbagi suka duka. Termasuk seorang bapak tua eksentrik yang selalu duduk di pojokan klub. Pak Efendi namanya. Dialah pemilik klub jazz hangat ini. Didasari kecintaannya terhadap jazz maka berdirilah klub jazz kecil ini. Klub yang tak begitu mementingkan gengsi melainkan idealisme. Pak Efendi lebih dari sekedar boss, tapi juga sahabat yang selalu terbuka dan siap membantu keluarga kecilnya di klub.

Hari ke hari, Dian semakin terlihat mengkhawatirkan untuk terus bekerja di balik meja bar dengan perut yang semakin mebuncit. Lantas ia lebih sering di daulat menyanyi dari pada sibuk di meja bar. Hingga suatu malam resmilah ia di angkat menjadi salah satu penyanyi di klub itu. Dian memang terlihat lebih bersinar diatas panggung dari pada di balik meja bar.

*          *          *

Beberapa minggu kemudian lahirlah seorang anak perempuan dari rahimnya. Seorang anak perumpuan berpipi merah merona yang tak henti menangis di jam-jam pertamanya menghirup fana. Para perawat mengeluhkan suaranya yang melengking hebat. Namun Dian tahu, putrinya bernyanyi untuknya. Semenjak ada di dalam perutnya, hentakan-hentakan nada jazz yang penuh emosi telah mengajarinya bagaimana bersenandung menyemarakkan hidup.

Diranjang serba putih itu Dian terbaring lemah. Diantaranya para penghuni klub jazz menemani. Jo, pak Efendi, para musisi jazz dan beberapa pegawai. Hari ini Klub buka sedikit lambat dari biasa, menyambut anggota keluarga barunya. Saat bayi mungil itu memasuki ruangan untuk segera disusui Dian, semua terlihat takjub. Ada sedikit galau mengisi hati Dian.

“Anak ini harus di khomat...”

“Sejak dalam kandungan iya sudah terbiasa dengar teriakku, biarkan aku yang melakukannya.” Seru Randy, si vokalis band klub. Pria berumur empat puluhan itu segera menghampiri Dian dan si bayi dan segera membisikkan ayat Tuhan ke telinga si bayi yang segera berhenti menangis saat mendengar suara beratnya.

Dian tersenyum penuh rasa syukur. Harapan itu begitu nyata ia rasa. Ia tidak sendiri. Keluarga kecilnya di klub akan selalu siap menemaninya. Tak ada lagi penantian panjang. Sudah saatnya Dian beranjak dari keterpurukan. Kedua buah hatinya membutuhkan perhatian lebih untuk tumbuh menjadi pribadi yang seperti ia harapkan.

*          *          *

Dibawah kerlip lampu-lampu klub, wanita itu melangkah penuh kehati-hatian. Wajah tirusnya terlihat ragu. Dian berkali-kali melakukannya, namun gugup kerap membayanginya, ia tak tahu mengapa. Namun saat denting gitar pertama menjentikkan nadanya, bayang gugup pun seolah menyusut hilang di bawah sol sepatu hak tingginya. Seketika Dian menjadi sesosok diva. Sayapnya adalah suara yang mengalun membelai-belai emosi para pengunjung klub. Diatas panggung itu ia tumpahkan segala galau akan cintanya, akan kekhawatirannya, kekecewaannya. Berbagai emosi tertebar membentuk aura yang memikat segenap klub.

Di ujung klub, tepatnya di balik meja bar Jo menatap Dian penuh takjub. Sang diva yang ia kagumi telah menemukan dunianya, sayapnya. Rasa itu masih terselip dihatinya. Jo cukup sadar diri. Tak ada cinta yang tak sempurna, namun cintanya tak menuntut lebih, bagi Jo melihat Dian tersenyum sudah lebih dari cukup.

Malam ini, pesta kecil di klub menjadi sangat memabukkan...

[BDG. 08082011]