Senin, 19 September 2011

...Menyantap "mengapa?"...


Pagi ini Kau dan aku berencana menaiki bukit belakang rumah. Sekedar absen, karena sudah hampir tiga hari kita berada disini tapi tak kemana-mana. Aku terlalu sibuk melampiaskan kegilaanku akan masak memasak. Hari kehari hanya membicarakan makanan apa yang ingin kusantap untuk malam ini, lantas pagi hari menjadi ajang berburu bahan-bahan makanan di pasar tradisional dan saat menjelang sore semua kegitan tertumpah di dapur mungil itu. Kau memilih untuk diam. Tak ingin terlalu melibatkan diri dalam acara balas dendamku. Bagaimana tidak, delapan bulan aku di kota ini tak pernah kutemukan selera makanku yang sebenarnya di semua sajian di kota ini. Ditambah ke-tidak memadainya keadaan di flat untuk memasak sendiri. Dan inilah saat yang tepat untuk menumpahkan segala kegilaanku akan makanan. Hingga tak sadar, sudah beberapa hari kita disini tanpa kemana-mana.

Pagi ini kau dan aku berencana mengkhatamkan buku-buku yang kita gondol dari flat. Sekedar menikmati waktu-waktu berlibur yang tak terlalu panjang ini. Bukit belakang rumah menjadi tujuan kita. Diatas sana akan terlihat seisi kota mungil ini. Suasana yang pas untuk menimbulkan minat baca, menurutmu. Perjalanan dimulai saat matahari bertengger tepat diatas kepala. Beruntung, tak pernah kita rasakan panas disini. Udara menjadi terlalu sejuk di musim kemarau seperti ini. Bahkan memangkas jatah waktu mandiku  yang satu hari sekali menjadi dua hari sekali. Semata-mata bukan karena malas atau takut akan dingin tapi karena tak ada satu butir keringat pun yang berani menunjukkan diri dan berkurangnya pasokan air di rumah. So, dengan alasan “mencari keringat” kita pun mulai mendaki.

Tiupan angin kemarau sedikit mengoyangkan dungkul, kupukir harusnya aku mengenakan celana jeans panjang saja. Namun dinginnya tak cukup kuat mengoyahkan niat kita untuk terus menapaki bukit. Disana akan terbayar semua lelah dengan pemandangan kota yang masih di selimuti kabut dari ketinggian, indahnya tak terperi.

Matahari perlahan mulai menyapu semua kabut, namun tak demikian angin yang bertiup. Angin seolah berkhianat ingin memudarkan niat kita, tiupannya semakin menggila. Pepohonan di sekitar kita bergoyang hebat ditiupnya, suara gesekan dedaun mengisyaratkan ancaman. Dedaun yang mengering tak kuasa meninggalkan rantingnya, tak kuat lagi terus menggantung disana, terombang ambing dipermainkan angin kemarau.

Kita mencoba terus menepakki jalan yang semakin menanjak itu. Mencoba terus saling menguatkan, namun kita tak kuasa untuk terus melanjutkannya. Di tengah perjalanan, gambaran kota mungil nan indah dipuncak sana perlahan mulai memudar. Langkah kita menyurut, setapak yang kita tapaki semakin terjal dan kita memilih untuk menawar hati, berharap dapat terpuaskan dengan kemampuan yang ternyata hanya terbatas disini. Lantas kita mencari saung kosong yang memungkinkan untuk kita menikmati bekal buku-buku yang kita bawa sambil menikmati pemandangan kota mungil ini meski tak akan seindah diatas sana. Tak mengapa, setidaknya kita masih bersama.


Kita putuskan untuk berhenti di sebuah saung yang kita temukan diantara pepohonan rimbun. Pepohonan bambu yang menjulang menggantikan pepohonan pinus yang banyak tumbuh di puncak bukit, beberapa pohon berbunga merah marun yang tak kutahu namanya juga ada disana, daunnya hampir habis tertiup angin kemarau dan menyisakan bunga merah marun yang mulai menguning diranting. Saung mungil itu tepat menghadap kota mungil. Tak terlalu tampak megah memang, namun hati kita cukup terpuaskan. Kita rebahkan lelah sejenak diatas dipan bambu yang mulai berlumut itu sambil menanti mood baca kita datang, buku-buku yang kita bawa dengan setia menanti untuk segera bercerita.

Tak lama buku-buku itu mulai kita buka, namun kita gagal menemukan nikmatnya. Sesuatu yang mengganjal hati kita kembali mendesak untuk di tuntaskan. Kau dan aku tahu akan hal itu sejak awal kita rencanakan liburan ini, bahkan jauh sejak kita mulai hubungan ini. Sesuatu yang telampau sulit di redam logika dan hanya perasaan saja yang mampu berkata-kata disana. Rasa yang kita miliki sesungguhnya menemukan refleksinya masing-masing di dalam diri kita, namun jalannya rasa ini akan begitu berat untuk terus kita jalani. Terlalu banyak yang akan terluka, karena kau dan aku begitu sadar cacatnya perasaan ini dan kita tak mau ke“aku”-an kita mengoyak segalanya.

Jangan tanya “mengapa?”, aku tak bisa menjawabnya. Terlalu banyak pertanyaan yang sama dalam hidupku, andai kau tahu. Mengapa ini? Mengapa itu? Mengapa aku? Mengapa kau? Mengapa bertemu? Mengapa bersama? Mengapa kita sekarang disini? Hingga sekarang pun pertanyaan-pertanyaan sial itu terus mengusik mimpi-mimpi indahku. Dan kita hanya terdiam saat jawaban itu tak kunjung memuaskan kita. Yang kita butuhkan adalah keputusan, namun kau dan aku sepakat untuk tak memutuskannya sekarang. Biar hening menemukan damainya diantara kita.

Saung kecil berlumut itu tak cukup nyaman untuk terus kita diami. Suara gesekan daun bambu yang tertiup angin kemarau semakin terdengar mengancam, menutupi cahaya matahari yang mencoba menembus rimbunnya. Angin yang bertiup juga semakin hebat berhembus membuat keadaan semakin dingin, membuat jarak kita sama sekali tak menawarkan hangat. Lantas kita putuskan untuk menyudahi piknik singkat kita. Angin kemarau yang seolah memusuhi kita membawa kita kembali menuju rumah.

Liburan kita akan segera usai. Kau dan aku terus menanti keputusan itu hingga benar-benar memaksa untuk dijalani, namun untuk saat ini biarkan segalanya kulampiaskan di dapur mungil rumah ini. Kali ini aku memasak bukan hanya karena balas dendam akan selera yang tak tepenuhi di kota, melainkan ingin melampiaskan segala perasaan tak puas akan “mengapa?” yang ada di hidupku. Menuangkan semua perasaan tak enak yang menumpuk di hati kedalam wajan panas. Kau boleh meragukan kemampuanku di dapur namun jika sudah begini, bisa kupastikan aku lah chef yang paling bisa membantai semua perasaan tak enak diatas makanan yang akan kusaji lezat di hadapanmu.


Beberapa jam kemudian, aku kembali dari dapur dengan sajian yang akan menjadi makan malam kita. Tak perlu hiraukan rasanya, nikmati saja selahap mungkin, seperti aku melahap semuanya. Melahap semua “mengapa?-mengapa?” dan semua perasaan tak enak yang ada di hidup kita. Aku tahu rasa tak akan pernah ingkar, namun nikmati saja, seolah semua benar-benar nikmat untuk kita reguk, mungkin memang lebih baik begitu adanya. Seusai kita santap, kuharap kita dapat bersulang ceria di akhir acara dinner aneh ini. Bersulang untuk semua orang-orang yang kita cintai, yang mencintai kita, yang merasa tahu yang terbaik untuk kita, untuk hidup, untuk cinta yang tak pernah adil, untuk dunia dan segala kemunafikannya. Semoga di akhirnya kita dapat saling melempar kata “selamat tidur, semoga mimpi indah...” dan saling mendoakan sebelum akhirnya menutup mata kita yang lelah diatas masing-masing peraduan yang sedingin udara kemarau di bukit belakang rumah. Semoga...          

[BDG 19092011, 11.23]

 [Ada Soundtrack-nya jg loh! wkwkwk...] Already Gone by Kelly Clarkson

Remember all the things we wanted
Now all our memories, they're haunted
We were always meant to say goodbye
Even with our fists held high
It never would have worked out right, yeah
We were never meant for do or die...

I didn't want us to burn out
I didn't come here to hurt you now I can't stop...

I want you to know
It doesn't matter where we take this road
Someone's gotta go
And I want you to know
You couldn't have loved me better
But I want you to move on
So I'm already gone

Looking at you makes it harder
But I know that you'll find another
That doesn't always make you wanna cry
It started with the perfect kiss then
We could feel the poison set in
"Perfect" couldn't keep this love alive
You know that I love you so
I love you enough to let you go

I want you to know
It doesn't matter where we take this road
Someone's gotta go
And I want you to know
You couldn't have loved me better
But I want you to move on
So I'm already gone

I'm already gone, already gone
You can't make it feel right
When you know that it's wrong
I'm already gone, already gone
There's no moving on
So I'm already gone

Ahhhh already gone, already gone, already gone
Ahhhh already gone, already gone, already gone

Remember all the things we wanted
Now all our memories, they're haunted
We were always meant to say goodbye...

I want you to know
It doesn't matter where we take this road
Someone's gotta go
And I want you to know
You couldn't have loved me better
But I want you to move on
So I'm already gone

I'm already gone, already gone
You can't make it feel right
When you know that it's wrong
I'm already gone, already gone
There's no moving on,
So I'm already gone


Rabu, 17 Agustus 2011

Covered Jazz II



Pearlescent Diva By Brent Lynch (http://www.art-prints-on-demand.com/a/lynch-brent/pearlescentdiva.html)

Malam semakin lambat bergerak. waktu seolah berkhianat membiarkan sepi ini menjalari tubuh kurusnya. Alunan musik jazz merambati udara yang menghangat mengisi ruang. Dian masih menunggu disana. Cintanya menghilang tak terdengar lagi kabarnya. Wajahnya sendu menggariskan rindu dan khawatir yang kian menggunung. Dimatanya terpantul bayangan pasangan-pasangan yang sedang dimabuk cinta, saling merangkul, seperti melayang dibuai jazz. Ada risau disana, turut menari-nari dimatanya. Alunan musik jazz membelai-belai emosi Dian, seperti jari jemari bayu yang membelai lembut lidah api sang pelita.

Tempat ini adalah tempat mereka dahulu sering menghabiskan waktu. klub jazz mungil namun begitu menghangatkan. Siapa sangka tempat ini akan menjadi tempat Dian menyimpan airmatanya, setelah beberapa bulan lalu tempat ini adalah tempat senyum tawanya tertumpah. Pria itu yang mengenalkannya dengan klub jazz mungil ini. Tempat mereka menghabiskan masa-masa indah berdua. Masih jelas terbayang dalam ingatan Dian saat pria itu melamarnya dengan sebuah lagu jazz indah disudut kegemaran  mereka. Saat itu juga rasa bahagia itu mendorongnya kuat hingga melewati batasan yang digariskan keluarganya. Dian meninggalkan studinya, memilih hidup bersama pria yang begitu ia cintai. Keputusan besar yang kini menyisakan galau. Pria itu menghilang tak tahu dimana rimbanya dan Dian hanya bisa berharap kebahagiaan yang dulu ia percaya tak mengkhianatinya. Kebahagian yang kini bukan hanya Dian seorang yang berharap disana, tapi juga buah hatinya dan jantung kedua yang berdetak di perutnya.

"Dian..." sapa Jo, bartender tomboy yang menjadi teman Dian di klub ini.

Dian segera menoleh kearah bar, mendapati Jo dengan raut wajah yang sama seperti kemarin-kemarin. Wajah penuh kasihan. Dan Dian tak perlu lagi menanyakan tentang peria itu kepada Jo, ia telah mendapati jawabannya.

"Belum ada kabar dari Angga. Sudah menjelang pagi, kamu belum pulang?" tanya Jo, khawatir.

Dian hanya menggeleng kecewa. Ia mulai lelah dengan penantian yang selalu berbuah sama, kecewa.

"Terus, anakmu bagaimana?"

"Aku titip ke ibu tetangga..." Jawab Dian lemas. Ia meraih gelas berisi bir miliknya, namun belum sempat ia menggecap gelas itu dengan bibirnya, Jo sigap merampasnya.

"Oh Tuhan... berapa kali harus kubilang, kamu itu sedang hamil, Dian! Berhenti minum bir!" Jo segera menjauhkan gelas berisi bir itu dari Dian. Sebagai gantinya, ia menyerahkan sebotol air mineral kepada Dian.

Dian hanya pasrah. Ia memegang erat botol itu. Tertunduk memandanginya lama.

Melihat tingkah Dian, Jo semakin tak dapat menahan rasa ibanya. "Aku tahu kamu sekarang sedang kalud, tapi bir tak baik untuk kandungan kamu. Tunggu sebentar." Jo berlalu sekejap menuju ke belakang. Ia kembali dengan sebuah sweater rajut miliknya yang langsung ia serahkan ke Dian. "Pakai ini, biar kamu tidak masuk angin. Kamu harus jaga kesehatan. Tak perlu lagi pikirkan laki-laki tak bertanggung jawab seperti Angga itu. Pikirkan saja anakmu dan jabang bayi yang kau kandung." Ujar Jo geram.

Dian tetap saja tertunduk. Tatapnya beralih ke perut mungilnya yang beberapa bulan lagi akan menggembung. Tiba-tiba beban yang ia pikul terasa memberat hingga membuatnya tak kuasa menahan tangis. "Entah mengapa..." ratap Dian, tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Jo yang melihat Dian menangis semakin tak kuasa menahan rasa kesalnya. "Sial!! Semua laki-laki memang seperti itu! Mereka mahluk yang paling ku benci dalam hidupku! Terlalu bangga hanya karena sekerat daging yang tersempil di selangkangan mereka! Sial!" Jo mengumpat sepenuh hati. Menunjukkan rasa irinya yang tak pernah terlahir menjadi seorang laki-laki utuh.

"Jo, aku butuh kerjaan..." Ujar Dian dengan tatapan mengiba, penuh harap.

Sejenak Jo kehilangan kata-kata mendapati wajah Dian yang ternyata lebih cantik dari yang pernah ia lihat sekilas. Wajah yang membuatnya ingin menyerahkan cintanya. Namun sayang, dunia mereka terlalu picik untuk dapat menerima cinta yang Jo punya. "Sebentar," Jo berpikir, mencari-cari jawaban dari wajah yang membuatnya jatuh hati itu. "Mungkin kamu boleh bekerja di klub ini. Menjadi temanku dibalik meja bar ini. Dengan begitu aku bisa terus memantaumu!" Jo tersenyum lebar. Berusaha menghibur Dian.

"Terus..."

"Kamu tak perlu repot, masalah si boss dan lainnya biar aku yang tangani, kamu besok boleh langsung kerja." Ujar Jo penuh keyakinan.

Dian tersenyum penuh rasa terimakasih.

Jo turut tersenyum. Memamerkan giginya yang geripis akibat terkikis soda.

*          *          *

Diantara meja bar dan lemari yang dipenuhi botol-botol minuman itu, Dian terlihat begitu canggung. Ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai pelayan bersama Jo yang terlihat begitu sibuk melayani tamu-tamu yang silih berganti menghampiri meja bar untuk memesan minuman. Melihat tingkah Dian yang kikuk membuat Jo merasa lucu. Dari mulai bekerja tadi, wajah Jo terus menyunggingkan senyum. Kehadiran Dian cukup memberi tenaga ekstra untuk Jo.

"Santai aja. Ntar juga bakal terbiasa kok." ujar Jo, masih dengan senyumnya yang semakin lama semakin terlihat aneh.

Saat meja bar tak begitu ramai, mata Dian menyoroti seisi klub. mencari sesuatu yang terus ia tunggu hingga saat ini. Yang ia cari masih tak terlihat. Dikejauhan Jo terlihat asik bergoyang sambil menghisap rokoknya, di iringi nada jazz yang menghentak ceria.

Hari ini adalah hari dimana Dian menerima lamaran sang pangeran yang hilang. Masih hangat terasa kenangan itu. Saat-saat dimana cinta memberi keyakinan yang kuat untuk Dian menutup mata dan telinganya dari semua omongan orang sekelilingnya. Saat dimana kebahagiaan seolah berwujud begitu nyata dan membuatnya terlelap, terlupa bahwa bahagia selalu berdampingan dengan kesedihan. Kebahagiannya mengering bersama isak tangisnya bawah bantal lusuh yang tak lagi menjajikannya mimpi indah di malam hari.

Cintanya merapuh. Ia di khianati sedemikian rupa, tanpa pernah tahu alasannya. Namun ia terus mengharap jawaban itu. Jawaban yang bisa saja membuatnya hancur berkeping-keping. Mungkin akan lebih baik begitu, akan lebih mudah untuk merelakan segalanya.

Tiba tiba tangan yang dihiasi tato dan gelang yang bertumpuk milik Jo meraih tangan Dian cepat. "Aku tahu kamu suka lagu ini!" dipaksanya Dian yang masih canggung turut bergoyang.

Dian hanya tersenyum.

"Tak usah pikirkan lagi! Sedih terus juga gak baik buat janin kamu. Dunia ini memang tak pernah adil Dian, jadi kamu harus pandai pandai menikmatinya. Ayo, tarikan kesedihanmu, tertawakan perih yang mempecundangimu." seru Jo, menyemangati Dian.

Seketika semua penonton bersorak girang, turut membakar semangat Dian kembali. Diantara botol-botol minuman yang memantulkan cahaya kerlap kerlip lampu, dua perempuan menari riang mengobati duka masing-masing.

*          *          *
Azan subuh akan segera berkumandang saat Dian baru saja sampai dirumahnya. Jazz tempatnya bekerja sesungguhnya bukanlah sebuah klub malam yang selalu buka hingga pagi, namun dihari-hari dimana pengunjung ramai, klub akan memperpanjang waktu operasinya.

Dian berjalan di sebuah lorong kawasan padat penduduk yang menghantarkannya menuju tempatnya tinggal, di sebuah gedung kumuh berlantai tiga yang terdiri flat-flat yang di tempati beberapa keluarga. Sebelum ia menuju ke flatnya, ia singgah sebentar di sebuah flat, selang beberapa pintu dari flat miliknya. Dian menitipkan anaknya disana. Dari balik pintu coklat itu muncul seorang perempuan setengah baya berwajah ramah.

Dian segera mencium tangan si ibu. Dia masih tidur, bu?” tanya Dian yang langsung di persilahkan masuk untuk melihat sendiri si sulung yang sedang tertidur lelap di dalam kamar si ibu.

“Kamu lembur Dian? Pulangnya kok pagi banget.” tanya si ibu ramah.

“Ya bu... klub lagi ramai.”

“Baiknya kamu cari kerjaan yang lain saja nduk. Kamu anak perempuan gak baik juga sering-sering pulang larut.” Nasehat si ibu yang mulai khawatir dengan keadaan Dian.

Azan mulai berkumandang, si ibu pun mengenakan mukenahnya. Dian segera meraih buah hatinya yang masih terlelap, membawanya menuju flat mereka. “Terimakasih bu, Dian pulang dulu.”

Si ibu tersenyum penuh kebijakan. Wajahnya yang masih dibasahi air wudlhu semakin terlihat berbinar. “Iya, kamu istirahat sana. Jangan lupa shalatnya ya nduk...” pesan si ibu sebelum akhirnya pintu coklat itu ditutup kembali.

Sesampainya di flatnya, Dian langsung meletakan anaknya di tempat tidurnya. Kemudian ia langsung menuju kamar mandi untuk berwudlhu, bersiap untuk mengadukan semua keluh kesahnya kepada kepada sahabat terbaiknya.

*          *          *

Malam ini klub terlihat lengang. Hanya beberapa pasang tamu reguler saja yang terlihat asik menikmati sajian musik oleh para pemusik yang seolah tak pernah kehilangan semangatnya untuk selalu berdendang. Mereka adalah para penghibur sejati. Tak pernah kenal ramai ataupun sepi, suka ataupun duka, hati mereka sungguh tertuang penuh di tiap gebukan drum, tiupan terompet, dentingan piano dan petikan gitar, ditiap nada yang mereka alunkan. Bagi Dian sendiri, mereka layaknya kotak musik yang selalu siap menghibur, sedih atau pun senang. Tak jarang, Dian yang ternyata punya suara merdu itu turut didaulat ikut menyanyi bersama mereka diatas panggung.

Jazz adalah roh dari klub kecil ini. Tak ada semangat yang mampu membuatnya tetap tegak berdiri selain kecintaan para penikmat jazz. Dian adalah salah satunya. Jazz telah menjalin hubungan dengan emosinya entah sejak kapan. Jazz seperti ombak yang mengayun-ayun perahu emosinya. Diatas panggung yang tak pernah ia pijak sebelumnya, segalanya tertumpah. Dian menjelma menjadi diva. Ia bukan hanya menyanyi melainkan menumpahkan isi hatinya. Malam ini semua penghuni klub jatuh hati, turut terbakar dengan hangat emosi yang Dian tebar dari atas panggung yang menjadi bahternanya mengarungi malam. Dan jazz adalah ombak yang mengalun menghentak, memenuhi klub.  

*          *          *

Malam minggu adalah puncak keramaian di klub kecil ini. Klub yang tak terlalu populer tapi memiliki penggemar yang selalu setia meramaikan pestanya. Malam semakin larut, namun pengunjung semakin ramai berdatangan, pertanda kerja keras untuk Jo dan Dian. Mereka terdiri dari beberapa group. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang menggilai jenis musik penuh emosi ini. Tak ada pesta gila seperti di klub disko, segalanya dilakukan dengan elegan dan penuh penghayatan. Kecintaan terhadap jazz membuat mereka seolah di mabuk asmara. Ada juga group pengunjung yang terkesan berpura-pura mencintai jazz demi eksistensi di kalanggannya. Mereka selalu bercerita, berkomentar tentang orang-orang sekitarnya. Group yang tak begitu disukai Jo.

Bar kecil Jo malam ini menjadi tempat yang paling sibuk. Tak henti-henti orang menghampiri dan memesan minuman. Mata Jo kerap mengawasi Dian yang belum begitu terbiasa dengan keadaan seramai malam ini. Di tambah lagi kondisinya yang sedang mengandung. Dengan perut yang sudah semakin membesar, Dian terlihat mengkhawatirkan. Saat bar kecil itu mulai kembali sepi, Jo meminta Dian untuk istirahat, namun Dian menolaknya dengan senyum, mencoba menghapus kekhawatiran Jo. Berdiam diri akan semakin membuatnya kembali tenggelam dalam duka.

“Jo! Satu picher bir lagi untuk meja enam...” ujar seorang pelayan yang masih terlihat terburu-buru menerima pesanan di meja lain.

Dengan sigap, Dian meraih picher berisi bir dari tangan Jo. “Biar aku saja...” ujarnya.

Jo yang terlalu sibuk terpaksa membiarkan picher itu berpindah ke Dian. Di waktu seramai ini memang tak banyak waktu untuk berdiam. Lantas Dian pun berlalu menuju meja enam. Mata Jo tetap awas mengawasi Dian.

Ada beberapa lelaki dewasa disana. Mereka terlihat mabuk berat.

“Satu picher bir?” tanya Dian.

“Ya, letak sebelah sini...” jawab seorang pria yang duduk di tengah-tengah.

Dian segera meletakkannya di atas meja, namun tangannya di cegat. Pria congkak itu memberi isyarat kepada Dian untuk menuangkannya ke gelas pria itu langsung. Teman-temannya yang duduk  ditepi segera memberi jalan kepada Dian. Rasa takut segera menyerang Dian, namun ia mencoba untuk berpikir positif. Ini adalah pekerjaannya, hanya menuangkan bir kedalam gelas pria itu, tidak lebih, pikirnya. Sedikit gugup, Dian melangkah menghampiri si pria congkak itu. Tercium bau parfum mahal yang bercampur dengan bau alkohol yang menyeruak dari mulutnya yang tak henti tertawa. Tertawa entah karena apa. Dian menuang penuh bir itu kedalam gelas penuh kehati-hatian. Tugasnya selesai, ia bersiap berlalu namun lagi-lagi ia di cegat.

“Buru-buru amat sih! Tadi saya lihat kamu menyanyi di panggung loh! Suara kamu bagus.” ujar pria itu, bau napasnya semakin terasa menusuk.

“Makasih... Tapi saya harus segera kembali ke bar.” saat Dian akan melangkah, kacung-kacung si boss manaja manghalangi jalannya dan tiba-tiba tangan besar pria itu menggenggam erat lengan Dian.

“Duduk dulu aja dulu. Temani kita.” tawar si pria.

“Maaf saya gak bisa, saya harus segera kembali.” pujuk Dian, berharap pria itu akan melepaskan tangannya.

Namun pria itu berkeras, ia semakin kuat menggenggam lengan Dian dan memaksanya untuk tetep menemaninya. “Ayo lah... Gak perlu jual mahal kamu.”

Dian mulai panik melihat tingkah si pria yang mabuk berat. Genggaman di lengannya mulai terasa menyakiti. “Lepas!! Sakit!!” mendengar Dian merintih kesakitan, bukannya iba, mereka malah tertawa. Dian yang panik lantas berontak dan tiba-tiba spontan meraih gelas berisi bir itu dan menyiramkannya ke wajah pria itu, yang langsung terkejut dan marah.

“Heiii!! Jangan ganggu dia!!” Teriak Jo yang langsung menghampiri Dian dan menarik tangannya keluar dari gerombolan pemabuk itu. “Kalian sudah mabuk berat, sebaiknya jangan bertingkah macam-macam. Dia perempuan baik-baik!” desis Jo memperingatkan.

“Baik-baik katamu? Oh ya?” pria mabuk itu meraih picher berisi bir dan menyiramkannya ke Dian.

“Kamu!!” Jo mulai kehilangan kendali, namun tinjunya di cegat beberapa pelayan disitu. Sedang Dian hanya diam menangisi nasibnya.

“Aku tahu wanita itu bunting! Kau pikir aku buta? Terus apa namanya, seorang wanita bunting tanpa suami? Jalang!” desis si pria penuh kemarahan.

“Bajingan kau!” Hujat Jo.

Dian semakin tak kuasa menahan sedihnya saat mendengar kata-kata pria itu. Seluruh tubuhnya berguncang hebat. Tak pernah merasa begitu terlecehkannya. Dan Jo segera membawa Dian menuju ruang istirahat di belakang bar. Dian menangis terisak, tak pernah menduga cinta yang ia agungkan kini terasa begitu menyakiti.

*          *          *

Malam ini Dian memutuskan untuk mendengarkan saran Jo. Dian turut pulang bersama Jo. Gedung sederhana bertingkat lima tak jauh dari klub itu terlihat begitu kelam. Hanya beberapa neon merah yang menggantung malas, berusaha setengah mati menyinari jalan. flat Jo ada dilantai dua. Didalam flat jauh lebih gelap karena hampir setengah dari bangunan yang hanya terdiri dari beberapa ruang itu di cat hitam dan putih saja. Bahkan barang-barang yang terpajang kebanyakan berwarna gelap.

“Anggap rumah sendiri. Maaf sedikit berantakan.” Ujar Jo, mempersilahkan Dian masuk. “Oh, sebentar. Kamu harus segera mengganti baju kamu.” Jo berlalu menuju kamar tidurnya yang hanya dipisah sekat lipat berbahan rotan. Ia kembali dengan sebuah piyama lelaki dan selembar handuk yang juga berwarna hitam putih dan menyerahkannya kepada Dian. “Nih. Kamu mandi saja dulu. Sebentar aku siapkan air panas untuk kamu.”

“Makasih Jo. Kamar mandinya dimana?”

“Sebelah sana.” Tunjuk Jo. “Air panasnya nanti aku antar.”

Dian pun berlalu. Perlahan Jo mengikutinya dari belakang mengantarkannya sampai di depan sekat kamar. Cukup sampai di tepi sekat. Dari sana masih dapat terlihat Dian yang sedang melucuti satu persatu pakaiannya yang basah karena bir. Nafas Jo tercekat, melihat tubuh seputih pualam itu ternyata jauh lebih indah dari yang pernah ia bayangkan. Beberapa saat kemudian ia pun langsung menuju dapur. Menyiapkan air panas untuk Dian dan tak henti membayangakan pemandangan yang baru saja ia lihat. Ada rasa sesal terselip dihatinya. Sesal akan perasaan yang selalu menemui jalan buntu.

*          *          *

Malam ini Jo merelakan kasur nyamannya untuk Dian. Dia akan tidur di kasur di ruang tidur mungilnya. Namun Dian yang sudah merepotkannya tak ingin semakin merepotkannya.

“Kasur ini masih luas untuk kita berbagi tempat. Tidurlah bersamaku.” Pinta Dian.

Ajakan Dian terdengar bagai godaan yang sulit untuk ditolak bagi Jo. Lantas jadilah kedua perempuan itu menyibak mimpinya bersebelahan. Namun bagi Jo, justru sekarang mimpinya sedang mewujud nyata. Ia tak ingin tidur. Ia ingin terus menatap Dian yang terlelap tepat di sebelahnya. Hingga wangi yang menyeruak dari rambut hitam Dian menggiringnya kedalam lelap. Malam itu Jo pun bermimpi indah.

*          *          *

Pagi-pagi sekali Dian sudah tak berada disana, ia tak ingin anaknya mencari-cari. Ia membisikkan terimakasih sebelum meninggalkan Jo yang masih terlelap dibuai mimpi indahnya. Ada doa yang tertinggal di atas kasur yang membekas tubuhnya. Semoga cinta sejati segera menemuinya.

*          *          *

Azan magrib baru saja usai, namun para pengunjung sudah mulai berdatangan. Minggu ini klub di penuhi rona-rona penggemar yang jatuh cinta. Juli penuh cinta, bahkan hari ini wajah Jo terlihat begitu berbinar. Mungkin turut tersengat suasana cinta yang memenuhi setiap molekul udara di dalam klub.

Dian sendiri mulai terlihat lebih santai. Mungkin kesibukan dan suasana klub membuatnya sedikit terlupa akan masalah yang beberapa bulan ini kerap menghujaninya. Memang sudah seharusnya ia merelakan semua. Tak mungkin lagi rasanya ia mengharap cinta dari seorang yang tak lagi mendambanya. Ia tak menginginkan jawaban itu lagi, alasan-alasan itu lagi. Ia cukup mengartikan keadaannya yang ditinggal tanpa kata penutup. Mungkin ‘selamat tinggal’ lebih baik dari ‘sampai jumpa’, Dian sudah memilih kata penutupnya sendiri meski tak pernah dia dengar langsung. Sesekali ia membelai lembut perutnya yang semakin membuncit. Disana turut tertanam harapan dan cintanya.

Klub ini serasa rumah bagi Dian. Begitu banyak perasaan yang tertumpah di klub ini. Para penghuni klub adalah keluarganya ,tempat ia berbagi suka duka. Termasuk seorang bapak tua eksentrik yang selalu duduk di pojokan klub. Pak Efendi namanya. Dialah pemilik klub jazz hangat ini. Didasari kecintaannya terhadap jazz maka berdirilah klub jazz kecil ini. Klub yang tak begitu mementingkan gengsi melainkan idealisme. Pak Efendi lebih dari sekedar boss, tapi juga sahabat yang selalu terbuka dan siap membantu keluarga kecilnya di klub.

Hari ke hari, Dian semakin terlihat mengkhawatirkan untuk terus bekerja di balik meja bar dengan perut yang semakin mebuncit. Lantas ia lebih sering di daulat menyanyi dari pada sibuk di meja bar. Hingga suatu malam resmilah ia di angkat menjadi salah satu penyanyi di klub itu. Dian memang terlihat lebih bersinar diatas panggung dari pada di balik meja bar.

*          *          *

Beberapa minggu kemudian lahirlah seorang anak perempuan dari rahimnya. Seorang anak perumpuan berpipi merah merona yang tak henti menangis di jam-jam pertamanya menghirup fana. Para perawat mengeluhkan suaranya yang melengking hebat. Namun Dian tahu, putrinya bernyanyi untuknya. Semenjak ada di dalam perutnya, hentakan-hentakan nada jazz yang penuh emosi telah mengajarinya bagaimana bersenandung menyemarakkan hidup.

Diranjang serba putih itu Dian terbaring lemah. Diantaranya para penghuni klub jazz menemani. Jo, pak Efendi, para musisi jazz dan beberapa pegawai. Hari ini Klub buka sedikit lambat dari biasa, menyambut anggota keluarga barunya. Saat bayi mungil itu memasuki ruangan untuk segera disusui Dian, semua terlihat takjub. Ada sedikit galau mengisi hati Dian.

“Anak ini harus di khomat...”

“Sejak dalam kandungan iya sudah terbiasa dengar teriakku, biarkan aku yang melakukannya.” Seru Randy, si vokalis band klub. Pria berumur empat puluhan itu segera menghampiri Dian dan si bayi dan segera membisikkan ayat Tuhan ke telinga si bayi yang segera berhenti menangis saat mendengar suara beratnya.

Dian tersenyum penuh rasa syukur. Harapan itu begitu nyata ia rasa. Ia tidak sendiri. Keluarga kecilnya di klub akan selalu siap menemaninya. Tak ada lagi penantian panjang. Sudah saatnya Dian beranjak dari keterpurukan. Kedua buah hatinya membutuhkan perhatian lebih untuk tumbuh menjadi pribadi yang seperti ia harapkan.

*          *          *

Dibawah kerlip lampu-lampu klub, wanita itu melangkah penuh kehati-hatian. Wajah tirusnya terlihat ragu. Dian berkali-kali melakukannya, namun gugup kerap membayanginya, ia tak tahu mengapa. Namun saat denting gitar pertama menjentikkan nadanya, bayang gugup pun seolah menyusut hilang di bawah sol sepatu hak tingginya. Seketika Dian menjadi sesosok diva. Sayapnya adalah suara yang mengalun membelai-belai emosi para pengunjung klub. Diatas panggung itu ia tumpahkan segala galau akan cintanya, akan kekhawatirannya, kekecewaannya. Berbagai emosi tertebar membentuk aura yang memikat segenap klub.

Di ujung klub, tepatnya di balik meja bar Jo menatap Dian penuh takjub. Sang diva yang ia kagumi telah menemukan dunianya, sayapnya. Rasa itu masih terselip dihatinya. Jo cukup sadar diri. Tak ada cinta yang tak sempurna, namun cintanya tak menuntut lebih, bagi Jo melihat Dian tersenyum sudah lebih dari cukup.

Malam ini, pesta kecil di klub menjadi sangat memabukkan...

[BDG. 08082011]


Rabu, 25 Mei 2011

Persinggahan...


Kau katatakan, kau sepenuhnya untukku
Aku tahu itu, lebih dari yang kau tahu
Namun kau dan aku tahu
Tak ada janji yang dapat mengikat semu

Kau katakan, aku pelita hidupmu
Aku tahu itu, lebih dari yang kau tahu
Namun pelitaku berpijar redup
Kabut ini terlalu tebal untuk kusingkap

Ikatan ini hanya pelayaran sementara
Kau dan aku tahu itu
Dan tempat kita berlabuh semakin dekat
Bukan untuk saling mengikat

Ini hanya persinggahan
Untuk selanjutnya tak ada lagi yang tertahan
Kita adalah dua bahtera
Saling berkejaran di birunya kehidupan

Dan sekarang, aku ingin kau tahu
Maaf, aku tak pernah menjadi inginmu
Aku ingin panjimu terus berkibar
Walau tanpaku disisimu
Kau butuh lebih dari sekedar pelita
Maka bintang siap menuntunmu menemukannya
Kebahagiaan tempatmu menghampar
Meski tanpaku bersamamu

Cerita kita akan menjadi kenangan
Bila perlu, bakar ia dalam tungkumu
Semoga dapat menghangatkan
Semoga bahteramu semakin gagah melaju

Aku tahu,
Kebahagiaan itu tak pernah usai menantimu…

Selasa, 26 April 2011

Aku, mereka, diantara meja bundar itu.... [broken child]


Feel but don't love by Broken child

Di meja bundar itu semua tersaji. Bukan hanya hidangan yang siap disantap tapi juga hati yang siap dicabik-cabik. Selalu seperti itu. Membayangkannya saja sudah membuatku kehilangan selera makan, kenyang dengan semua yang selalu terjadi disana. Tapi aku tak bisa menghindarinya. Aku tak mau menambah kemarahan mereka dengan ketidak hadiranku diantara meja bundar itu.

Meja bundar ini tak seperti meja bundar yang kemarin-kemarin lagi. Dahulu meja ini adalah peraduan kasih sayang. Tak ada lagi cinta disana, yang tersisa hanya luka yang harus selalu kureguk mau tak mau. Meja bundar ini bukan hanya sekedar meja makan, tapi juga panggung bagi mereka. Tempat penyiksaan bagiku karena aku dipaksa menjadi penonton dengan perasaan yang siap dijagal habis.  

Seperti biasa, aku selalu di tempatkan ditengah-tengah, diantara mereka. Ternyata meja bundar ini tak cukup luas untuk menghalangi kebencian mereka. Biasanya, obrolan selalu dimulai dari basa-basi yang ditanyakan kepadaku. Tentang hari-hariku, tentang kegiatan sekolahku. Sekedar basa-basi, karena sesungguhnya mereka tahu jawabannya, meski aku berkata baik-baik saja. Atau hati mereka sudah semakin kebal, tak peka lagi terhadap keadaan yang sebenarnya. Mereka terlelap dalam mimpi buruknya sendiri. Dan mengapa aku harus ikut terseret diantaranya.

Sebelum menyantap sarapanku, aku berdoa. Benar-benar bedoa. Semoga pertunjukan cepat usai.

*        *        *

Malam ini aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Suara ibu yang terisak mengusik tidur lelapku. Hampir setiap malam ini terjadi. Aku muak dengan semua ini, kesal tak tahu harus berbuat apa.

Ku putuskan untuk tidur di dalam kamar mandi, satu satunya tempat yang aman dari semua suara isak ibu yang terus menusuk bukan hanya di telinga tapi juga hati ini. Kuhidupkan keran deras-deras, berharap suara itu lenyap dari kepalaku. Sial, aku tak dapat menahan diri untuk tak terbakar rasa kesal yang memaksa memecah, lantas aku teriak sekuat tenaga, berharap kesal menguap bersama teriakanku yang merambati dinding kamar mandi pucat itu. Tahukah mereka yang kubutuhkan hanya ketenangan agar tetap menjadi waras. 

*        *        *

Pagi ini aku bangun terlambat. Aku tak peduli. Degan seragam lusuh dan langkah meragu, aku berjalan menuju meja makan. Aku duduk ditempat biasa. Mereka sudah disana lebih dahulu. Tak banyak makanan yang tersaji, hanya beberapa potong roti dan tiga gelas susu hangat. Tak ada lagi basa-basi yang ditujukan kepadaku. Mata ibu sembab karena menangis semalaman sedang ayah terlihat tak serapi biasanya. Mereka diam dan aku bersiap akan sesuatu yang siap meledak di depan meja itu. 

Aku mulai berdoa. Tak sungguh-sungguh berdoa, karena aku ingin cepat berangkat dari meja makan yang mendadak menjadi meja paling bisu.

Kusantap roti yang telah kubalur dengan selai. Menyantapnya perlahan, mengunyahnya dengan perlahan,

Segera ku sudahi sarapanku dan tak mau menunggu piring-piring itu berterbangan, aku segera beranjak dari sana. Tak ada lagi adegan cium tangan. “Aku pergi...” salamku mengambang diudara dan dibalas dengan senyum getir ibu yang terlihat begitu palsu.

Aku berlalu... berlalu meninggalkan mereka... kupercepat langkahku... Aku berlalu... berlalu... berlari... berlari secepatnya.........

*        *        *

Senja baru saja akan turun menyisakan malam. Langkahku melambat saat memasuki pekarangan rumah yang tak lagi memberikan ketenangan untukku. Aku pulang terlambat tapi ibu sudah tak terlalu peduli, sibuk dengan kesenangannya sendiri.

Rumah ini seperti kehilangan jiwanya. Atau sebenarnya para penghuninya lah yang tak menjiwainya.  Keluarga ini telah kehilangan waktu-waktu kebersamaan seperti dahulu. Tak ada lagi waktu makan malam bersama. Tak ada lagi acara kumpul diruang TV. Semua terlalu sibuk dengan egonya. Sibuk mencari kebahagiaan masing-masing hingga kehilangan kepekaannya terhadap sekelilingnya. Tak lagi saling menghargai.

Aku putuskan untuk mengurung diri di kamar, melupakan makan malam dan segera mengguyur diri dibawah shower,  lama, membersikan rasa penat yang menjubel sumpek di kepalaku dan semoga dapat segera ternyenyak dalam tidur, setelahnya. Kuharap dalam tidur dapat kurebahkan sejenak beban hati ini. Namun kasur ini pun tak dapat menjanjikan ketenangan. Baru saja kantuk menghinggapiku, mimpi buruk itu kembali membuatku terhenyak. Lebih parah lagi, ternyata ini bukan mimpi. Di luar kudengar suara ayah dan ibu dengan nada tinggi. Sesekali terdengar suara barang-barang yang terhempas pecah.

Aku bangkit menuju pintu kamar yang terkunci rapat. Kurapatkan kupingku kepintu itu, sekedar ingin mencari tahu apa yang terjadi. Terdengar ayah yang menjelek-jelekkan ibu, begitu juga sebaliknya, membuat aku bertanya dalam hati, apakah mereka masih ingat kala dulu mereka selalu melempar puji? Kemudian diakhiri dengan suara pintu yang dibanting keras. Malam ini suara ibu yang mengisak miris kembali menjadi nina bobokku.

Aku kembali ke tempat tidur. Menangis kesal karena tak dapat berbuat apa-apa. Aku terisak, meringkuk di balik selimut tebal yang menyelimutiku. Isak tangisku terbawa hingga kedalam mimpi.

*        *        *

Pagi ini aku bangun lebih lambat dari biasanya. Hari minggu yang tak bersemangat. Aku melangkah lunglai seperti mayat bermata sembab -sama seperti hari-hari semalam- menuju meja bundar itu. Duduk manis ditempat biasa. Ibu sudah ada disana tapi tidak dengan ayah. Ia tak terlihat lagi sejak pertengkaran semalam. Suasana semakin terasa begitu senyap. Hanya senggugukan dari tangis ibu semalam yang masih terdengar.

Tak ada apapun yang tersaji di meja bundar itu. Diantaranya, hanya ibu bersama sebotol anggur yang sudah hampir habis dan asbak rokok yang di penuhi puntung-puntung rokok. Ibu terlihat begitu berantakan. Sepertinya, aku harus menyiapkan sarapan sendiri. Maka jadilah dua porsi roti bakar mentega dan dua gelas susu hangat.  Satu porsi ku untuk ibu. Dia pasti butuh banyak tenaga setelah bergadang dan menangis semalaman, pikirku. Kusodorkan makanan itu kearahnya. Sejenak ia menatapku dan peluknya pun berhambur erat ke tubuhku. Tangisnya hangat menetes di punggungku. Kalau kamu besar nanti jangan jadi seperti ayah kamu, itu bisiknya kepadaku. Tercium bau alkohol dari mulutnya.

Hari ini meja bundar itu menjadi panggung sepasang anak manusia yang saling mengobati lukanya dengan saling berpelukkan. Aku hanya bisa menghela nafas dan berdoa semoga semua cepat berakhir.

*        *        *

Sejenak kurasakan ketenagan saat kedua manusia itu asik dengan kesenangan mereka di luar sana. Aku dititipkan dengan seorang pengasuh. Apa jadinya jika mereka mendengar berita tentang seorang anak berusia 14 tahun hilang dibawa lari pengasuhnya. Mungkin akan lebih baik begitu, toh mereka tak pernah benar-benar menganggap aku ada.

Hingga malam turun mereka belum juga pulang. Kuputuskan untuk segera tidur. Sekedar balas dendam dengan hari-hari sebelumnya yang tak menyisakan nyenyak. Dengan keadaan setenang ini, akan dengan mudah aku terlelap dan semoga mimpi indah mampir di tidurku.

Dalam tidurku kurasakan ada seseorang menghampiri. Ia membelai kepalaku. Aku mengenal belaian ini. Belaian dari tangan-tangan berjari besar milik ayah. Antara mimpi dan sadar kurasakan ayah mengecup keningku dan berbisik kepadaku : Kamu jangan seperti ibu kamu, kerjanya hanya berpesta saja. Tercium bau alkohol dari mulutnya.

Aku hanya menghela nafas, semoga semua cepat berakhir dan mimpi indah segera menenggelamkan ku lagi.

*        *        *

Pagi ini, aku adalah orang pertama yang berada di meja itu. Sepertinya, aku sudah harus terbiasa menyiapkan sarapan sendiri. Ibu belum bangun. Semalam ia pulang terlalu larut. Tak lama ayah datang dengan seragam kantornya lengkap. Ia menghampiriku. Memasukkan berapa lembar uang kedalam kantungku. Uang jajan, begitu katanya sebelum ia berlalu terburu-buru.

Hanya aku yang tersisa diantara meja bundar itu. Rasa perih itu masih kurasakan namun aku lebih memilih untuk tak begitu menghiraukannya. Mungkin lebih baik begini, pikirku. Minimal untuk pagi ini, tak kulihat pertunjukan memuakkan yang selalu mereka pertontonkan di meja makan bundar ini.

Ibu tak juga datang. Mungkin ia kelelahan di pesta gilanya semalam. Aku sudahi sarapanku dan sebelum beranjak, kuraih secarik surat dalam amplop putih. Surat undangan orang tua murid untuk menghadiri pentas seni yang akan di selenggarakan siang ini. Dalam acara nanti aku akan mengisi beberapa pertunjukkan seni.

Ku letakkan surat itu diatas meja sebelum aku beranjak meninggalkan meja bundar itu. Aku tahu mereka tak akan datang. Waktu mereka terlalu sempit untuk menghadiri pertunjukkan kecilku. Mereka terlalu sibuk mencari kesenangannya masing-masing. Aku tahu itu. Dan mungkin, aku juga seharusnya seperti mereka. Mencari kesenanganku sendiri.

Ibu yang kutunggu tak juga menghampiri. Kutinggalkan surat itu diatas meja. Aku segera beranjak meninggalakan rumah.

*        *        *

Sebentar lagi pertunjukkanku dimulai. Orang yang paling kunantikan tak juga menunjukan tanda-tanda kehadirannya. Mereka tak ada diantara para orang tua murid, tak juga diantara para penonton. Benar, mereka tak punya waktu untuk menghadiri pertunjukkanku. Sebisa mungkin kutahan tangis yang siap tumpah.

Aku terlupakan...

*        *        *

Mereka menjadi orang-orang yang paling tak kukenal, paling tak kupercaya. Prestasi yang dahulu selalu menjadi milikku hilang tak tergenggam lagi. Tak mengapa, karena itu semua kulakukan untuk mereka dan sekarang, aku pikir mereka sudah tak menginginkannya lagi. Lebih parah lagi, semalam ibu terpaksa datang ke sekolah karena aku kedapatan sedang merokok di kantin sekolah dengan beberapa teman baruku, para anggota gang di sekolah. Ibu marah besar. Ia merasa malu. Ia melarangku untuk berteman dengan mereka dan sebagai hukumannya aku dikurung di kamar seharian. Tak masalah, hukuman yang paling menyiksa bagiku justru menyaksikan mereka saling tegang saraf, seolah berlomba suara siapa yang paling keras.

Mereka saling menyalahkan karena prestasiku yang hancur lebur. Sadarkah mereka, merekalah penyebanya. Aku hanya mencoba mencari kebahagianku sendiri yang tak lagi kudapat dari mereka, seperti yang mereka lakukan saat ini. Bagaimana pula jika seandainya mereka tahu kemarin aku mabuk di sebuah pesta minuman kecil-kecilan dirumah salah satu anggota gang. Ia bernasib tak jauh beda denganku. Ayah ibunya jarang ada dirumah.

Suara mereka tak juga mereda. Aku sudah terbiasa dan sudah terlalu malas untuk mengeluh dan menangis. Lantas kuambil iPod, kusumpel kupingku dengan earphone. Suara teriakkan vokalis rock yang kudengar jauh lebih menenangkan. Kupejamkan mata, memaksa diri untuk segera tidur.

*        *        *

Meja makan bundar itu terlihat begitu kusam, seolah mulai kehilangan kegunaannya. Tak ada lagi obrolan-obrolan hangat diantaranya. Tak ada makanan-makanan yang menyehatkan tersaji disana. Hanya hati yang selalu siap untuk dicabik-cabik. Hati yang tak pernah didengar lagi suaranya. Hati yang tak pernah terdengar menyanyi lagi. Ia hanya merintih, berharap dapat sedikit didengar, cukup sedikit. Demikianpun terlalu muluk kah?

Kurasakan ngilu menggerogoti tulang belakangku. Mungkin akibat posisi tidur meringkuk atau karena aku kerap tidur di dalam kamar mandi. Namun masalah ini lebih membebani. Aku tak tahu harus mengadu kepada siapa. Mereka terlalu repot untuk mendengar keluhanku.

Aku mulai menyantap sarapanku. Roti isi perih. Mereka tak hadir di meja bundar ini, aku sudah mulai terbiasa.

*        *        *

Sneak and you shall find by Broken Child
Hari ini aku berjalan menyusuri kota. Sekedar berkeliling-keliling karena tak ada yang dapat kuajak bermain. Semua teman-teman mendadak sibuk mengikuti bimbingan belajar, karena sebentar lagi akan ujian akhir. Dan barusan aku di nasehati ibu guru. Ia kecewa dengan nilai-nilai ku yang anjlok drastis. Ia mengkhawatirkanku tidak akan lulus ujian nanti. Ibu guru memberiku lembar-lembar ujian kemarin. Tak ada hasil yang memuaskan. Lantas ia menitipkanku surat untuk orangtuaku bersama dengan lembar-lembar bukti kebobrokan prestasiku.

Aku tak berani pulang. Ibu pasti akan marah jika surat panggilan ini sampai di tangannya. Mereka tak pernah mau tahu apa penyebab semua ini, sama sekali. Yang mereka tahu hanyalah memarahi dan menghukumku jika aku melakukan kesalahan. Tak pernah mau tahu siapa penyebab sebenarnya. Mereka lupa kapan terakhir mendampingiku mengerjakan tugas sekolah, mereka juga lupa kapan terakhir mereka mengantarku ke sekolah.

Tiba-tiba jalan riuh. Terjadi kecelakaan di jalan yang baru saja kuseberangi. Terlalu banyak orang yang menontoninya. Rasa ngeri sekejap mengecap tubuhku namun masalahku sudah terlalu pelik untuk berdesak desakkan hanya demi menyaksikan kesialan yang menimpa sang korban. Aku berlalu, mencoba menghapus rasa ngeri yang merasukiku. Punggungku serasa remuk. Ngilunya semakin menjadi jadi.

Langit mulai gelap. Sejuknya angin yang bertiup seolah memusuhiku, memaksaku untuk segera pulang. Mereka pasti belum pulang. Seandainya pun sudah, mereka tak akan mengkhawatirkanku. Selalunya seperti itu.

Langkahku meragu saat memasuki pekarangan rumah. Rumah itu terlihat ramai namun muram. Beberapa kukenal dan lebih banyak lagi yang tidak. Mungkinkah ibu memenangkan arisannya, dan pesta gila berpindah kerumahku? Tak ini tak segila yang kubayangkan. Tak ada musik yang mengelegar, tak ada tawa bahkan senyum di wajah para undangannya.

Tak ada yang memperdulikan kehadiranku. Aku melangkah masuk. Disana kulihat ibu menangisi sosok yang terbaring didepannya. Ayah juga disana, ia juga terlihat menangis. Baru kusadari, mereka semua bukan berpesta melainkan berduka, entah untuk siapa. Rasa ngeri itu datang lagi, kali ini ia seolah berwujud hingga membuatku berkeringat walau angin terasa begitu dingin menguliti.

Aku melangkah menghampiri ibu, mencoba mencari tahu siapakah yang terbaring disana. Namun belum aku melihat wajah pucat itu, rasa ngeri memaksa langkahku untuk berhenti dan berbalik arah menuju kamar. Aku tak ingin perduli siapa yang terbaring disana. Kurebahkan tubuhku yang kedinginan di atas kasur tempatku biasa merajut mimpi. Berharap sekali lagi ia membawakanku mimpi indah.

Punggungku serasa remuk. Ngilunya semakin menjadi jadi. Perlahan perih itu menyeretku kedalam mimpi. Aku merasa lebih baik.

*        *        *

Pagi ini serasa begitu indah. Tak ada lagi rasa ngilu di tulang punggungku. Rasanya aku terlalu lama tertidur. Namun aku tak perduli, yang penting aku merasa baikan. Seolah semua beban yang menggantungiku sedikit berkurang. Dengan langkah seringan kertas aku melangkah menuju meja yang menyisakan kekhawatiranku.

Disana kulihat ayah dan ibu. Tak ada sarapan tersaji disana. Aku duduk diantara mereka. Di tangan ibu ada surat yang kemudian diserahkannya kepada ayah. Surat cerai. Mereka memutuskan untuk berpisah. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Sedih namun entah mengapa ada bahagia terselip disana. Mungkin memang lebih baik begitu. Dengan begitu mereka tak lagi saling menyakiti.

Perlahan kurasakan kebahagiaan menyelimutiku hingga merasuki molekul-molekul kulitku, relung-relung terkecil dalam tubuhku, begitu hangat. Tubuhku seolah ringan dan memudar. Yang tertinggal hanya jernih...

*        *        *
       
[Seorang remaja berseragam sekolah tewas dihantam sebuah mobil yang melaju cepat. Bagian punggungnya remuk karena hantaman yang sangat keras. Di ketahui sang pengemudi adalah seorang pelajar Sekolah Menengah Atas yang sedang mabuk. Belakangan diketahui, pelaku adalah seorang anak yang tertekan masalah pertengkaran orang tuanya…]

BDG.25042011.15:28