Selasa, 18 September 2012

Mencari Oz.





Mereka adalah lelaki di ambang hipersekresi hormon di masa remaja. Masih terbawa dengan uporia corat coret seragam SMU beberapa bulan lalu. Ya, mereka adalah pria muda yang masih grusak grusuk mencari jadi diri diantara kehidupan sosial mereka yang mulai berjalan menanjak. Mereka adalah anak muda yang haus pengalaman, haus petualangan, yang mulai tagih akan asinnya kehidupan. Mereka adalah Dani, Iqbal, Irawan, Anggi, Hari dan Re. Ya, mereka para pria kencur yang rela patungan untuk membeli majalah Playboy Indonesia pertama yang banyak diributkan se-Indonesia dan semakin girang diracun testeron karena si model adalah idola remaja yang kalap banting setir menjadi model seksi.

Hari ini mereka ingin merayakan keangkuhan mereka dengan berkemah tiga hari di kaki gunung sibayak, hutan sibolangit. Sebelumnya juga mereka kerap melakukan kegiatan luar, camping bersama teman-teman lain, namun anggap saja ini perayaan pergantian status yang kini bertambah satu kata pengukuh: ‘maha’. Lantas, dadakkan mereka pun melakukan perkemahan mereka untuk kesekian kalinya.

Sejak sore hujan mengguyur medan dan sekitar. Terminal Borneo –bus tua yang terkenal dengan reputasi ugal-ugalannya, yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan. Awal yang tak begitu menyenangkan, stasiun banjir hingga semata kaki lebih. Member paling bongsor, Iqbal mulai manyun karena tak boleh duduk di atap bus seperti biasa yang justru membuat Re merasa sebaliknya, lega karena tak harus duduk diatap bus. Bukan takut, tapi lebih karena salah satu syarat dari ibu yang sudah bersedia merahasiakan kepergiannya dari ayah.

Malam sudah turun sejak tadi. Mereka terlambat tiba dari dugaan awal karena dihambat mecet parah yang sering terjadi dipenghujung minggu. Maka terkaparlah para jagoan kunyuk di warung bang Lubis sebelum melanjutkan perjalanan menjejaki hutan Sibolangit. Hampir tengah malam, perjalanan pun dilanjutkan dan mereka baru tersadar kalau tak ada satu pun dari mereka yang membawa alat penerang. Berbekal lilin dari warung bang Lubis, lampu ponsel dan kompor mini sebagai penerangan darurat, meraka pun menapak perlahan kedalam perut hutan. Jangan tanya soal kompor mini, mereka tahu itu adalah ide paling konyol karena saat api biru merata, ia tak akan lagi menerangi. Namun sekali lagi, ini darurat.

Sebab masalah teknis penerangan, akhirnya mereka memutuskan untuk tak jauh–jauh mencari tempat mendirikan tenda. Setidaknya tak jauh dari sumber air. Maka tempat landai berbatu di tepi sungai pun menjadi pilihan tanpa pilihan lain, mengingat lelah yang mulai menggelayuti tubuh asem mereka. Malam pertama pun di habiskan dengan acara lomba mendengkur paling keras. 

Tak tahu sial apa yang menaungi langit mereka saat itu. Selang sejam rintik gerimis mulai tak bersahabat, berubah menjadi hujan lebat yang mengguyur hutan. Tiga puluh menit pertama tak ada masalah selain batu-batu kali yang lekuknya tak mampu ditutupi matras tipis, bahkan menembus sleeping  bag nyaman mereka. Selanjutnya nyenyak mereka menguap saat seisi tenda mulai di banjiri air.

“Sial! Bangun woi! Banjir tenda kita!” teriak Iqbal, member paling bongsor dan paling doyan ngobrol, membangunkan teman-temannya.

Dengan mata yang masih digelayuti kantuk, mereka terbangun oleh teriakkan Iqbal dan air hujan yang mulai merambati kantung tidur mereka.

“Wah, kita harus buat parit nih!” Ujar Dani, manusia paling tenang di antara semuanya. Jarang sekali dia menampakkan ekspresi lain selain cengengesan di wajahnya.

“Ya, kita harus buat parit.” Ujar Hari yang langsung keluar memastikan pacak tenda masih dalam keadaan kuat.

“Mana parang? Kau letak mana tadi parang kita Bal?” tanya Irawan yang di bantu Re dan Anggi membongkar semua tas dan melihat sekeliling tenda.

“Jangan bilang kita lupa bawa parang juga?” terka Re, dijawab dengan wajah pura-pura bodoh Iqbal dan cengengesan Dani. Re yang mulai lemas. “Apa aja yang bisa buat parit lah. Pisau dapur pun jadi.”

Dibawah hujan lebat yang menerobos rimbunnya hutan, Lima sekawan itu sibuk membuat parit di sekeliling tenda sebagai jalur air agar tak membasahasi tenda mereka. Namun sepertinya sia-sia, pisau dapur tumpul tak cukup kuat menggali tanah di sekeliling tenda karena tanahnya berbatu dan keras. Percuma, pikir mereka. Parit darurat yang di buat seadanya tak cukup membendung air hujan yang turun dari puncak menuju sungai.

Malam ini diputuskan untuk semalam suntuk bermain kartu di dalam tenda yang banjir. Ya banjir, entah kucing hitam mana yang melintas lintang di depan mereka hingga sial ini hari memuncak di sungai yang meluap naik airnya menyebabkan tenda mereka kebanjiran. Peralatan dapur mendadak menjadi tempat duduk mereka demi menyelamatkan pantat dari dinginnya air. Hingga tak sanggup lagi, dan mereka pun memilih untuk kembali ke gerbang jagawana dan beristirahat di teras warung bang Lubis. Hari pertama : bencana.

Siang mulai menyongsong saat mata mereka melek terbuka. Rencana untuk melanjutkan perjalanan ke air terjun dua warna pun di tunda menjadi hari istirahat dan menjemur semua perlengkapan yang basah karena banjir. Sial, karena tak ada yang dapat di minta tolong. Jelas saja bumi perkemahan Sibolangit sepi karena ini memang bukan musim naik gunung. 

Mereka kembali ke tenda yang kemarin malam mereka tinggalkan begitu saja. Dan siapa sangka tempat yang mereka pilih untuk mendiri kan tenda adalah jebakan betmen yang sama sekali tak terlihat seperti tempat untuk mendirikan tenda. Tenda mereka hampir tak terlihat tertutup semak.

“Gila! Ternyata tempat kita dirikan tenda adalah tempat anak jin ngumpet.” Celetuk Re iseng.

“Huss! Jangan ngomong sembarangan di tempat gini deh!” Wajah Iqbal si penakut tampak memucat.

Cahaya matahari yang menghujam mencoba menembus lantai hutan yang lembab. Lumut hijau yang menumbuhi batu-batu yang membuat riak deras sungai yang membelah hutan Sibolangit itu terlihat seperti permadani cahaya berwarna hijau. Titik-titik air hujan yang masih menggantung di dedauanan hijau itu memantulkan cahaya matahari keperakan. Inilah salah satu alasan mereka menyenangi kegiatan berkemah ini. Pemandangan yang tiada harganya ini mengobati sedikit lelah mereka.

Siang ini manjadi momen malas-malasan bagi mereka yang masih di gelayuti kantuk dan lelah. Maka tenggelamlah mereka dengan kegiatan mereka masing-masing sambil menunggu matahari benar-benar di puncaknya. 

Re menikmati buku yang ia bawa di tepi sungai beriak sedang. Akan bertambah nikmat dengan kopi tubruk dan singkong goreng yang baru saja di goreng Hari. Namun bagi Irawan semua pemandangan indah itu kurang nikmat tanpa wanita yang dapat ia gombal. Dani lebih memilih menikmati suasana ini dengan tertidur nyenyak sepanjang hari. Sedang Iqbal dan Anggi sibuk dengan bisnis monyet mereka.

*    *    *

Senja baru saja menyongsong ke barat, namun gelap sudah meraja di dalam perut hutan. Seperti biasa, enam sekawan itu menghabis kan waktu dengan bermain kartu diantara api unggun yang mereka buat seadanya. Siapa yang kalah dalam permainan akan melepas satu persatu benda apa saja yang menempel di tubuhnya. Hingga nanti tak ada satu barang pun yang menempel di tubuh yang kalah maka hukuman berlanjut dengan berkeliling tenda tanpa menggunakan apa-apa. Konyol, namun selalu berhasil menghibur mereka, membuat ramai suasana hutan nan sepi.

Beberapa botol air mineral yang di isi dengan tuak yang mereka beli dari warung bang lubis pun menjadi minuman istimewa di pesta kecil ini. Tapi tidak untuk Re. Dengan alasan kondisi perutnya, ia lebih memilih kopi tubruk dan berbatang-batang rokok lokal yang bernama dan berasa aneh.

Diantara kejenuhan yang mulai datang diantara suara lirih Hari yang bernyanyi lagu-lagu iwan fals dengan gitarnya, menganggap permainan yang kerap mereka lakukan kurang untuk seorang yang sudah dewasa dan bergelar mahasiswa, tercetuslah satu ide gila dari mulut Iqbal. Dasar memang Iqbal busuk bukan kepalang. Sejak awal sudah tercium idenya hanya akan memojokan Re. Benar saja, Iqbal mengusulkan satu permainan kartu dengan hukuman yang paling menantang. 

Wajah Iqbal seolah memerah, dari kepalanya muncul tanduk dan senyum liciknya benar-benar menjijikan. “Kita bertaruh lebih besar. Siapa yang kalah harus membuktikan dirinya benar-benar bukan lagi laki-laki ingusan. Bagaimana?” Senyumnya semakin terlihat menantang dan semakin menjijikkan.

“Apa hukumannya?” Ujar Hari yang terpancing dan menghentikan petikan gitarnya. Semua mata mengarah ke Iqbal, tak sabar menunggu hal mengejutkan paling mutakhir tahun ini yang akan membuat sejarah hidup mereka akan meluncur dari mulutnya.

“Siapa yang kalah harus membuktikan dirinya adalah laki-laki sejati dengan cara melepas perjakanya di bandar baru. Dengan uang taruhan ini kita akan bayar perempuan dan penginapannya. Bagaimana?” Senyum Iqbal mengembang, memamerkan giginya yang seolah di tumbuhi taring panjang.

Semua tercengang mendengar ide setan dari biangnya setan. Dan di masa seperti ini ego seorang anak muda yang kalap mencari jati diri demi pandangan sosialnya menggelegak di tubuh masing-masing mereka. Jiwa muda mereka terpancing, siapa yang menolak akan dinobat gelar banci pengecut yang diperparah ancaman mulut-mulut tak bertanggung jawab yang membuat seantero kampus tahu akan predikat ini.

“Kenapa harus yang kalah yang melakukannya? Mengapa kita tak jadikan hadiah saja buat yang menang?” Celetuk Re yang mulai risau. Dan sebagai orang yang tak pandai main kartu ia bisa saja memanfaatkan kelemahannya sebagai tameng untuk selamat dari ide gila ini. “Bisa saja kan, kalian malah pura-pura mengalah demi bisa dapat hukuman itu.”

“Masuk akal juga. Atau biar lebih adil kita ganti permainan dengan cara tinggi-tinggian nilai kartu. Kita akan mengambil kartu secara acak. Bagi yang memenangkan permainan lima kali berturut-turut, dialah si pemenang. Bagaiman? Setuju? ” Anggi memberi saran dan di balas anggukan semua anggota kecuali Re. Re mendapat firasat tak enak dan hanya bisa menelan ludah yang terasa begitu serat.

Semua setuju dengan ide gila Iqbal. Satu persatu mengeluarkan uang taruhannya. Terkumpul 250.000 rupiah, cukup untuk sekali show, pikir mereka. Mereka pun membentuk lingkaran mengelilingi kartu yang di di tebar asal di tengah. Satu-satu mereka segera mengambil selembar kartu. Wajah mereka terlihat begitu tegang, menggenggam kartunya masing-masing.

“Okey, mari kita buka.” Ujar Irawan ringan. Semua tahu Irawan sang penakluk perempuan-perempuan kampung itu sepenuh hati menginginkan hadiah kali ini. Dengan semangat ia membuka kartunya di lanjutkan dengan yang lain. Dan sial bagi Re. Kartunya memenangkan permainan di awal. Semua semakin tegang.

Kartu kedua, Iqbal tersenyum cabul, kartunya menang. Kartu ketiga, Dani hanya tersenyum cengengesan, dia menang namun semua tahu dia tak menginginkan hadiah itu sama sekali. Permainan terus berlanjut mencari siapa orang yang bisa memenangkan permainan lima kali terlebih dahulu. Kartu keempat, kelima dan seterusnya.

Anggi dan Re memegang kandidat saat ini. Siapa diantara mereka yang akan dapat kartu terbesar sekali lagi maka akan keluar menjadi pemenang dan berhak tidur di hotel murah di Bandar baru – kota kecil di dekat Sibolangit yang sudah terkenal sebagai red distric di kawasan ini, lengkap bersama seorang perempuan yang akan menemaninya melepas impian setiap lelaki dewasa.

Firasat buruk ternyata benar mengutuknya. Kemenangannya menghentikan permainan mereka. Kelima temannya tersenyum penuh kepuasan dan kejahilan. Re curiga kalau mereka memang menginginkannya untuk menang. Temannya mengucapkan selamat seolah ia memenangkan hadiah paling bodoh sedunia. Shit!, batinnya.

“Saatnya ngebuktikan semuanya Re! Malam ini kau akan resmi menjadi the real man, lelaki dewasa yang sebenarnya!” ujar Anggi yang langsung mengangkat botol berisi tuaknya tinggi. “Cheers! Selamat belah duren untuk sobat kita Re!” sambutan kemenangan dari Anggi menyamarkan ejekan. Dan di sambut yang lain dengan kata-kata yang berlagak heroik untuk seorang Re si pemenang yang menunggu waktu menjadi si pecundang.

“Tunggu guys! Bagaimana kalau hadiah istimewa ini aku hadiah kan untuk seorang diantara kalian saja?” Potong Re seketika. Matanya memandangi satu persatu teman usilnya itu dan berhenti di Iqbal. “Sepeti Iqbal mungkin? Dia berhak dapat kehormatan ini.”.

“Jangan bilang lo takut Re?” Celetuk hari dengan tatapan penuh maksud. 

“Bukan, bukan seperti itu. Bagaimana dengan Anggi? Dia adalah runner up yang juga berhak dapat hadiah.”.

“Wow! sorry bro, permainan tetap permainan. Kita semua sudah sepakat bukan? Ah, jangan bilang kau takut melakukannya?” Elak Anggi.

Re terdesak. Buntu tak tahu harus bagaimana. “Ayolah, bukannya lebih baik kita habiskan uang ini untuk senang-senang bersama? Makan di restoran minang di Bandar baru mungkin?” Re masih berusaha mengelak dari kutukannya dan langsung menatap Dani, isyarat meminta tolong. Dani kawan terdekatnya, satu-satunya sekutu yang teramat di butuhkannya saat terdesak seperti ini.

Sorry Re, this momment i can’t be your allience. Permainan tetap permaian.” Bahkan Dani pun, satu-satunya aliansi yang dia kira bisa menyelamatkannya justru berhianat memihak yang lain.

“Ooohh! Come on guys! Bukannya aku takut. Tapi bayangkan kalau uang ini kita gunakan untuk yang lain, akan lebih berguna, bukan?!” bela Re.

“Permainan tetap permainan Re. Atau lo mau kawan-kawan di kampus tahu lo ingkar janji dan di sebut pegecut cuma gara-gara lari dari hukuman, oh sorry... hadiah lo, maksudku.” Ujar Iqbal yang kini benar-benar berubah menjadi iblis yang membuat Re merasa terancam. 

“Ayolah Re. Lo akan jadi pahlawan. Kapan lagi lo harus pertahani perjaka lo? Wong tinggal masukkan aja kok.” Bujuk Irawan.

“Dan tinggal goyang.” Tambah Hari yang memeragakan adegan tak senonoh dengan gitarnya, menambah geram emosi Re.

“Okey, okey!” Senyap seketika. Re melirik satu persatu temannya yang seolah berbalik arah menjadi musuh yang menikamnya mentah-mentah. “Ayo kita ke Bandar baru. Akan ku buktikan kalau aku bukanlah pengecut seperti kalian!” Ucap Re lugas bercampur rasa jengkel, yang disambut dengan sorak sorai cecunguk-cecunguk cabul. Sekali lagi, botol-botol berisi tuak itu diangkat tinggi. Cheers!!

Sore itu juga mereka segera bergegas merapihkan semua perlengkapan camping mereka. Seusai menyantap makan sore mereka- nasi putih plus mie instant rebus yang sengaja di rebus dengan ekstra kuah hingga mie mengembang sesubur cacing tanah yang hidup makmur di kubangan lumpur. Semua perlengkapan mereka titip di warung bang Lubis. Enam sekawan itu pun turun ke kota.

Bandar baru adalah kota kecil yang sudah terkenal dengan kegiatan prostitusinya. Terletak tak jauh dari Bumi perkemahan Sibolangit, Re dan kawan-kawan hanya perlu berjalan setengah jam dari hutan menuju kota.

Kota kecil yang sejuk, yang terletak dataran menanjak perbukitan tanah karo. Ya tentu saja penduduk asli disini adalah suku batak karo, sedang yang lainnya adalah pendatang yang kebanyakan adalah suku jawa dan minang. Disana ada banyak restoran, mulai dari restoran jawa minang yang halal sampai yang paling khas, restoran BPK kita menyebutnya. Rumah Makan Ula Lupa, sedia B2 dan B1 panggang, Begitu yang tertulis plang restoran itu. BPK adalah kepanjangan dari Babi Panggang Karo, B2 adalah babi dan B1 adalah biang yang berarti anjing.

Di bandar baru juga ada pasar tradisional yang buka hanya setiap rabu. Pasar yang juga banyak menjual bunga segar dan perlengkapan nyirih ini sering dijadikan tempat pengisian perbekalan logistik para pendaki yang hendak bertenda di Sibolangit dan tak mau repot-repot membawa perbekalan dari kota pusat.

Rumah-rumah peristirahatan dan bungalow-bungalow yang di cat warna-warni berbaris sepanjang jalan tepi bukit yang terus menanjak dan berliku. Nah, di salah satu bungalow ini lah Re akan melepas perjakanya dengan seorang perempuan bayaran seperti yang mereka rencanakan.

Girimis halus menemani perjanan mereka, mengusir kabut yang biasa turun saat petang seperti ini. Rumah-rumah yang di cat dengan warna-warna cerah itu terlihat lebih mirip taman kanak-kanak ketimbang rumah bordil. Mereka bergerak cepat di trotoar jalan yang sudah di aspal bagus dan terlihat semakin hitam pekat karena gerimis.

Di depan sebuah rumah dengan plang bertulis : Karona Bungalow, mereka celingak celinguk cekikikan sedang Re semakin tak dapat menutupi rasa kawatirnya. Dengan langkah yang meragu, Re tetap melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan semangat di depannya. Tak jauh dari sana, seorang laki-laki berumur tiga puluhan berperawakan gempal dan lucu, menghampiri mereka.

“Pada mau main semua nih?” Tanyanya dengan senyum penuh maksud yang mengembang licik di wajahnya.

“Gak bang, kita cuma ngantar teman kita aja.” Iqbal segera menarik tangan Re dan menepuk punggungnya. “Ini nih jagoannya. Tampilannya sih boleh kutu buku, tapi kalau ngisap kaya kutu rambut.” Candanya.

“Oke oke. Jd mau yang gimana nih? Kita punya yang ayu-ayu dari jawa juga. Murah, plus kamar sekalian deh buat malam ini. Tp pagi-pagi jam 7an udah harus cabut, mau gak?” Tawaran sang makelar ayam.

“Tuh, dengar Re, Ayu-ayu! Gak perlu takut lo sama nande-nande yang nyirih. Hahahaha...” goda teman-temannya yang melihat Re tak dapat menutupi gugupnya. “Maklum bang, ini pertama soalnya.”
“Gak apa, udah sering kok anak-anak mahasiswa yang camping datang kesini. Sebentar bapak panggilkan ceweknya ya. Atau mau pilih sendiri aja nih?”

“Gak usah bang, bawa aja yang paling cantik dan anyar.” Celetuk Iqbal tanpa meminta persetujuan Re terlebih dulu. Si makelar ayam pun berlalu, menjemput calon malam pertama untuk Re. Dalam hati, Re tak henti memaki Iqbal.

Melihat air muka Re yang gugup, teman-temannya kembali mengolok-olok. “Jangan bilang lo takut re? Taruhan tetaplah taruhan. Toh setelah ini lo kan resmi jadi ketua kita!” mereka pun tertawa meledek.

“Takut? Gak lah!” Ujar Re menutupi rasa gugupnya. Tak ingin semakin terpuruk karena ledekan-ledekan mereka.

Tak lama si abang makelar ayam datang dengan seorang perempuan berwajah lembut namun menggoda. Tubuhnya di balut kaus tak berlengan berwarna merah menyala tipis sewarna dengan warna merah yang menggaris di bibir tipisnya. Dandanan yang kontras dengan umurnya, begitu perkiraan Re. Wanita muda itu pun menyalami satu-satu para buaya darat muda. Memperkenalkan diri.

“Fani.” Ujarnya singkat. 

“Waduh mbak, apa gak kedinginan pake baju gitu?” Tanya Irawan yang menggoda.

Perempuan itu tersenyum tak kalah menggoda. “Gak lah bang. Kan bentar lagi mau di angeti sama abang.”.

Menelan ludah lah semua, mendengar candaan si perempuan genit itu.

“Jadi yang mana nih yang mau bulan madu sama aku?” Tanyanya genit. “Atau ke enam enamnya aja sekalian?” Kata-kata si gadis semakin tambah panas suasana.

“Wah, beruntung nih si Re! Sayangnya kita sudah kehabisan uang, kalau gak... aaahhhh...” Geram Hari.

“Jadi nih?” Tanya si abang yang mulai gak betah berlama mendengar becandaan-becandaan anak muda yang keracunan libidonya.

“Jadi! Lo langsung aja Re. Yang lain biar kita urus. Selamat belah duren ya boss!” Ujar dani, si sahabat yang kini berbalik berpihak dengan setan-setan lainnya.

Tiba-tiba Iqbal menjabat tangan Re. Disana terselip sesuatu. Kondom. “Gue bangga sama lo boss. Selamat ya. Untuk pemula, ada baiknya bermain aman. Hehehe...” Seringainya membuat Re jengah.

Gerombolan itu pun berlalu meninggalkan Re bersama si taruhan, Fani. Re semakin gugup dan tahu harus berbuat apa. Ia menyalakan rokok yang sedari tadi ingin ia nyalakan. Mengisapnya dalam-dalam.

“Oh, ini toh yang mau main sama aku. Pantas keliatan gugup.” Segaris merah di bibir Fani mengembang, memamerkan senyumnya yang cantik. Dia segera meraih tangan Re dan membimbingnya ke satu kamar berukuran tiga kali tiga. Disana ada kasur lusuh dan kamar mandi yang berlantai marmer kecoklatan karena usang.

“Begini Fan, sebenarnya ini semua bukan mau aku. Ini hanya taruhan terbodoh yang pernah kumenangkan. Aku tak ingin... maaf, melakukannya denganmu.” Ujar Re. Panik melandanya saat wanita cantik itu menutup pintu kamar.

“Tapi kamu sudah membayar. Dan itu sudah jadi pekerjaanku. Lantas sekarang kita mau ngapai dong? Duduk-duduk saja?” Tanya Fani santai, seolah terbiasa dengan sikap pelanggan seperti Re. “Tenang. Toh aku gak akan telan kamu. Biasanya hanya permulaannya aja yang agak sulit, tapi selanjutnya toh akan menikmatinya, sama seperti hidung belang lainnya. Boleh minta rokoknya?”.

Re menyodorkan bungkus rokok yang usang karena lembab ke Fani. Dengan santai Fani meraih sebatang rokok dan meminta Re untuk menyalakan api. Fani menghisap rokoknya begitu dalam, dan melepas kepulan asap yang seketika memenuhi ruangan. Dari luar terdengar suara gerombolan setan penjerumus Re. Re pun semakin bingung. Ia tak ingin teman-temannya memperolok-oloknya karena ternyata ia justru takut melakukannya. Tangan di sakunya meraih kondom yang Iqbal beri dan meremasnya erat. Sial, pikirnya.

Fani yang melihat reaksi Re hanya dapat menahan geli dan kasihan. Betapa naifnya pria buaya darat di depannya. Umpan sudah di depan mata, malah sibuk dengan pikirannya sendiri. Ini kali pertama Fani mendapat pelanggan seperti Re. Ia pun merasa kasihan.

“Oke... aku akan bantu kamu. Tapi bagaimana pun, kamu harus membayar lebih untuk kemunafikan kamu ini. Bagaimana? Yang penting kamu di mata teman-temanmu terlihat gagah karena sudah menggagahiku.” Bisiknya menawarkan bantuan kepada Re, seraya mematikan rokonya di atas piring kecil yang di jadikan asbak.

Re hanya terdiam. Bingung dengan kata-kata yang Fani bisikkan. Membayar lebih?, bahkan sekarang ia terancam miskin karena taruhan ini, bagaimana ia dapat membayar lebih kepada si biangnya taruhan.

Tanpa meminta persetujuan Re, Fani pun memulai aksinya menyelamatkan si anak kambing yang kini tersesat bersamanya di dalam kamar pengap penuh asap rokok. “Oooohhh... Re... Yeahhh... Pelan dikit. Ya di situ, situ, ehmmm... Arghhh...” Ia berbaring santai, meraung-raung dan sesekali tersenyum melihat Re yang memandangnya tak lepas. Bahkan mulut re hampir menganga, matanya tak berkedip melihat Fani yang bergelinjang lembut memancar nafsu di atas ranjang.

Terdengar suara teman-temanya yang cekikikan, tertipu suara fani yang semakin menjadi-jadi, semakin kerap meneriakkan nama Re. Malam semakin dingin Bandar baru, tapi tidak di dalam kamar Re dan Fani. Si pengantin taruhan yang berderama. Tak lama suara ketawa itu mulai menjauh dari kamar yang membara itu. Iqbal dan kawan-kawan sudah pergi.

Tinggallah Re yang masih tercengang dengan apa yang ia lihat di atas ranjangnya. Fani pun menghentikan aksinya, hanya napas nya yang berpacu terpotong-potong segal, kelelahan. Ya, napas tersegal yang makin membuat Re merasa panas bukan main. Bagaimana pun dia adalah laki-laki muda yang juga penasaran dengan hubungan sex. Laki-laki muda yang masih curi-curi melihat video biru dan banyak membuang sepermanya di toilet. Re sebisa mungkin menahan bara yang semakin membakarnya. Ia tak ingin lepas kendali melihat Fani yang semakin gilang gemilang saat berkeringat dan napas yang terpotong-potong tepat di depan matanya.

“Oke. Tugasku selesai. Rokok?” Ujar Fani. Tangan lembutnya segera menjulur lebut merogoh kantung celana Re dan meraih bungkus rokoknya. Menyelipkannya sebatang ke bibirnya dan menyalakannya kemudian menyelipkannya ke bibir Re yang masih setengah menganga.

Thanks.” Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulut Re. “Sejujurnya, aku tak punya uang lebih untuk bayar kamu lagi. Ini saja,” Re mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan dua puluh ribu kumal dari dalam sakunya. “Ini saja yang kupunya sekarang. Ini pun harusnya ku gunakan untuk bertahan beberapa hari lagi di hutan si bolangit. Ambilah.” Re menyerahkan uang itu kepada Fani.

Mendapati uang-uang kumal itu disisinya, fani malah tergelak. “Memangnya apa yang bisa kuambil dari hidung belang bau kencur seperti mu. Ambil kembali uangmu itu, aku masih punya cukup uang.” Dengan santai tangannya kembali menjulur mengambil bungkus rokok, mengambil sebatang dan menyalakannya. Kali ini untuknya sendiri. Ia hisap perlahan namun dalam, sambil memikirkan bayaran apa yang pantas untuk pejantan mudanya. 

Re melepas ransel hitam kecilnya yang lusuh dan jaketnya, berniat untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah karena ketegangan yang terjadi sepanjang hari ini. Ia baru tersadar kalau sejak tadi ia masih mengenakan tas dan jaketnya. Dan segera beranjak menuju kursi rotan tipis di samping kasur.

“Gak perlu pindah. Kamu baringan di kasur saja. Aku gak akan perkosa kamu.” Fani menghentikan langkah Re, yang kembali terduduk diatas kasur. “Apa yang kamu bawa dalam tas itu?” Tanya Fani iseng.

“Buku. Hanya beberapa buku dan beberapa perlengkapan camping biasa.”.

“Buku? Buku apa? Kamu mau belajar atau berkemah sih sebenarnya.” Goda Fani.

“Buku-buku biasa. Gak ada yang istimewa.”.

“Bacakan satu cerita untukku. Tentang seorang yang ingin pulang kerumahnya. Tentang kerinduan yang memaksa untuk terus berjalan jauh.” Ujar Fani asal, sambil tetap menikmati rokoknya tanpa menoleh ke arah Re. Pikirnya jauh melayang terbawa asap rokok yang mengambang di atas wajahnya.

Dorothy of Oz. Dorothy si pencari Oz.” Tiba-tiba satu judul cerita kelasik meluncur begitu saja dari mulut Re.

“Apa saja. Ceritakan padaku.” Fani terhenyak dan segera menindas batang rokoknya diatas piring kecil yang mereka anggap asbak. Ia tertarik.

“Maaf, tapi aku bukan pencerita hebat.” Elak Re yang juga mematikan batang rokoknya yang mulai susut terhisap.

“Tapi kamu masih punya hutang denganku. Ceritakan cerita yang kau katakan tadi.”.

“Aku tak memiliki bukunya.”.

“Terserah. Aku ingin mendengarnya.” Paksa Fani.

Re terdiam sejenak, menatap wajah nakal Fani yang entah mengapa seolah mata itu berubah lunak dan rapuh. Wanita itu sangat ingin mendengar cerita tentang Dorothy dan Oz.

“Oke. Anggap saja ini adalah bayaran dari jasamu yang rela berlelah-lelah menyelamakanku. Aku akan berusaha menceritakan semua yang ku ingat dari cerita ini.”.

“Oke. Ceritakan.” Ujar Fani yang sekarang serius menatap Re.

Re mulai mengambil posisi nyaman di atas kasur, tepat disamping Fani. Menarik napasnya dan mulai bercerita. “Cerita ini bermula dari gadis kecil Dorothy dan anjing kecilnya Toto yang terbang terbawa angin puting beliung hingga terpisah dari rumah dan kedua orang tuanya.” Cerita Re kepada Fani.

“Lanjutkan.” Gumam Fani, menatap Re lekat.

“Kemudian tersesetlah mereka di sebuah negeri di balik pelangi yang di beri nama negeri Oz. Dorothy dan Toto punya tugas untuk menemukan penyihir hebat Oz untuk meminta pertolongannya, mengembalikan mereka ke rumahnya. Sepanjang perjalanan mereka bertemu banyak teman yang bertujuan sama, yaitu bertemu dengan penyihir Oz. Mereka pun bersama bertualang melintasi hutan-hutan, bukit-bukit Oz demi mimpi mereka masing-masing.”.

“Tak perlu terburu-terburu. Ceritakan perlahan.” Gumam Fani.

Sesaat sebelum Re melanjutkan ceritanya, ia menatap mata hitam Fani yang terlihat berbeda dari Fani yang sebelumnya. Matanya seolah ingin bercerita banyak juga. Mungkin tentang kerinduan yang juga ia tanggung. Namun Re lebih memilih untuk melanjutkan ceritanya dari pada mencari tahu apa yang tersembuyi di tatapan sendu Fani. 

“Lanjutkan!” Ujar Fani yang tak sabar.

“Dorothy dan Toto yang ingin pulang. Manusia kaleng si penebang kayu yang ingin memiliki hati seperti manusia. Manusia boneka pengusir gagak lugu ingin menjadi seorang manusia. Dan si singa pengecut yang ingin memiliki keberanian. Perjalanan mereka penuh rintangan mencari Oz karena seorang penyihir jahat yang mereka sebut si penyihir barat. Kemudian....” Maka berceritalah Re tentang Dorothy kepada Fani. 

Suasana mencair bersama kisah yang bergulir. Keduanya terlupa dengan apa yang baru saja mereka lalui. 

“... Akhirya Dorothy dan Toto pun bertemu dengan penyihir Oz dan mengalahkan penyihir barat yang jahat dengan bantuan teman-temannya, manusia kaleng si penebang kayu, boneka pengusir gagak nan lugu dan si singa pengecut. Mereka pun meminta penyihir Oz untuk mengabulkan permintaan mereka masing-masing yang tanpa mereka sadari mereka telah mendapatkannya di dalam diri masing-masing saat mereka melakukan perjalanan itu. Si manusia kaleng tak harus memiliki hati seperti manusia karena dia telah memiliki kasih. Si boneka pengusir gagak tak perlu manjadi manusia karena ia memiliki sifat yang jauh lebih mulia dari manusia. Si singa pengecut juga tak perlu meminta keberanian dari penyihir Oz karena dia sendiri telah mengalahkan ketakutannya sendiri. Sedangkan Dorothy dan Toto...” Re menghentikan ceritanya sejenak, mendapati Fani yang terhanyut oleh ceritanya. Seperti seorang gadis kecil lugu mendengar cerita penghujung tidurnya. 

“Bagaimana dengan Dorothy? Akhirnya penyihir Oz mengabulkan permintaannya, dan dia pulang, bertemu dengan orang tuanya? Lanjutkan Re!” pinta Fani tak sabar.

“Akhirnya Dorothy sadar betapa ia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Dan penyihir Oz pun memulangkan mereka. Demikian akhir petualangan Dorothy di negeri Oz.” Re pun menydahi ceritanya dengan senyum penuh kepuasan.

“Bahagianya mereka.” Suara Fani terdengar parau. Matanya mulai meneteskan air mata. Ia menangis penuh haru dan membuat senyum Re berubah menjadi panik.

“Fan, kamu knapa? Kok malah nangis?” Tanya Re yang kebingungan melihat si gadis kecil berubah menjadi wanita berduka di ranjangnya. Sesaat senyap menyelimuti mereka. “Maaf kalau ceritaku malah membuat kamu sedih.” ujar Re, mencoba menenangkan Fani.

“Gak apa. Aku hanya kangen rumah.” Matanya terus mengeluarkan air meski senyum terus menggaris di bibirnya. Air matanya yang membuat maskara yang menempel tebal di bulu matanya meluntur.

Di malam dingin dan sunyi itu, akhirnya Fani menceritakan banyak hal kepada Re. Tentang mimpi-mimpinya, tentang kerinduannya akan kampung halaman. Sejak awal Re menduga kalau Fani jauh lebih muda dari tampilannya. Gadis muda asal jawa timur itu pun akhirnya bercerita banyak tentang perjalanannya mencari kehidupan yang lebih layak, hingga akhirnya terjabak di dunia hitam yang sekarang digelutinya.

Fani pernah menjadi buruh pemecah batu sungai di kampung halamannya. Setelahnya ia di kirim agen tenaga kerja ke medan, dan di pekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah keluarga keturunan. Disanalah ia kehilangan keperawanannya. Ya, tuannya merenggut semua impiannya. Ia melaporkan semua perbuatan si tuan kepada si nyonya, tapi percuma, si nyonya justru menutupinya. Sepercuma laporannya kepada pihak yang berwajib. Tak ayal fani hanya menjadi bulan-bulanan wartawan surat kabar kota yang terkadang lebih mementingkan berita yang di terbitkan, ketimbang perasaan si korban.

Kehabisan akal menyembunyikan rasa malunya, Fani pun memilih untuk tak lagi ikut dengan agensi lintah itu. Ia bekerja serabutan, hingga suatu hari ada seorang teman yang bekerja di salon menawarkannya  pekerjaan di satu desa yang katanya kurang lebih seperti kampung halamannya. Ya, sekarang disinilah Fani, Bandar baru. Tak pernah ia duga sebelumnya akan bekerja seperti ini, namun toh tak ada lagi kehormatan yang harus ia jaga lagi, pikirnya.

Nasib sial Fani si anak kampung miskin yang tak pernah menikmati indahnya masa-masa kecil, menyenangkannya masa-masa sekolah. Ia hanya lulus kelas satu sekolah dasar, ia berhenti ditengah semester bangku kelas dua sekolah dasar. Ia harus membantu ibunya yang seorang janda yang bekerja sebagai buruh untuk menghidupi kedua adik yang juga masih kecil-kecil.

Ini adalah tahun kelima untuk Fani. Ia pernah mencoba menulis surat untuk keluarga nun jauh di perkampungan di pulau Jawa sana dengan bantuan temannya, karena fani tak memiliki kemampuan membaca tulis, tapi percuma, surat-suratnya tak pernah mendapat balasan. Ia juga pernah mencoba menghubungi tetangganya di kampung, namun belakangan nomor yang ia selalu hubungi pun tak dapat di hubungi. Fani patah arang. Ia kehilangan semangatnya.

Rindu yang ia tanggung tak tahu lagi sudah sebesar apa. Saat ini tak ada yang lebih besar daripada mimpinya untuk pulang. Kerinduan akut yang kini memenuhi bunga tidurnya di malam-malam sepi. Namun kerinduannya selalu terhalang ketakutannya akan rasa malu yang sudah tak tertanggung lagi. Fani tak akan pernah membiarkan aib ini diketahui oleh keluarga yang amat ia rindukan.
Re hanya tertegun mendengar cerita Fani, Dorothy dalam nyata. Merasa iba karena ternyata perempuan itu menanggung beban rasa yang teramat dalam. Ternyata wajah Fani jauh lebih muda dan cantik sekembalinya dia dari toilet untuk membersihkan dandanan yang telah berntakan di wajahnya. Senyumnya juga terlihat lebih polos dari pada senyum sebelumnya. Sungguh keadaan kadang dapat merubah orang sebegitu rupanya. Rasa bersalah terbit di hati Re, yang sudah sempat berpikiran tak baik terhadap Fani.

“Re... Aku juga mau cari si penyihir Oz. Biar aku bisa pulang tanpa rasa bersalah yang menghantui ini.” Gumam Fani, merebahkan tubuh mungilnya diatas kasur di samping Re.

“Sama... Aku juga mau cari si penyihir Oz. Biar aku gak harus membabi buta terburu-buru dewasa biar disangka hebat.”.

Terdengar suara tawa pelan dari Fani membuat Re juga tersenyum, menyadari betapa kalapnya ia mencari makna kedewasaan.

“Terima kasih buat ceritanya Re. Aku tahu, kamu anak yang baik. Jangan terburu-buru, nikmati saja.”.

“Ya, nikmati saja.” Tawa Re mengambang.

“So... Masih gak mau nyoba jadi jagoan dengan meniduriku? Kondomnya mubazir loh.” Goda Fani, sedikit mengejek.

“Hahaha. Gak, makasih Fan. Kamu boleh istirahat. Aku disini, gak akan buat apa-apa, jangan kawatir.”.

Re pun melorotkan tubuhnya yang kucel. Disampingnya Fani terpisah guling tebal yng menganggur. Mereka hanya melempar senyum. Canggung masih menggantung di senyum Re membuat Fani tak lagi dapat menahan rasa geramnya. Sigap fani menghampiri Re yang terpaku, tak sempat berbuat apa-apa saat Fani mendaratkan ciumannya di pipinya dan langsung kembali ke posisi semula, memunggungi Re dan akhirnya terlelap.

Sedang Re. Lelaki kencur itu tak mampu memejamkan matanya. Barusan adalah yang pertama untuknya. Tak tahu apa namanya, tapi semua rasa bercampur aduk. Yang ia sadari ada bahagia disana. Re telah bertransformasi.

*    *    *

Bangun pagi jam 7 di tempat sedingin Bandar baru adalah siksaan. Namun Re tak boleh lebih lama disana, sesuai perjanjian dengan si makelar ayam, ia pun beranjak meninggalkan Fani yang masih tertidur pulas di kasur tipisnya. Beberapa detik sebelum ia beranjak meninggalkan kamar itu ia memperhatikan wanita yang nyenyak dibalut kerinduan itu. Hatinya berdoa tulus untuk Fani.

Sepanjang perjalanannya menuju hutan tempat teman-temannya yang bergosip, memperolok-olok tentangnya, Re tak henti membayangkan Fani. Ia berniat, suatu hari ia akan kembali untuk memberikan sesuatu untuk perempuan itu.

Malam terakhir mereka di habiskan dengan merayakan hilangnya keperjakaan Re. Setidaknya itu yang teman-temannya pikir. Semua menagih cerita tentang pengalamannya menjadi pengantin semalam, maka semakin membuallah Re dengan bakatnya mengarang, lantas bersulanglah mereka antara riak suara arus sungai dan suara serangga malam yang bersarang di pepohonan yang menjulang mengelilingi tenda tempat mereka besenda gurau. 

Rintik gerimis masih terus membasahi. Di dalam hutan lembab itu, jauh dari semuanya Re masih mengenang Fani, si hadiah taruhan.

*    *    *



Cukup tiga hari untuk Re dapat menjadi pahlawan diatara teman-temannya. Ceritanya mendadak populer diantara teman-teman di kampus. Re sendiri tak begitu nyaman dengan cerita tentangnya yang otomatis memberinya gelar ganda sebagai playboy.

Satu bulan setelahnya, gang Iqbal dan kawan-kawan mulai di sibukkan dengan kegiatan perkuliahan. Sejak awal mereka memang meniatkan diri untuk menjadi anggota pecinta alam di kampus. Maka terdaftarlah mereka sebagai calon anggota Mahasiswa Pecinta Alam atau yang biasa disebut Mapala. Sebagai anggota yang belum resmi di lantik maka mereka wajib mengikuti pelantikan anggota Mapala yang diadakan di Bumi Perkemahan Sibolangit yang berarti mereka akan kembali lagi ke Bandar baru.

Kegiatan pelantikan akan di laksanakan empat hari tiga malam di Sibolangit. Tak seperti biasa setiapkali mereka camping, kali ini mereka terikat oleh peraturan-praturan dan tata acara yang telah di siapkan senior mereka. Hari-hari mereka disana pun di isi dengan semua kegiatan yang terasa begitu membosankan. Perjalanan menyusuri sungai, permainan-permainan khas anak-anak pramuka dan ceramah-ceramah yang membuat mereka selalu bergadang. Hampir tak ada kegiatan yang bisa membuat mereka lebih menikmati suasana sekeliling. 

Dalam kesempatan ini, Re berniat untuk menyerahkan sebuah hadiah yang ia beli khusus untuk Fani. Sebuah buku cerita bergambar full warna berjudul Wonderful World of Oz. Ya, kisah Dorothy di Oz. Sengaja ia membeli cerita bergambar, agar Fani dapat memahaminya. Kasian wanita muda itu, dia tak pernah punya kesempatan untuk menikmati bangku sekolah, pikir Re. Re harap hadiah kecilnya dapat menghibur hari Fani yang teramat merindu rumah.

Bahkan di hari-hari terakhir acara pelantikan itu, panitia membuat acara api unggung bersama sebagai ajang temu ramah terakhir kalinya sebelum kembali ke kampus. Re risau, tak sabar ingin cepat memberikan hadiah kecilnya kepada Fani. Hadiah kecil yang akan d berikan oleh Re bukanlah sesuatu yang istimewa mungkin. Fani pasti lebih membutuhkan sesuatu yang lebih daripada sekedar buku cerita, ia bukan gadis kecil lagi, tapi setidaknya ia akan sedikit terhibur dengan buku ini, pikir Re.

Waktu beranjak senja. Dan senja di tengah hutan terasa begitu gelap, sudah seperti malam saja. Re dan rombongan pecinta alam itu sengaja mendirikan tenda tak jauh dari air terjun dua warna yang berada tepat di kaki gunung sibayak. Mereka berjumlah 30 orang yang terbagi beberapa tenda besar yang berdiri paksa diantara bebatuan dan pepohonan yang menumbuhi lembah. 

Air terjun berwarna putih bergradasi biru kehijauan, berdiri megah menghujam lembah. Warna putihnya disebabkan serbuk sulfur gunung Sibayak yang terbawa arus sungai lereng hingga kedalam hutan ini dan biru kehijauan adalah sejati warna sungainya. Indah dengan rupa dan cerita misteri dari penduduk setempat membentuk pesonanya sendiri. Setidaknya tiga jam perjalanan dimedan yang senantiasa lembab dan tak rata, air terjun dua warna menjadi incaran para pecinta alam yang haus petualangan. Semua lelah akan terbayar dengan keindahan alam yang tersaji di lembah lereng Sibayak.

Malam baru saja turun. Api unggun telah siap di tengah-tengah. Semua peserta mengeliling api dan memulai acara temu ramah dengan berbagai cerita dan permainan yang melibatkan semua peserta. Malam terus melarutkan mereka dalam suasana yang semakin santai. Sebagian dari peserta sudah balik ke tenda masing-masing, tak kuasa menahan kantuk. Hanya Re dan beberapa teman saja yang tersisa. Mereka bernyanyi bersama alunan petikan gitar Hari dan bermain kartu seperti yang biasa mereka lakukan. Cuma kali ini taruhannya tak begitu menantang. Siapa yang kalah mukanya akan di coret pakai arang.

Waktu semakin larut, menghabiskan api unggun yang kini tinggal bara. Di tengah permainannya, tiba-tiba Re merasa tak kuasa lagi menahan bara panas yang bergejolak di perutnya.

“Kenapa lo?” Tanya Iqbal datar.

“Iya nih... aku ke sungai dulu deh.” Re segera beranjak.

“Yakin lo ke sungai sendiri? Gue sih gak takut sama setan, Cuma biasa kalau malam hari banyak hewan penghuni hutan tuh malah berburu di sungai. Ya hati-hati aja lo, kalau-kalau ketemu harimau.” Jelas Iqbal menakut-nakuti tanpa menoleh menatap Re, terlalu sibuk dengan kartunya.

Re hanya tersenyum masam. Ia tahu Iqbal bahkan jauh lebih penakut dari pada anak sekolahan. Biasanya kalau hal sama terjadi padanya, Iqbal akan lebih memilih menuntaskan hajatnya diantara rimbun semak belukar yang tak jauh dari tempat mereka mendirikan tenda. Menjijikkan.

Bara di perutnya tak mungkin lagi untuk ditahan. Maka Re semakin terdesak. Berbekal hanya dengan senter kecil, ia pun menyusuri jalan yang menurun menuju sungai yang bergemuruh bunyinya. Suasana disana hanya pekat. Bahkan cahaya dari senter pun tak dapat menembus pekat. Di balik gemuruh arus yang menghantam bebatuan sungai terdengar suara burung malam dan hewan-hewan lain yang tinggal di hutan sibolangit. Tak tertahankan lagi, ia pun segera menuntaskan hajatnya.

Seusainya, Re malah melambat, ia tak ingin cepat-cepat meninggalkan sungai yang sempat membuat nyalinya ciut, kini malah membuatnya merasa begitu damai. Ia terduduk di sebuah batu, mencoba menghayati orkestra alam di tengah gelap perut hutan. Tak ada lagi rasa takut dalam dirinya, yang ada hanya rasa syukur dan takjub. Tak lama mata Re menangkap sesuatu yang berkilauan melayang di atas air. Seperti titik cahaya berkedip-kedip lembut. Kunang-kunang, pikirnya. Tak lama cahaya itu semakin banyak berhamburan, puluhan bahkan ratusan mungkin. Mungkin saja sejak tadi kunang-kunang itu memang disana, cuma Re saja yang terlalu sibuk hingga tak memerhatikannya. 

Sekali lagi alam menunjukkan keindahannya bahkan di balik gelap seram malam. Dan untuk kesekian kalinya Re terpukau dibuatnya. Kunang-kunang itu beterbangan memenuhi sepanjang garis sungai. Sungguh pertunjukan mahal dan langka, orkestra alam yang mengalun indah sekaligus mistis. 

Saat Re terpana di hipnotis oleh pemandangan super indah yang tersaji di hadapannya, tiba Re mendengar suara riak air, seperti langkah melawan arus sungai dari seberang tempatnya terpaku. Dengan cekatan Re segera siaga. Ia segera mengarahakan senter kearah seberang sungai, tepat di hadapannya. Matanya menyipit berusaha menembus gulita yang begitu membutakan. Jantung Re berpacu semakin kencang bersama riak langkah yang terus mendekat.
Bayang itu semakin lama semakin mendekat hingga akhirnya Re tak dapat mempercayai penglihatannya. Sosok wanita yang ia kenal berdiri disana, hanya ia terlihat lebih polos dari pada yang pernah ia kenal. 

“Fani?” Sapa Re ragu.

“Hai Re. Maaf mengejutkanmu.” Ujar wanita yang disangka Fani itu.
Seorang wanita kini duduk berhadapan langsung dengan Re. Sosok Fani yang terlihat jauh berbeda dengan yang pernah ia lihat. Fani yang ia lihat sekarang jauh lebih cantik. Tak ada dandan yang berlebihan menutupi wajahnya. Lebih aneh lagi, Fani menggunakan kebaya putih serta kain batik yang ia kenakan sebagai bawahan, sungguh padanan yang tak terpikirkan untuk berjalan di belantara hutan. Pemandangan yang teramat janggal untuk Re.

“Fan, Kamu sedang apa disini? Ini hutan, sudah malam, bahaya!” ujar Re setengah membentak.

“Panggil aku Kinar Ayu. Stefani hanya nama yang di beri si cukong lendir untukku.” Ia tersenyum lembut. Begitu cantik, mempesona Re.

Kinar Ayu, sungguh nama yang pantas untuk bidadari yang duduk dihadapannya sekarang, bisik Re dalam hati. Rasa aneh masih terasa, namun seolah tersaput rasa kagumnya, Re terbuai.

“Kok jadi melamun. Kenapa? Kamu ragu aku ini nyata?.” Ujar wanita cantik itu, seraya tertawa kecil mencoba menebak isi kepala lelaki lugu di depannya. Perlahan tangan lembut nan hangat wanita itu menyentuh wajah Re yang masih kehilangan kata-kata dan semakin tak dapat berkata-kata. “Masih ragu?” Kinar meyakinkan. Melihat reaksi kaku Re lantas ia membasahi tangannya dengan air sungai yang melintas di antara kaki mereka dan menyipratkan ke arah Re. “Re... sadar!” Ambeknya.

Re tersadar dan menepis percikan air dari jemari Kinar. “Yah, aku masih merasa aneh aja, sedang apa kamu disini, Fan? Maaf Kinar.” Ralat Re.

“Melihat pertunjukan kunang-kunang yang kau lihat tadi. Kenapa aneh? Gak boleh ya?” jawab Kinar santai.

Masih banyak hal-hal aneh lain yang menggantung di benak Re namun begitu cepat terabaikan oleh obrolan Kinar yang bercerita banyak tentangnya mencari Oz, mencari jalan untuk dia pulang. Re hanya berusaha menjadi pendengar yang baik. Mudah saja, karena wanita cantik diantara kunang-kunang yang sekarang ada di depannya ternyata punya mata yang tak kalah cantik dari kerlip kunang-kunang. Mata yang dulu menyimpan sejuta rindu kini seperti telah melepas semua kerinduan yang menyiksa itu. Mengisyaratkan bahwa Fani yang tersesat telah pulang dan menjelma kembali menjadi Kinar. Fani atau Kinar jelas terlihat berbeda di mata Re. Seolah Fani yang ia kenal bermetamor menjadi sosok Kinar yang lebih dewasa.

Kinar bercerita, kemarin ia pergi ke hutan ini untuk sekedar membunuh kejenuhan bersama teman-temannya. Pengalaman pertama untuknya, menghabiskan malam di hutan hijau dan betapa ia mencintai tempat ini. Kinar juga mengaku rindu dan sedikit marah dengan Re yang meninggalkannya tanpa apa-apa bahkan untuk sekedar salam perpisahan. Cerita Dorothy yang mencari Oz untuk membantunya pulang terus terpikirkan olehnya. Sungguh gadis yang polos, pikir Re. Kerinduan yang teramat membuatnya menjadi gadis pemimpi.

Cerita Kinar akan Oz mengingatkan Re akan hadiah kecil yang telah ia siapkan untuk wanita itu. Tiba- tiba tak sabar ia ingin menyerahkannya, namun Kinar menahannya, masih ingin menikmati pertunjukan kunang-kunang katanya.

“Makasih Re.” Tiba-tiba Kinar menggumam.

“Untuk?” Tanya Re singkat.

“Untuk ceritanya,” Kinar tersenyum amat manis. “Bahkan aku bermimpi indah malam itu, seusai kau bercerita. Entah sudah berapa lama aku tak pernah bermimpi indah seperti saat itu.”.

“Itu hanya cerita, tak lebih. Kau juga telah menyelamatkan ku. Apa jadinya jika teman-teman ku tahu saat itu kita tak berbuat apapun.”.

“Yah... Bayaran yang setimpal. Terima kasih Re.” Perlahan Kinar meendekatkan wajahnya yang pucat dan meninggalkan jejak hangat bibirnya di pipi Re. Lembut dan tulus.

Sesaat terdengar suara teriakan memanggil manggil nama Re dari arah tenda berdiri. Menyadarkan Re bahwa sudah lama ia berada di tepi sungai ini. 

“Oh, teman-teman. Mereka pasti kawatir. Sebentar, tunggu aku disini. Aku punya sesuatu untukmu, ku harap kau suka.” Kali ini Kinar tak dapat lagi menahan langkah Re yang berlalu meninggalkannya. 

Re disambut dengan teman-temannya yang sudah panik karenanya. Muka para senior terlihat jengkel melihat Re yang cuek melangkah masuk langsung menuju tenda dan membongkar tas punggung besarnya. Mencari-cari hadiahnya untuk Kinar.

“Kemana saja kau?” tanya seorang senior kepada Re yang terlalu buru-buru.

“Oh, maaf kak. Aku hanya duduk bersama seorang teman lama di tepi sungai. Maaf, tapi aku harus memberikan buku ini kepada nya.”
“Seorang teman?” belum sempat si senior bertanya lebih banyak, Re langsung berjalan kembali ke tepi sungai untuk menyerahkan buku didalam genggamannya ke Kinar. “Jangan lama!” teriak si senior di kejauhan.

Dan betapa terkejutnya Re saat ia sampai di tepi sungai. Tak ada siapapun disana. Hanya senter kecil yang ia sengaja tinggal, sedangkan Kinar tak ada lagi disana. Kinar lenyap bersama pertunjukan kunang-kunang yang juga usai. Kemana gadis itu, hati Re bertanya. Ia segera meraih senter kecil yang ia letak diatas batu dan mengarahkannya ke sekililing, tapi percuma, Kinar tetap terlihat. Wanita itu hulang tak berjejak. Yang tersisa hanya gelap dan suara malam saja. 

“Apa yang kau cari?” tanya seorang senior kepada Re. Tiba-tiba saja si senior itu ada diatas sana.

“Seorang perempuan. Tadi dia disini... tadi...” Semua perasaan aneh yang sejak tadi memenuhi benaknya membuat Re semakin kalud.

“Jangan bercanda! Cepat naik! Kau sudah membuat panik semua. Ini hutan belantara, tolong jaga sikapmu!” Desis si senior setengah mengancam.

Re pun menyerah, terpaksa harus mematuhi perintah dari si senior. Tiba-tiba rintik gerimis turun mengahantar langkahnya menuju tenda. Di dalam tenda, Re masih terjaga dalam balutan kantung tidurnya. Banyak hal aneh yang berkecamuk di pikirannya tentang pertemuan singkatnya dengan wanita yang ia kenal Fani. Tak mungkin mimpi, ini terlalu nyata untuk menjadi mimpi, bingung masih menyelimutinya. Membuatnya semakin tak sabar untuk membuktikannya langsung esok hari.

*    *    *



Saat sinar matahari pertama berhasil menembus rimbun rimba hutan Sibolangit yang lebat, Re dan romongan sudah siap untuk pulang. Hutan dipagi hari adalah karya terindah Tuhan yang selalu memancing doa meluncur dari mulut kita. Titik embun di dedaunan, di lumut, di bebatuan, berkilauan saat tersapu cahaya matahari. Ditambah suara burung dan dan serangga penghuni hutan.

Beberapa jam kemudian tibalah mereka di bibir hutan. Sebagian mereka kelelahan dan memilih untuk beristirahat di kedai-kedai yang berjajar sepanjang jalan hingga ke gerbang masuk kawasan bumi perkemahan. Re yang sudah tak sabar lagi pun semakin di buru rasa penasarannya. Lantas ia pun segera permisi kepada panitia senior untuk memisahkan diri dan langsung menuju Bandar baru.

Setelah mendapat ijin, hasil dari perdebatan panjangnya dengan panitia senior, Re pun langsung menuju bandar baru dengan langkah lebih cepat dari sebelumnya. Ia tak ingin Iqbal dan kawan-kawan ikut dengannya, hanya akan membuat keadaan semakin kacau saja. Seolah gerimis tak pernah usai di kota kecil ini. Sekarang pun gerimis kembali menemaninya menuju wisma Karona, tempat kinar bekerja.

Tanpa ragu, Re langsung masuk menuju meja resepsi. Disana si bapak ayam sudah menyambutnya dengan muka mesum seperti dahulu dan langsung bertanya kepada Re.

“Cari kamar dik? Atau teman tidurnya sekalian?” senyum yang mengisyaratkan godaan itu merekah diwajah si bapak.

“Bapak masih ingat?”.

“Siapa ya? Maaf sudah lupa.”.

Pecuma saja, pikir Re yang memang sudah tak sabar untuk ketemu dengan Fani. Tanpa banyak berpikir lagi, ia langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “ Saya Re. Saya ingin ketemu Fani pak. Fani  ada?”.

“Fani? Fani yang mana? Maaf, sepertinya gak ada yang bernama Fani disini.”.

Re mulai bingung mendengar pernyataan si bapak. “Fani... Fani yang malam itu...” tiba-tiba terpikir olehnya nama perempuan yang mengaku Fani semalam.  “Kinar... Kinar ayu...” Ujar Re sedikit ragu.

Dari wajah si bapak terlihat lebih cerah, namun kembali mengrut. “Kinar... oh Kinar. Adik ini ada hubungan apa sama Kinar?” Tanyanya penuh selidik.

Ternyata, nama sebenarnya Fani benar adalah Kinar, Re tak begitu terkejut, berarti perempuan yang ia jumpai di tepi sungai benarlah Fani. “Ya benar, Kinar pak. Saya temannya. Saya boleh ketemu sama Kinar?” Tanya Re.

Seolah mendung tiba-tiba menutupi wajah si bapak. “Kamu belum dengar keadaan Kinar. Sesuatu terjadi padanya. Sudah sejak tiga minggu yang lalu, Kinar hilang di telah hutan si bolangit. Dan hingga sekarang polisi dan tim pencari belum juga memberi kabar ke kita.” Aku si bapak.

Mendangar cerita si Bapak, Re hanya bisa terdiam terpaku. Ia terseret kembali di momen semalam, saat wanita itu ada di depan matanya. Fani atau Kinar yang begitu nyata. “Bagaimana bisa pak?” tanya Re kebingungan.

”Beberapa hari sebelumnya Kinar ikut dengan teman-temannya untuk pergi bertenda, sekedar menghabiskan semalam piknik di tengah hutan. Namun ia selalu bercerita tentang sebuah dongeng penyihir, dan dia merasa harus menembus hutan lebat untuk dapat menemui si penyihir yang akan membantunya nanti. Sungguh aneh. Malam harinya temannya tak lagi menemukan Kinar di tenda. Ia menghilang tanpa jejak, hingga sekarang. Sungguh gadis yang malang.”.

Re semakin mematung. Tungkainya melemas kehilangan segenap tenaga saat mendengar cerita si bapak. Re yakin, wanita yang ia jumpai semalam itu adalah Kinar, Fani si penanggung rindu. Perlahan air mata mengalir menggaris pipi Re yang masih tak habis pikir atas kejadian yang telah menimpa gadis malang itu.

*    *    *

Tiga bulan berlalu. Kabar tentang Fani tak pernah terdengar lagi. Polisi dan tim pencari menyerah dan menyatakan Fani telah hilang. Ya, hilang seolah tertelan bumi, tak berjejak. Kabut duka masih terus menyelimuti Re. Menyesali segala yang telah ia lewatkan. Harusnya ia dapat melakukan sesuatu untuk Fani. Dan kini terlambat. Hanya sesal yang menyesak, menyisakan rasa bersalah.

Hari ini Re dan gang kunyuknya kembali ke hutan Sibolangit. Sekedar menyegarkan diri dari kegiatan perkuliahan yang mulai merepotkan. Hari mulai gelap saat mereka sampai di tepi sungai kawasan air terjun dua warna.  Tak ada rencana lain yang akan mereka kerjakan selain istirahat. Terlalu lelah. Namun tidak untuk Re. Di malam yang cerah itu ia habiskan di tepi sungai, menikmati orkestra alam yang agung, menanti pesta kunang-kunang. Rasa penasaran dan bersalahnya lebih besar daripada rasa takutnya. Di genggamannya terselip sebuah buku. Hadiah yang tak sempat ia sampaikan.

Sudah hampir sejam Re menunggu. Tak ada satu kunang-kunang pun yang terlihat. Hanya gelap yang semakin bertambah gelap karena mendung yang mulai menggantung di langit. Re pun menyerah. Ia tak dapat melakukan apapun selain berdoa. Ia meninggalkan buku itu tepat di tepi sungai sebelum akhirnya beranjak bergabung dengan teman-temannya yang sedang asik berpesta kecil dengan beberapa linting ganja yang mereka bawa.

Samar suara nyanyian Hari dan gitarnya menghantar Re -yang lebih memilih meringkuk di dalam kantung tidurnya, terlelap. Dalam tidur lelapnya Re bermimpi bertemu dengan Kinar ayu. Gadis itu membisikkan kata terimakasih dan memberitahukan bahwa dia telah menemukan Oz di balik pelangi. Gadis itu telah pulang dan merentaskan semua kerinduannya. Sebelum akhirnya dia pergi, sebuah kecupan menghangat di pipi Re. Hangat yang tulus dan lembut menghapus semua rasa bersalahnya. 

Saat pagi datang, enam sekawan itu pun turun kesungai, menikmati lagun yang di bentuk air terjun di dasar lembah. Sesaat Re melirik kearah tempat dimana ia meninggalkan buku semalam. Buku itu tak terlihat lagi disana. Buku itu lenyap dan Re tak berniat untuk mencarinya. Ia hanya tersenyum penuh kelegaan. Dalam hati ia mendoakan Kinar akan bahagia disana.

Bandung, 18/10/2012/ 01:04