Mereka
adalah lelaki di ambang hipersekresi hormon di masa remaja. Masih terbawa
dengan uporia corat coret seragam SMU beberapa bulan lalu. Ya, mereka adalah
pria muda yang masih grusak grusuk
mencari jadi diri diantara kehidupan sosial mereka yang mulai berjalan menanjak.
Mereka adalah anak muda yang haus pengalaman, haus petualangan, yang mulai
tagih akan asinnya kehidupan. Mereka adalah Dani, Iqbal, Irawan, Anggi, Hari
dan Re. Ya, mereka para pria kencur yang rela patungan untuk membeli majalah
Playboy Indonesia pertama yang banyak diributkan se-Indonesia dan semakin
girang diracun testeron karena si model adalah idola remaja yang kalap banting
setir menjadi model seksi.
Hari
ini mereka ingin merayakan keangkuhan mereka dengan berkemah tiga hari di kaki gunung
sibayak, hutan sibolangit. Sebelumnya juga mereka kerap melakukan kegiatan luar,
camping bersama teman-teman lain,
namun anggap saja ini perayaan pergantian status yang kini bertambah satu kata
pengukuh: ‘maha’. Lantas, dadakkan mereka pun melakukan perkemahan mereka untuk
kesekian kalinya.
Sejak
sore hujan mengguyur medan dan sekitar. Terminal Borneo –bus tua yang terkenal
dengan reputasi ugal-ugalannya, yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan.
Awal yang tak begitu menyenangkan, stasiun banjir hingga semata kaki lebih.
Member paling bongsor, Iqbal mulai manyun karena tak boleh duduk di atap bus
seperti biasa yang justru membuat Re merasa sebaliknya, lega karena tak harus
duduk diatap bus. Bukan takut, tapi lebih karena salah satu syarat dari ibu yang
sudah bersedia merahasiakan kepergiannya dari ayah.
Malam
sudah turun sejak tadi. Mereka terlambat tiba dari dugaan awal karena dihambat
mecet parah yang sering terjadi dipenghujung minggu. Maka terkaparlah para
jagoan kunyuk di warung bang Lubis sebelum melanjutkan perjalanan menjejaki
hutan Sibolangit. Hampir tengah malam, perjalanan pun dilanjutkan dan mereka
baru tersadar kalau tak ada satu pun dari mereka yang membawa alat penerang.
Berbekal lilin dari warung bang Lubis, lampu ponsel dan kompor mini sebagai
penerangan darurat, meraka pun menapak perlahan kedalam perut hutan. Jangan
tanya soal kompor mini, mereka tahu itu adalah ide paling konyol karena saat
api biru merata, ia tak akan lagi menerangi. Namun sekali lagi, ini darurat.
Sebab
masalah teknis penerangan, akhirnya mereka memutuskan untuk tak jauh–jauh
mencari tempat mendirikan tenda. Setidaknya tak jauh dari sumber air. Maka
tempat landai berbatu di tepi sungai pun menjadi pilihan tanpa pilihan lain,
mengingat lelah yang mulai menggelayuti tubuh asem mereka. Malam pertama pun di
habiskan dengan acara lomba mendengkur paling keras.
Tak
tahu sial apa yang menaungi langit mereka saat itu. Selang sejam rintik gerimis
mulai tak bersahabat, berubah menjadi hujan lebat yang mengguyur hutan. Tiga
puluh menit pertama tak ada masalah selain batu-batu kali yang lekuknya tak
mampu ditutupi matras tipis, bahkan menembus sleeping bag nyaman mereka.
Selanjutnya nyenyak mereka menguap saat seisi tenda mulai di banjiri air.
“Sial!
Bangun woi! Banjir tenda kita!” teriak Iqbal, member paling bongsor dan paling
doyan ngobrol, membangunkan teman-temannya.
Dengan
mata yang masih digelayuti kantuk, mereka terbangun oleh teriakkan Iqbal dan
air hujan yang mulai merambati kantung tidur mereka.
“Wah,
kita harus buat parit nih!” Ujar Dani, manusia paling tenang di antara
semuanya. Jarang sekali dia menampakkan ekspresi lain selain cengengesan di wajahnya.
“Ya,
kita harus buat parit.” Ujar Hari yang langsung keluar memastikan pacak tenda
masih dalam keadaan kuat.
“Mana
parang? Kau letak mana tadi parang kita Bal?” tanya Irawan yang di bantu Re dan
Anggi membongkar semua tas dan melihat sekeliling tenda.
“Jangan
bilang kita lupa bawa parang juga?” terka Re, dijawab dengan wajah pura-pura
bodoh Iqbal dan cengengesan Dani. Re
yang mulai lemas. “Apa aja yang bisa buat parit lah. Pisau dapur pun jadi.”
Dibawah
hujan lebat yang menerobos rimbunnya hutan, Lima sekawan itu sibuk membuat
parit di sekeliling tenda sebagai jalur air agar tak membasahasi tenda mereka.
Namun sepertinya sia-sia, pisau dapur tumpul tak cukup kuat menggali tanah di
sekeliling tenda karena tanahnya berbatu dan keras. Percuma, pikir mereka.
Parit darurat yang di buat seadanya tak cukup membendung air hujan yang turun
dari puncak menuju sungai.
Malam
ini diputuskan untuk semalam suntuk bermain kartu di dalam tenda yang banjir.
Ya banjir, entah kucing hitam mana yang melintas lintang di depan mereka hingga
sial ini hari memuncak di sungai yang meluap naik airnya menyebabkan tenda
mereka kebanjiran. Peralatan dapur mendadak menjadi tempat duduk mereka demi
menyelamatkan pantat dari dinginnya air. Hingga tak sanggup lagi, dan mereka
pun memilih untuk kembali ke gerbang jagawana dan beristirahat di teras warung
bang Lubis. Hari pertama : bencana.
Siang
mulai menyongsong saat mata mereka melek terbuka. Rencana untuk melanjutkan
perjalanan ke air terjun dua warna pun di tunda menjadi hari istirahat dan
menjemur semua perlengkapan yang basah karena banjir. Sial, karena tak ada yang
dapat di minta tolong. Jelas saja bumi perkemahan Sibolangit sepi karena ini
memang bukan musim naik gunung.
Mereka
kembali ke tenda yang kemarin malam mereka tinggalkan begitu saja. Dan siapa
sangka tempat yang mereka pilih untuk mendiri kan tenda adalah jebakan betmen
yang sama sekali tak terlihat seperti tempat untuk mendirikan tenda. Tenda mereka
hampir tak terlihat tertutup semak.
“Gila!
Ternyata tempat kita dirikan tenda adalah tempat anak jin ngumpet.” Celetuk Re
iseng.
“Huss!
Jangan ngomong sembarangan di tempat gini deh!” Wajah Iqbal si penakut tampak
memucat.
Cahaya
matahari yang menghujam mencoba menembus lantai hutan yang lembab. Lumut hijau
yang menumbuhi batu-batu yang membuat riak deras sungai yang membelah hutan
Sibolangit itu terlihat seperti permadani cahaya berwarna hijau. Titik-titik
air hujan yang masih menggantung di dedauanan hijau itu memantulkan cahaya
matahari keperakan. Inilah salah satu alasan mereka menyenangi kegiatan
berkemah ini. Pemandangan yang tiada harganya ini mengobati sedikit lelah
mereka.
Siang
ini manjadi momen malas-malasan bagi mereka yang masih di gelayuti kantuk dan
lelah. Maka tenggelamlah mereka dengan kegiatan mereka masing-masing sambil
menunggu matahari benar-benar di puncaknya.
Re
menikmati buku yang ia bawa di tepi sungai beriak sedang. Akan bertambah nikmat
dengan kopi tubruk dan singkong goreng yang baru saja di goreng Hari. Namun
bagi Irawan semua pemandangan indah itu kurang nikmat tanpa wanita yang dapat
ia gombal. Dani lebih memilih menikmati suasana ini dengan tertidur nyenyak
sepanjang hari. Sedang Iqbal dan Anggi sibuk dengan bisnis monyet mereka.
* * *
Senja
baru saja menyongsong ke barat, namun gelap sudah meraja di dalam perut hutan.
Seperti biasa, enam sekawan itu menghabis kan waktu dengan bermain kartu
diantara api unggun yang mereka buat seadanya. Siapa yang kalah dalam permainan
akan melepas satu persatu benda apa saja yang menempel di tubuhnya. Hingga
nanti tak ada satu barang pun yang menempel di tubuh yang kalah maka hukuman
berlanjut dengan berkeliling tenda tanpa menggunakan apa-apa. Konyol, namun
selalu berhasil menghibur mereka, membuat ramai suasana hutan nan sepi.
Beberapa
botol air mineral yang di isi dengan tuak yang mereka beli dari warung bang
lubis pun menjadi minuman istimewa di pesta kecil ini. Tapi tidak untuk Re.
Dengan alasan kondisi perutnya, ia lebih memilih kopi tubruk dan
berbatang-batang rokok lokal yang bernama dan berasa aneh.
Diantara
kejenuhan yang mulai datang diantara suara lirih Hari yang bernyanyi lagu-lagu
iwan fals dengan gitarnya, menganggap permainan yang kerap mereka lakukan
kurang untuk seorang yang sudah dewasa dan bergelar mahasiswa, tercetuslah satu
ide gila dari mulut Iqbal. Dasar memang Iqbal busuk bukan kepalang. Sejak awal
sudah tercium idenya hanya akan memojokan Re. Benar saja, Iqbal mengusulkan
satu permainan kartu dengan hukuman yang paling menantang.
Wajah
Iqbal seolah memerah, dari kepalanya muncul tanduk dan senyum liciknya
benar-benar menjijikan. “Kita bertaruh lebih besar. Siapa yang kalah harus
membuktikan dirinya benar-benar bukan lagi laki-laki ingusan. Bagaimana?”
Senyumnya semakin terlihat menantang dan semakin menjijikkan.
“Apa
hukumannya?” Ujar Hari yang terpancing dan menghentikan petikan gitarnya. Semua
mata mengarah ke Iqbal, tak sabar menunggu hal mengejutkan paling mutakhir
tahun ini yang akan membuat sejarah hidup mereka akan meluncur dari mulutnya.
“Siapa
yang kalah harus membuktikan dirinya adalah laki-laki sejati dengan cara
melepas perjakanya di bandar baru. Dengan uang taruhan ini kita akan bayar
perempuan dan penginapannya. Bagaimana?” Senyum Iqbal mengembang, memamerkan
giginya yang seolah di tumbuhi taring panjang.
Semua
tercengang mendengar ide setan dari biangnya setan. Dan di masa seperti ini ego
seorang anak muda yang kalap mencari jati diri demi pandangan sosialnya
menggelegak di tubuh masing-masing mereka. Jiwa muda mereka terpancing, siapa
yang menolak akan dinobat gelar banci pengecut yang diperparah ancaman
mulut-mulut tak bertanggung jawab yang membuat seantero kampus tahu akan
predikat ini.
“Kenapa
harus yang kalah yang melakukannya? Mengapa kita tak jadikan hadiah saja buat
yang menang?” Celetuk Re yang mulai risau. Dan sebagai orang yang tak pandai
main kartu ia bisa saja memanfaatkan kelemahannya sebagai tameng untuk selamat
dari ide gila ini. “Bisa saja kan, kalian malah pura-pura mengalah demi bisa
dapat hukuman itu.”
“Masuk
akal juga. Atau biar lebih adil kita ganti permainan dengan cara
tinggi-tinggian nilai kartu. Kita akan mengambil kartu secara acak. Bagi yang
memenangkan permainan lima kali berturut-turut, dialah si pemenang. Bagaiman?
Setuju? ” Anggi memberi saran dan di balas anggukan semua anggota kecuali Re.
Re mendapat firasat tak enak dan hanya bisa menelan ludah yang terasa begitu
serat.
Semua
setuju dengan ide gila Iqbal. Satu persatu mengeluarkan uang taruhannya.
Terkumpul 250.000 rupiah, cukup untuk sekali show, pikir mereka. Mereka pun membentuk lingkaran mengelilingi
kartu yang di di tebar asal di tengah. Satu-satu mereka segera mengambil
selembar kartu. Wajah mereka terlihat begitu tegang, menggenggam kartunya
masing-masing.
“Okey,
mari kita buka.” Ujar Irawan ringan. Semua tahu Irawan sang penakluk
perempuan-perempuan kampung itu sepenuh hati menginginkan hadiah kali ini.
Dengan semangat ia membuka kartunya di lanjutkan dengan yang lain. Dan sial
bagi Re. Kartunya memenangkan permainan di awal. Semua semakin tegang.
Kartu
kedua, Iqbal tersenyum cabul, kartunya menang. Kartu ketiga, Dani hanya
tersenyum cengengesan, dia menang
namun semua tahu dia tak menginginkan hadiah itu sama sekali. Permainan terus
berlanjut mencari siapa orang yang bisa memenangkan permainan lima kali
terlebih dahulu. Kartu keempat, kelima dan seterusnya.
Anggi
dan Re memegang kandidat saat ini. Siapa diantara mereka yang akan dapat kartu
terbesar sekali lagi maka akan keluar menjadi pemenang dan berhak tidur di
hotel murah di Bandar baru – kota kecil di dekat Sibolangit yang sudah terkenal
sebagai red distric di kawasan ini,
lengkap bersama seorang perempuan yang akan menemaninya melepas impian setiap
lelaki dewasa.
Firasat buruk ternyata benar mengutuknya.
Kemenangannya menghentikan permainan mereka. Kelima temannya tersenyum penuh
kepuasan dan kejahilan. Re curiga kalau mereka memang menginginkannya untuk
menang. Temannya mengucapkan selamat seolah ia memenangkan hadiah paling bodoh
sedunia. Shit!, batinnya.
“Saatnya
ngebuktikan semuanya Re! Malam ini kau akan resmi menjadi the real man, lelaki dewasa yang sebenarnya!” ujar Anggi yang
langsung mengangkat botol berisi tuaknya tinggi. “Cheers! Selamat belah duren untuk sobat kita Re!” sambutan
kemenangan dari Anggi menyamarkan ejekan. Dan di sambut yang lain dengan
kata-kata yang berlagak heroik untuk seorang Re si pemenang yang menunggu waktu
menjadi si pecundang.
“Tunggu
guys! Bagaimana kalau hadiah istimewa
ini aku hadiah kan untuk seorang diantara kalian saja?” Potong Re seketika.
Matanya memandangi satu persatu teman usilnya itu dan berhenti di Iqbal.
“Sepeti Iqbal mungkin? Dia berhak dapat kehormatan ini.”.
“Jangan
bilang lo takut Re?” Celetuk hari dengan tatapan penuh maksud.
“Bukan,
bukan seperti itu. Bagaimana dengan Anggi? Dia adalah runner up yang juga berhak dapat hadiah.”.
“Wow!
sorry bro, permainan tetap permainan.
Kita semua sudah sepakat bukan? Ah, jangan bilang kau takut melakukannya?” Elak
Anggi.
Re
terdesak. Buntu tak tahu harus bagaimana. “Ayolah, bukannya lebih baik kita
habiskan uang ini untuk senang-senang bersama? Makan di restoran minang di
Bandar baru mungkin?” Re masih berusaha mengelak dari kutukannya dan langsung
menatap Dani, isyarat meminta tolong. Dani kawan terdekatnya, satu-satunya
sekutu yang teramat di butuhkannya saat terdesak seperti ini.
”Sorry Re, this momment i can’t be your
allience. Permainan tetap permaian.” Bahkan Dani pun, satu-satunya aliansi
yang dia kira bisa menyelamatkannya justru berhianat memihak yang lain.
“Ooohh!
Come on guys! Bukannya aku takut.
Tapi bayangkan kalau uang ini kita gunakan untuk yang lain, akan lebih berguna,
bukan?!” bela Re.
“Permainan
tetap permainan Re. Atau lo mau kawan-kawan di kampus tahu lo ingkar janji dan
di sebut pegecut cuma gara-gara lari dari hukuman, oh sorry... hadiah lo,
maksudku.” Ujar Iqbal yang kini benar-benar berubah menjadi iblis yang membuat
Re merasa terancam.
“Ayolah
Re. Lo akan jadi pahlawan. Kapan lagi lo harus pertahani perjaka lo? Wong tinggal masukkan aja kok.” Bujuk
Irawan.
“Dan
tinggal goyang.” Tambah Hari yang memeragakan adegan tak senonoh dengan
gitarnya, menambah geram emosi Re.
“Okey, okey!” Senyap seketika. Re melirik
satu persatu temannya yang seolah berbalik arah menjadi musuh yang menikamnya
mentah-mentah. “Ayo kita ke Bandar baru. Akan ku buktikan kalau aku bukanlah
pengecut seperti kalian!” Ucap Re lugas bercampur rasa jengkel, yang disambut dengan
sorak sorai cecunguk-cecunguk cabul. Sekali lagi, botol-botol berisi tuak itu
diangkat tinggi. Cheers!!
Sore itu juga mereka segera bergegas
merapihkan semua perlengkapan camping
mereka. Seusai menyantap makan sore mereka- nasi putih plus mie instant rebus yang sengaja di rebus dengan ekstra kuah
hingga mie mengembang sesubur cacing tanah yang hidup makmur di kubangan
lumpur. Semua perlengkapan mereka titip di warung bang Lubis. Enam sekawan itu
pun turun ke kota.
Bandar baru adalah kota kecil yang sudah
terkenal dengan kegiatan prostitusinya. Terletak tak jauh dari Bumi perkemahan
Sibolangit, Re dan kawan-kawan hanya perlu berjalan setengah jam dari hutan
menuju kota.
Kota kecil yang sejuk, yang terletak dataran
menanjak perbukitan tanah karo. Ya tentu saja penduduk asli disini adalah suku
batak karo, sedang yang lainnya adalah pendatang yang kebanyakan adalah suku
jawa dan minang. Disana ada banyak restoran, mulai dari restoran jawa minang
yang halal sampai yang paling khas, restoran BPK kita menyebutnya. Rumah Makan
Ula Lupa, sedia B2 dan B1 panggang, Begitu yang tertulis plang restoran itu. BPK
adalah kepanjangan dari Babi Panggang Karo, B2 adalah babi dan B1 adalah biang
yang berarti anjing.
Di bandar baru juga ada pasar tradisional
yang buka hanya setiap rabu. Pasar yang juga banyak menjual bunga segar dan
perlengkapan nyirih ini sering
dijadikan tempat pengisian perbekalan logistik para pendaki yang hendak
bertenda di Sibolangit dan tak mau repot-repot membawa perbekalan dari kota
pusat.
Rumah-rumah peristirahatan dan
bungalow-bungalow yang di cat warna-warni berbaris sepanjang jalan tepi bukit
yang terus menanjak dan berliku. Nah, di salah satu bungalow ini lah Re akan
melepas perjakanya dengan seorang perempuan bayaran seperti yang mereka rencanakan.
Girimis halus menemani perjanan mereka,
mengusir kabut yang biasa turun saat petang seperti ini. Rumah-rumah yang di
cat dengan warna-warna cerah itu terlihat lebih mirip taman kanak-kanak
ketimbang rumah bordil. Mereka bergerak cepat di trotoar jalan yang sudah di aspal
bagus dan terlihat semakin hitam pekat karena gerimis.
Di depan sebuah rumah dengan plang bertulis :
Karona Bungalow, mereka celingak celinguk cekikikan sedang Re semakin tak dapat
menutupi rasa kawatirnya. Dengan langkah yang meragu, Re tetap melangkah
mengikuti teman-temannya yang berjalan semangat di depannya. Tak jauh dari
sana, seorang laki-laki berumur tiga puluhan berperawakan gempal dan lucu,
menghampiri mereka.
“Pada mau main semua nih?” Tanyanya dengan
senyum penuh maksud yang mengembang licik di wajahnya.
“Gak bang, kita cuma ngantar teman kita aja.”
Iqbal segera menarik tangan Re dan menepuk punggungnya. “Ini nih jagoannya.
Tampilannya sih boleh kutu buku, tapi kalau ngisap kaya kutu rambut.” Candanya.
“Oke oke. Jd mau yang gimana nih? Kita punya
yang ayu-ayu dari jawa juga. Murah, plus kamar sekalian deh buat malam ini. Tp
pagi-pagi jam 7an udah harus cabut, mau gak?” Tawaran sang makelar ayam.
“Tuh, dengar Re, Ayu-ayu! Gak perlu takut lo
sama nande-nande yang nyirih.
Hahahaha...” goda teman-temannya yang melihat Re tak dapat menutupi gugupnya.
“Maklum bang, ini pertama soalnya.”
“Gak apa, udah sering kok anak-anak mahasiswa
yang camping datang kesini. Sebentar
bapak panggilkan ceweknya ya. Atau mau pilih sendiri aja nih?”
“Gak usah bang, bawa aja yang paling cantik
dan anyar.” Celetuk Iqbal tanpa meminta persetujuan Re terlebih dulu. Si
makelar ayam pun berlalu, menjemput calon malam pertama untuk Re. Dalam hati,
Re tak henti memaki Iqbal.
Melihat air muka Re yang gugup,
teman-temannya kembali mengolok-olok. “Jangan bilang lo takut re? Taruhan
tetaplah taruhan. Toh setelah ini lo kan resmi jadi ketua kita!” mereka pun
tertawa meledek.
“Takut? Gak lah!” Ujar Re menutupi rasa
gugupnya. Tak ingin semakin terpuruk karena ledekan-ledekan mereka.
Tak lama si abang makelar ayam datang dengan
seorang perempuan berwajah lembut namun menggoda. Tubuhnya di balut kaus tak
berlengan berwarna merah menyala tipis sewarna dengan warna merah yang
menggaris di bibir tipisnya. Dandanan yang kontras dengan umurnya, begitu
perkiraan Re. Wanita muda itu pun menyalami satu-satu para buaya darat muda.
Memperkenalkan diri.
“Fani.” Ujarnya singkat.
“Waduh mbak, apa gak kedinginan pake baju
gitu?” Tanya Irawan yang menggoda.
Perempuan itu tersenyum tak kalah menggoda.
“Gak lah bang. Kan bentar lagi mau di angeti
sama abang.”.
Menelan ludah lah semua, mendengar candaan si
perempuan genit itu.
“Jadi yang mana nih yang mau bulan madu sama
aku?” Tanyanya genit. “Atau ke enam enamnya aja sekalian?” Kata-kata si gadis
semakin tambah panas suasana.
“Wah, beruntung nih si Re! Sayangnya kita
sudah kehabisan uang, kalau gak... aaahhhh...” Geram Hari.
“Jadi nih?” Tanya si abang yang mulai gak
betah berlama mendengar becandaan-becandaan anak muda yang keracunan libidonya.
“Jadi! Lo langsung aja Re. Yang lain biar
kita urus. Selamat belah duren ya boss!” Ujar dani, si sahabat yang kini
berbalik berpihak dengan setan-setan lainnya.
Tiba-tiba Iqbal menjabat tangan Re. Disana
terselip sesuatu. Kondom. “Gue bangga sama lo boss. Selamat ya. Untuk pemula,
ada baiknya bermain aman. Hehehe...” Seringainya membuat Re jengah.
Gerombolan itu pun berlalu meninggalkan Re
bersama si taruhan, Fani. Re semakin gugup dan tahu harus berbuat apa. Ia
menyalakan rokok yang sedari tadi ingin ia nyalakan. Mengisapnya dalam-dalam.
“Oh, ini toh yang mau main sama aku. Pantas
keliatan gugup.” Segaris merah di bibir Fani mengembang, memamerkan senyumnya
yang cantik. Dia segera meraih tangan Re dan membimbingnya ke satu kamar
berukuran tiga kali tiga. Disana ada kasur lusuh dan kamar mandi yang berlantai
marmer kecoklatan karena usang.
“Begini Fan, sebenarnya ini semua bukan mau
aku. Ini hanya taruhan terbodoh yang pernah kumenangkan. Aku tak ingin... maaf,
melakukannya denganmu.” Ujar Re. Panik melandanya saat wanita cantik itu
menutup pintu kamar.
“Tapi kamu sudah membayar. Dan itu sudah jadi
pekerjaanku. Lantas sekarang kita mau ngapai dong? Duduk-duduk saja?” Tanya
Fani santai, seolah terbiasa dengan sikap pelanggan seperti Re. “Tenang. Toh
aku gak akan telan kamu. Biasanya hanya permulaannya aja yang agak sulit, tapi
selanjutnya toh akan menikmatinya, sama seperti hidung belang lainnya. Boleh
minta rokoknya?”.
Re menyodorkan bungkus rokok yang usang
karena lembab ke Fani. Dengan santai Fani meraih sebatang rokok dan meminta Re
untuk menyalakan api. Fani menghisap rokoknya begitu dalam, dan melepas kepulan
asap yang seketika memenuhi ruangan. Dari luar terdengar suara gerombolan setan
penjerumus Re. Re pun semakin bingung. Ia tak ingin teman-temannya
memperolok-oloknya karena ternyata ia justru takut melakukannya. Tangan di
sakunya meraih kondom yang Iqbal beri dan meremasnya erat. Sial, pikirnya.
Fani yang melihat reaksi Re hanya dapat
menahan geli dan kasihan. Betapa naifnya pria buaya darat di depannya. Umpan
sudah di depan mata, malah sibuk dengan pikirannya sendiri. Ini kali pertama
Fani mendapat pelanggan seperti Re. Ia pun merasa kasihan.
“Oke... aku akan bantu kamu. Tapi bagaimana
pun, kamu harus membayar lebih untuk kemunafikan kamu ini. Bagaimana? Yang
penting kamu di mata teman-temanmu terlihat gagah karena sudah menggagahiku.”
Bisiknya menawarkan bantuan kepada Re, seraya mematikan rokonya di atas piring
kecil yang di jadikan asbak.
Re hanya terdiam. Bingung dengan kata-kata
yang Fani bisikkan. Membayar lebih?, bahkan sekarang ia terancam miskin karena
taruhan ini, bagaimana ia dapat membayar lebih kepada si biangnya taruhan.
Tanpa meminta persetujuan Re, Fani pun
memulai aksinya menyelamatkan si anak kambing yang kini tersesat bersamanya di
dalam kamar pengap penuh asap rokok. “Oooohhh... Re... Yeahhh... Pelan dikit.
Ya di situ, situ, ehmmm... Arghhh...” Ia berbaring santai, meraung-raung dan
sesekali tersenyum melihat Re yang memandangnya tak lepas. Bahkan mulut re
hampir menganga, matanya tak berkedip melihat Fani yang bergelinjang lembut
memancar nafsu di atas ranjang.
Terdengar suara teman-temanya yang cekikikan,
tertipu suara fani yang semakin menjadi-jadi, semakin kerap meneriakkan nama
Re. Malam semakin dingin Bandar baru, tapi tidak di dalam kamar Re dan Fani. Si
pengantin taruhan yang berderama. Tak lama suara ketawa itu mulai menjauh dari
kamar yang membara itu. Iqbal dan kawan-kawan sudah pergi.
Tinggallah Re yang masih tercengang dengan
apa yang ia lihat di atas ranjangnya. Fani pun menghentikan aksinya, hanya
napas nya yang berpacu terpotong-potong segal, kelelahan. Ya, napas tersegal
yang makin membuat Re merasa panas bukan main. Bagaimana pun dia adalah
laki-laki muda yang juga penasaran dengan hubungan sex. Laki-laki muda yang
masih curi-curi melihat video biru dan banyak membuang sepermanya di toilet. Re
sebisa mungkin menahan bara yang semakin membakarnya. Ia tak ingin lepas
kendali melihat Fani yang semakin gilang gemilang saat berkeringat dan napas
yang terpotong-potong tepat di depan matanya.
“Oke. Tugasku selesai. Rokok?” Ujar Fani.
Tangan lembutnya segera menjulur lebut merogoh kantung celana Re dan meraih
bungkus rokoknya. Menyelipkannya sebatang ke bibirnya dan menyalakannya
kemudian menyelipkannya ke bibir Re yang masih setengah menganga.
“Thanks.”
Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulut Re. “Sejujurnya, aku tak punya uang
lebih untuk bayar kamu lagi. Ini saja,” Re mengeluarkan beberapa lembar uang
pecahan dua puluh ribu kumal dari dalam sakunya. “Ini saja yang kupunya
sekarang. Ini pun harusnya ku gunakan untuk bertahan beberapa hari lagi di
hutan si bolangit. Ambilah.” Re menyerahkan uang itu kepada Fani.
Mendapati uang-uang kumal itu disisinya, fani
malah tergelak. “Memangnya apa yang bisa kuambil dari hidung belang bau kencur
seperti mu. Ambil kembali uangmu itu, aku masih punya cukup uang.” Dengan
santai tangannya kembali menjulur mengambil bungkus rokok, mengambil sebatang
dan menyalakannya. Kali ini untuknya sendiri. Ia hisap perlahan namun dalam,
sambil memikirkan bayaran apa yang pantas untuk pejantan mudanya.
Re melepas ransel hitam kecilnya yang lusuh
dan jaketnya, berniat untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah karena
ketegangan yang terjadi sepanjang hari ini. Ia baru tersadar kalau sejak tadi
ia masih mengenakan tas dan jaketnya. Dan segera beranjak menuju kursi rotan
tipis di samping kasur.
“Gak perlu pindah. Kamu baringan di kasur
saja. Aku gak akan perkosa kamu.” Fani menghentikan langkah Re, yang kembali
terduduk diatas kasur. “Apa yang kamu bawa dalam tas itu?” Tanya Fani iseng.
“Buku. Hanya beberapa buku dan beberapa
perlengkapan camping biasa.”.
“Buku? Buku apa? Kamu mau belajar atau
berkemah sih sebenarnya.” Goda Fani.
“Buku-buku biasa. Gak ada yang istimewa.”.
“Bacakan satu cerita untukku. Tentang seorang
yang ingin pulang kerumahnya. Tentang kerinduan yang memaksa untuk terus
berjalan jauh.” Ujar Fani asal, sambil tetap menikmati rokoknya tanpa menoleh
ke arah Re. Pikirnya jauh melayang terbawa asap rokok yang mengambang di atas
wajahnya.
“Dorothy
of Oz. Dorothy si pencari Oz.” Tiba-tiba satu judul cerita kelasik meluncur
begitu saja dari mulut Re.
“Apa saja. Ceritakan padaku.” Fani terhenyak
dan segera menindas batang rokoknya diatas piring kecil yang mereka anggap
asbak. Ia tertarik.
“Maaf, tapi aku bukan pencerita hebat.” Elak
Re yang juga mematikan batang rokoknya yang mulai susut terhisap.
“Tapi kamu masih punya hutang denganku.
Ceritakan cerita yang kau katakan tadi.”.
“Aku tak memiliki bukunya.”.
“Terserah. Aku ingin mendengarnya.” Paksa
Fani.
Re terdiam sejenak, menatap wajah nakal Fani
yang entah mengapa seolah mata itu berubah lunak dan rapuh. Wanita itu sangat
ingin mendengar cerita tentang Dorothy dan Oz.
“Oke. Anggap saja ini adalah bayaran dari
jasamu yang rela berlelah-lelah menyelamakanku. Aku akan berusaha menceritakan
semua yang ku ingat dari cerita ini.”.
“Oke. Ceritakan.” Ujar Fani yang sekarang
serius menatap Re.
Re mulai mengambil posisi nyaman di atas
kasur, tepat disamping Fani. Menarik napasnya dan mulai bercerita. “Cerita ini
bermula dari gadis kecil Dorothy dan anjing kecilnya Toto yang terbang terbawa
angin puting beliung hingga terpisah dari rumah dan kedua orang tuanya.” Cerita
Re kepada Fani.
“Lanjutkan.” Gumam Fani, menatap Re lekat.
“Kemudian tersesetlah mereka di sebuah negeri
di balik pelangi yang di beri nama negeri Oz. Dorothy dan Toto punya tugas
untuk menemukan penyihir hebat Oz untuk meminta pertolongannya, mengembalikan
mereka ke rumahnya. Sepanjang perjalanan mereka bertemu banyak teman yang
bertujuan sama, yaitu bertemu dengan penyihir Oz. Mereka pun bersama bertualang
melintasi hutan-hutan, bukit-bukit Oz demi mimpi mereka masing-masing.”.
“Tak perlu terburu-terburu. Ceritakan
perlahan.” Gumam Fani.
Sesaat sebelum Re melanjutkan ceritanya, ia
menatap mata hitam Fani yang terlihat berbeda dari Fani yang sebelumnya.
Matanya seolah ingin bercerita banyak juga. Mungkin tentang kerinduan yang juga
ia tanggung. Namun Re lebih memilih untuk melanjutkan ceritanya dari pada
mencari tahu apa yang tersembuyi di tatapan sendu Fani.
“Lanjutkan!” Ujar Fani yang tak sabar.
“Dorothy dan Toto yang ingin pulang. Manusia
kaleng si penebang kayu yang ingin memiliki hati seperti manusia. Manusia
boneka pengusir gagak lugu ingin menjadi seorang manusia. Dan si singa pengecut
yang ingin memiliki keberanian. Perjalanan mereka penuh rintangan mencari Oz
karena seorang penyihir jahat yang mereka sebut si penyihir barat.
Kemudian....” Maka berceritalah Re tentang Dorothy kepada Fani.
Suasana mencair bersama kisah yang bergulir.
Keduanya terlupa dengan apa yang baru saja mereka lalui.
“... Akhirya Dorothy dan Toto pun bertemu
dengan penyihir Oz dan mengalahkan penyihir barat yang jahat dengan bantuan
teman-temannya, manusia kaleng si penebang kayu, boneka pengusir gagak nan lugu
dan si singa pengecut. Mereka pun meminta penyihir Oz untuk mengabulkan
permintaan mereka masing-masing yang tanpa mereka sadari mereka telah
mendapatkannya di dalam diri masing-masing saat mereka melakukan perjalanan
itu. Si manusia kaleng tak harus memiliki hati seperti manusia karena dia telah
memiliki kasih. Si boneka pengusir gagak tak perlu manjadi manusia karena ia
memiliki sifat yang jauh lebih mulia dari manusia. Si singa pengecut juga tak
perlu meminta keberanian dari penyihir Oz karena dia sendiri telah mengalahkan
ketakutannya sendiri. Sedangkan Dorothy dan Toto...” Re menghentikan ceritanya
sejenak, mendapati Fani yang terhanyut oleh ceritanya. Seperti seorang gadis
kecil lugu mendengar cerita penghujung tidurnya.
“Bagaimana dengan Dorothy? Akhirnya penyihir
Oz mengabulkan permintaannya, dan dia pulang, bertemu dengan orang tuanya?
Lanjutkan Re!” pinta Fani tak sabar.
“Akhirnya Dorothy sadar betapa ia sangat
menyayangi kedua orang tuanya. Dan penyihir Oz pun memulangkan mereka. Demikian
akhir petualangan Dorothy di negeri Oz.” Re pun menydahi ceritanya dengan
senyum penuh kepuasan.
“Bahagianya mereka.” Suara Fani terdengar
parau. Matanya mulai meneteskan air mata. Ia menangis penuh haru dan membuat
senyum Re berubah menjadi panik.
“Fan, kamu knapa? Kok malah nangis?” Tanya Re
yang kebingungan melihat si gadis kecil berubah menjadi wanita berduka di
ranjangnya. Sesaat senyap menyelimuti mereka. “Maaf kalau ceritaku malah
membuat kamu sedih.” ujar Re, mencoba menenangkan Fani.
“Gak apa. Aku hanya kangen rumah.” Matanya
terus mengeluarkan air meski senyum terus menggaris di bibirnya. Air matanya yang
membuat maskara yang menempel tebal di bulu matanya meluntur.
Di malam dingin dan sunyi itu, akhirnya Fani
menceritakan banyak hal kepada Re. Tentang mimpi-mimpinya, tentang kerinduannya
akan kampung halaman. Sejak awal Re menduga kalau Fani jauh lebih muda dari
tampilannya. Gadis muda asal jawa timur itu pun akhirnya bercerita banyak tentang
perjalanannya mencari kehidupan yang lebih layak, hingga akhirnya terjabak di
dunia hitam yang sekarang digelutinya.
Fani pernah menjadi buruh pemecah batu sungai
di kampung halamannya. Setelahnya ia di kirim agen tenaga kerja ke medan, dan
di pekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah keluarga keturunan.
Disanalah ia kehilangan keperawanannya. Ya, tuannya merenggut semua impiannya.
Ia melaporkan semua perbuatan si tuan kepada si nyonya, tapi percuma, si nyonya
justru menutupinya. Sepercuma laporannya kepada pihak yang berwajib. Tak ayal
fani hanya menjadi bulan-bulanan wartawan surat kabar kota yang terkadang lebih
mementingkan berita yang di terbitkan, ketimbang perasaan si korban.
Kehabisan akal menyembunyikan rasa malunya,
Fani pun memilih untuk tak lagi ikut dengan agensi lintah itu. Ia bekerja
serabutan, hingga suatu hari ada seorang teman yang bekerja di salon
menawarkannya pekerjaan di satu desa
yang katanya kurang lebih seperti kampung halamannya. Ya, sekarang disinilah
Fani, Bandar baru. Tak pernah ia duga sebelumnya akan bekerja seperti ini,
namun toh tak ada lagi kehormatan yang harus ia jaga lagi, pikirnya.
Nasib sial Fani si anak kampung miskin yang
tak pernah menikmati indahnya masa-masa kecil, menyenangkannya masa-masa
sekolah. Ia hanya lulus kelas satu sekolah dasar, ia berhenti ditengah semester
bangku kelas dua sekolah dasar. Ia harus membantu ibunya yang seorang janda
yang bekerja sebagai buruh untuk menghidupi kedua adik yang juga masih
kecil-kecil.
Ini adalah tahun kelima untuk Fani. Ia pernah
mencoba menulis surat untuk keluarga nun jauh di perkampungan di pulau Jawa
sana dengan bantuan temannya, karena fani tak memiliki kemampuan membaca tulis,
tapi percuma, surat-suratnya tak pernah mendapat balasan. Ia juga pernah
mencoba menghubungi tetangganya di kampung, namun belakangan nomor yang ia
selalu hubungi pun tak dapat di hubungi. Fani patah arang. Ia kehilangan
semangatnya.
Rindu yang ia tanggung tak tahu lagi sudah
sebesar apa. Saat ini tak ada yang lebih besar daripada mimpinya untuk pulang.
Kerinduan akut yang kini memenuhi bunga tidurnya di malam-malam sepi. Namun
kerinduannya selalu terhalang ketakutannya akan rasa malu yang sudah tak
tertanggung lagi. Fani tak akan pernah membiarkan aib ini diketahui oleh
keluarga yang amat ia rindukan.
Re hanya tertegun mendengar cerita Fani,
Dorothy dalam nyata. Merasa iba karena ternyata perempuan itu menanggung beban
rasa yang teramat dalam. Ternyata wajah Fani jauh lebih muda dan cantik
sekembalinya dia dari toilet untuk membersihkan dandanan yang telah berntakan
di wajahnya. Senyumnya juga terlihat lebih polos dari pada senyum sebelumnya.
Sungguh keadaan kadang dapat merubah orang sebegitu rupanya. Rasa bersalah
terbit di hati Re, yang sudah sempat berpikiran tak baik terhadap Fani.
“Re... Aku juga mau cari si penyihir Oz. Biar
aku bisa pulang tanpa rasa bersalah yang menghantui ini.” Gumam Fani,
merebahkan tubuh mungilnya diatas kasur di samping Re.
“Sama... Aku juga mau cari si penyihir Oz.
Biar aku gak harus membabi buta terburu-buru dewasa biar disangka hebat.”.
Terdengar suara tawa pelan dari Fani membuat
Re juga tersenyum, menyadari betapa kalapnya ia mencari makna kedewasaan.
“Terima kasih buat ceritanya Re. Aku tahu,
kamu anak yang baik. Jangan terburu-buru, nikmati saja.”.
“Ya, nikmati saja.” Tawa Re mengambang.
“So... Masih gak mau nyoba jadi jagoan dengan
meniduriku? Kondomnya mubazir loh.” Goda Fani, sedikit mengejek.
“Hahaha. Gak, makasih Fan. Kamu boleh
istirahat. Aku disini, gak akan buat apa-apa, jangan kawatir.”.
Re pun melorotkan tubuhnya yang kucel.
Disampingnya Fani terpisah guling tebal yng menganggur. Mereka hanya melempar
senyum. Canggung masih menggantung di senyum Re membuat Fani tak lagi dapat
menahan rasa geramnya. Sigap fani menghampiri Re yang terpaku, tak sempat
berbuat apa-apa saat Fani mendaratkan ciumannya di pipinya dan langsung kembali
ke posisi semula, memunggungi Re dan akhirnya terlelap.
Sedang Re. Lelaki kencur itu tak mampu
memejamkan matanya. Barusan adalah yang pertama untuknya. Tak tahu apa namanya,
tapi semua rasa bercampur aduk. Yang ia sadari ada bahagia disana. Re telah
bertransformasi.
* * *
Bangun pagi jam 7 di tempat sedingin Bandar
baru adalah siksaan. Namun Re tak boleh lebih lama disana, sesuai perjanjian
dengan si makelar ayam, ia pun beranjak meninggalkan Fani yang masih tertidur
pulas di kasur tipisnya. Beberapa detik sebelum ia beranjak meninggalkan kamar
itu ia memperhatikan wanita yang nyenyak dibalut kerinduan itu. Hatinya berdoa
tulus untuk Fani.
Sepanjang perjalanannya menuju hutan tempat
teman-temannya yang bergosip, memperolok-olok tentangnya, Re tak henti
membayangkan Fani. Ia berniat, suatu hari ia akan kembali untuk memberikan
sesuatu untuk perempuan itu.
Malam terakhir mereka di habiskan dengan
merayakan hilangnya keperjakaan Re. Setidaknya itu yang teman-temannya pikir.
Semua menagih cerita tentang pengalamannya menjadi pengantin semalam, maka
semakin membuallah Re dengan bakatnya mengarang, lantas bersulanglah mereka
antara riak suara arus sungai dan suara serangga malam yang bersarang di
pepohonan yang menjulang mengelilingi tenda tempat mereka besenda gurau.
Rintik gerimis masih terus membasahi. Di
dalam hutan lembab itu, jauh dari semuanya Re masih mengenang Fani, si hadiah
taruhan.
* * *
Cukup tiga hari untuk Re dapat menjadi
pahlawan diatara teman-temannya. Ceritanya mendadak populer diantara
teman-teman di kampus. Re sendiri tak begitu nyaman dengan cerita tentangnya
yang otomatis memberinya gelar ganda sebagai playboy.
Satu bulan setelahnya, gang Iqbal dan kawan-kawan mulai di sibukkan dengan kegiatan
perkuliahan. Sejak awal mereka memang meniatkan diri untuk menjadi anggota
pecinta alam di kampus. Maka terdaftarlah mereka sebagai calon anggota
Mahasiswa Pecinta Alam atau yang biasa disebut Mapala. Sebagai anggota yang
belum resmi di lantik maka mereka wajib mengikuti pelantikan anggota Mapala
yang diadakan di Bumi Perkemahan Sibolangit yang berarti mereka akan kembali
lagi ke Bandar baru.
Kegiatan pelantikan akan di laksanakan empat
hari tiga malam di Sibolangit. Tak seperti biasa setiapkali mereka camping, kali ini mereka terikat oleh
peraturan-praturan dan tata acara yang telah di siapkan senior mereka. Hari-hari
mereka disana pun di isi dengan semua kegiatan yang terasa begitu membosankan.
Perjalanan menyusuri sungai, permainan-permainan khas anak-anak pramuka dan
ceramah-ceramah yang membuat mereka selalu bergadang. Hampir tak ada kegiatan
yang bisa membuat mereka lebih menikmati suasana sekeliling.
Dalam kesempatan ini, Re berniat untuk
menyerahkan sebuah hadiah yang ia beli khusus untuk Fani. Sebuah buku cerita
bergambar full warna berjudul Wonderful World of Oz. Ya, kisah Dorothy
di Oz. Sengaja ia membeli cerita bergambar, agar Fani dapat memahaminya. Kasian
wanita muda itu, dia tak pernah punya kesempatan untuk menikmati bangku
sekolah, pikir Re. Re harap hadiah kecilnya dapat menghibur hari Fani yang
teramat merindu rumah.
Bahkan di hari-hari terakhir acara pelantikan
itu, panitia membuat acara api unggung bersama sebagai ajang temu ramah
terakhir kalinya sebelum kembali ke kampus. Re risau, tak sabar ingin cepat
memberikan hadiah kecilnya kepada Fani. Hadiah kecil yang akan d berikan oleh
Re bukanlah sesuatu yang istimewa mungkin. Fani pasti lebih membutuhkan sesuatu
yang lebih daripada sekedar buku cerita, ia bukan gadis kecil lagi, tapi
setidaknya ia akan sedikit terhibur dengan buku ini, pikir Re.
Waktu beranjak senja. Dan senja di tengah
hutan terasa begitu gelap, sudah seperti malam saja. Re dan rombongan pecinta
alam itu sengaja mendirikan tenda tak jauh dari air terjun dua warna yang
berada tepat di kaki gunung sibayak. Mereka berjumlah 30 orang yang terbagi
beberapa tenda besar yang berdiri paksa diantara bebatuan dan pepohonan yang
menumbuhi lembah.
Air terjun berwarna putih bergradasi biru
kehijauan, berdiri megah menghujam lembah. Warna putihnya disebabkan serbuk
sulfur gunung Sibayak yang terbawa arus sungai lereng hingga kedalam hutan ini
dan biru kehijauan adalah sejati warna sungainya. Indah dengan rupa dan cerita
misteri dari penduduk setempat membentuk pesonanya sendiri. Setidaknya tiga jam
perjalanan dimedan yang senantiasa lembab dan tak rata, air terjun dua warna
menjadi incaran para pecinta alam yang haus petualangan. Semua lelah akan
terbayar dengan keindahan alam yang tersaji di lembah lereng Sibayak.
Malam baru saja turun. Api unggun telah siap
di tengah-tengah. Semua peserta mengeliling api dan memulai acara temu ramah
dengan berbagai cerita dan permainan yang melibatkan semua peserta. Malam terus
melarutkan mereka dalam suasana yang semakin santai. Sebagian dari peserta
sudah balik ke tenda masing-masing, tak kuasa menahan kantuk. Hanya Re dan
beberapa teman saja yang tersisa. Mereka bernyanyi bersama alunan petikan gitar
Hari dan bermain kartu seperti yang biasa mereka lakukan. Cuma kali ini
taruhannya tak begitu menantang. Siapa yang kalah mukanya akan di coret pakai arang.
Waktu semakin larut, menghabiskan api unggun
yang kini tinggal bara. Di tengah permainannya, tiba-tiba Re merasa tak kuasa
lagi menahan bara panas yang bergejolak di perutnya.
“Kenapa lo?” Tanya Iqbal datar.
“Iya nih... aku ke sungai dulu deh.” Re
segera beranjak.
“Yakin lo ke sungai sendiri? Gue sih gak
takut sama setan, Cuma biasa kalau malam hari banyak hewan penghuni hutan tuh
malah berburu di sungai. Ya hati-hati aja lo, kalau-kalau ketemu harimau.”
Jelas Iqbal menakut-nakuti tanpa menoleh menatap Re, terlalu sibuk dengan
kartunya.
Re hanya tersenyum masam. Ia tahu Iqbal
bahkan jauh lebih penakut dari pada anak sekolahan. Biasanya kalau hal sama
terjadi padanya, Iqbal akan lebih memilih menuntaskan hajatnya diantara rimbun
semak belukar yang tak jauh dari tempat mereka mendirikan tenda. Menjijikkan.
Bara di perutnya tak mungkin lagi untuk
ditahan. Maka Re semakin terdesak. Berbekal hanya dengan senter kecil, ia pun
menyusuri jalan yang menurun menuju sungai yang bergemuruh bunyinya. Suasana
disana hanya pekat. Bahkan cahaya dari senter pun tak dapat menembus pekat. Di
balik gemuruh arus yang menghantam bebatuan sungai terdengar suara burung malam
dan hewan-hewan lain yang tinggal di hutan sibolangit. Tak tertahankan lagi, ia
pun segera menuntaskan hajatnya.
Seusainya, Re malah melambat, ia tak ingin
cepat-cepat meninggalkan sungai yang sempat membuat nyalinya ciut, kini malah
membuatnya merasa begitu damai. Ia terduduk di sebuah batu, mencoba menghayati
orkestra alam di tengah gelap perut hutan. Tak ada lagi rasa takut dalam
dirinya, yang ada hanya rasa syukur dan takjub. Tak lama mata Re menangkap
sesuatu yang berkilauan melayang di atas air. Seperti titik cahaya
berkedip-kedip lembut. Kunang-kunang, pikirnya. Tak lama cahaya itu semakin
banyak berhamburan, puluhan bahkan ratusan mungkin. Mungkin saja sejak tadi kunang-kunang
itu memang disana, cuma Re saja yang terlalu sibuk hingga tak memerhatikannya.
Sekali lagi alam menunjukkan keindahannya
bahkan di balik gelap seram malam. Dan untuk kesekian kalinya Re terpukau dibuatnya.
Kunang-kunang itu beterbangan memenuhi sepanjang garis sungai. Sungguh pertunjukan
mahal dan langka, orkestra alam yang mengalun indah sekaligus mistis.
Saat Re terpana di hipnotis oleh pemandangan
super indah yang tersaji di hadapannya, tiba Re mendengar suara riak air,
seperti langkah melawan arus sungai dari seberang tempatnya terpaku. Dengan
cekatan Re segera siaga. Ia segera mengarahakan senter kearah seberang sungai,
tepat di hadapannya. Matanya menyipit berusaha menembus gulita yang begitu membutakan.
Jantung Re berpacu semakin kencang bersama riak langkah yang terus mendekat.
Bayang itu semakin lama semakin mendekat
hingga akhirnya Re tak dapat mempercayai penglihatannya. Sosok wanita yang ia
kenal berdiri disana, hanya ia terlihat lebih polos dari pada yang pernah ia
kenal.
“Fani?” Sapa Re ragu.
“Hai Re. Maaf mengejutkanmu.” Ujar wanita
yang disangka Fani itu.
Seorang wanita kini duduk berhadapan langsung
dengan Re. Sosok Fani yang terlihat jauh berbeda dengan yang pernah ia lihat.
Fani yang ia lihat sekarang jauh lebih cantik. Tak ada dandan yang berlebihan
menutupi wajahnya. Lebih aneh lagi, Fani menggunakan kebaya putih serta kain
batik yang ia kenakan sebagai bawahan, sungguh padanan yang tak terpikirkan
untuk berjalan di belantara hutan. Pemandangan yang teramat janggal untuk Re.
“Fan, Kamu sedang apa disini? Ini hutan,
sudah malam, bahaya!” ujar Re setengah membentak.
“Panggil aku Kinar Ayu. Stefani hanya nama
yang di beri si cukong lendir untukku.” Ia tersenyum lembut. Begitu cantik, mempesona
Re.
Kinar Ayu, sungguh nama yang pantas untuk
bidadari yang duduk dihadapannya sekarang, bisik Re dalam hati. Rasa aneh masih
terasa, namun seolah tersaput rasa kagumnya, Re terbuai.
“Kok jadi melamun. Kenapa? Kamu ragu aku ini
nyata?.” Ujar wanita cantik itu, seraya tertawa kecil mencoba menebak isi
kepala lelaki lugu di depannya. Perlahan tangan lembut nan hangat wanita itu
menyentuh wajah Re yang masih kehilangan kata-kata dan semakin tak dapat
berkata-kata. “Masih ragu?” Kinar meyakinkan. Melihat reaksi kaku Re lantas ia
membasahi tangannya dengan air sungai yang melintas di antara kaki mereka dan
menyipratkan ke arah Re. “Re... sadar!” Ambeknya.
Re tersadar dan menepis percikan air dari
jemari Kinar. “Yah, aku masih merasa aneh aja, sedang apa kamu disini, Fan?
Maaf Kinar.” Ralat Re.
“Melihat pertunjukan kunang-kunang yang kau
lihat tadi. Kenapa aneh? Gak boleh ya?” jawab Kinar santai.
Masih banyak hal-hal aneh lain yang
menggantung di benak Re namun begitu cepat terabaikan oleh obrolan Kinar yang
bercerita banyak tentangnya mencari Oz, mencari jalan untuk dia pulang. Re
hanya berusaha menjadi pendengar yang baik. Mudah saja, karena wanita cantik
diantara kunang-kunang yang sekarang ada di depannya ternyata punya mata yang
tak kalah cantik dari kerlip kunang-kunang. Mata yang dulu menyimpan sejuta
rindu kini seperti telah melepas semua kerinduan yang menyiksa itu.
Mengisyaratkan bahwa Fani yang tersesat telah pulang dan menjelma kembali
menjadi Kinar. Fani atau Kinar jelas terlihat berbeda di mata Re. Seolah Fani
yang ia kenal bermetamor menjadi sosok Kinar yang lebih dewasa.
Kinar bercerita, kemarin ia pergi ke hutan
ini untuk sekedar membunuh kejenuhan bersama teman-temannya. Pengalaman pertama
untuknya, menghabiskan malam di hutan hijau dan betapa ia mencintai tempat ini.
Kinar juga mengaku rindu dan sedikit marah dengan Re yang meninggalkannya tanpa
apa-apa bahkan untuk sekedar salam perpisahan. Cerita Dorothy yang mencari Oz
untuk membantunya pulang terus terpikirkan olehnya. Sungguh gadis yang polos,
pikir Re. Kerinduan yang teramat membuatnya menjadi gadis pemimpi.
Cerita Kinar akan Oz mengingatkan Re akan
hadiah kecil yang telah ia siapkan untuk wanita itu. Tiba- tiba tak sabar ia
ingin menyerahkannya, namun Kinar menahannya, masih ingin menikmati pertunjukan
kunang-kunang katanya.
“Makasih Re.” Tiba-tiba Kinar menggumam.
“Untuk?” Tanya Re singkat.
“Untuk ceritanya,” Kinar tersenyum amat
manis. “Bahkan aku bermimpi indah malam itu, seusai kau bercerita. Entah sudah
berapa lama aku tak pernah bermimpi indah seperti saat itu.”.
“Itu hanya cerita, tak lebih. Kau juga telah
menyelamatkan ku. Apa jadinya jika teman-teman ku tahu saat itu kita tak
berbuat apapun.”.
“Yah... Bayaran yang setimpal. Terima kasih
Re.” Perlahan Kinar meendekatkan wajahnya yang pucat dan meninggalkan jejak
hangat bibirnya di pipi Re. Lembut dan tulus.
Sesaat terdengar suara teriakan memanggil
manggil nama Re dari arah tenda berdiri. Menyadarkan Re bahwa sudah lama ia
berada di tepi sungai ini.
“Oh, teman-teman. Mereka pasti kawatir.
Sebentar, tunggu aku disini. Aku punya sesuatu untukmu, ku harap kau suka.”
Kali ini Kinar tak dapat lagi menahan langkah Re yang berlalu meninggalkannya.
Re disambut dengan teman-temannya yang sudah
panik karenanya. Muka para senior terlihat jengkel melihat Re yang cuek
melangkah masuk langsung menuju tenda dan membongkar tas punggung besarnya.
Mencari-cari hadiahnya untuk Kinar.
“Kemana saja kau?” tanya seorang senior
kepada Re yang terlalu buru-buru.
“Oh, maaf kak. Aku hanya duduk bersama
seorang teman lama di tepi sungai. Maaf, tapi aku harus memberikan buku ini
kepada nya.”
“Seorang teman?” belum sempat si senior
bertanya lebih banyak, Re langsung berjalan kembali ke tepi sungai untuk
menyerahkan buku didalam genggamannya ke Kinar. “Jangan lama!” teriak si senior
di kejauhan.
Dan betapa terkejutnya Re saat ia sampai di
tepi sungai. Tak ada siapapun disana. Hanya senter kecil yang ia sengaja
tinggal, sedangkan Kinar tak ada lagi disana. Kinar lenyap bersama pertunjukan
kunang-kunang yang juga usai. Kemana gadis itu, hati Re bertanya. Ia segera
meraih senter kecil yang ia letak diatas batu dan mengarahkannya ke sekililing,
tapi percuma, Kinar tetap terlihat. Wanita itu hulang tak berjejak. Yang
tersisa hanya gelap dan suara malam saja.
“Apa yang kau cari?” tanya seorang senior
kepada Re. Tiba-tiba saja si senior itu ada diatas sana.
“Seorang perempuan. Tadi dia disini...
tadi...” Semua perasaan aneh yang sejak tadi memenuhi benaknya membuat Re
semakin kalud.
“Jangan bercanda! Cepat naik! Kau sudah
membuat panik semua. Ini hutan belantara, tolong jaga sikapmu!” Desis si senior
setengah mengancam.
Re pun menyerah, terpaksa harus mematuhi
perintah dari si senior. Tiba-tiba rintik gerimis turun mengahantar langkahnya
menuju tenda. Di dalam tenda, Re masih terjaga dalam balutan kantung tidurnya.
Banyak hal aneh yang berkecamuk di pikirannya tentang pertemuan singkatnya
dengan wanita yang ia kenal Fani. Tak mungkin mimpi, ini terlalu nyata untuk
menjadi mimpi, bingung masih menyelimutinya. Membuatnya semakin tak sabar untuk
membuktikannya langsung esok hari.
* * *
Saat sinar matahari pertama berhasil menembus
rimbun rimba hutan Sibolangit yang lebat, Re dan romongan sudah siap untuk
pulang. Hutan dipagi hari adalah karya terindah Tuhan yang selalu memancing doa
meluncur dari mulut kita. Titik embun di dedaunan, di lumut, di bebatuan,
berkilauan saat tersapu cahaya matahari. Ditambah suara burung dan dan serangga
penghuni hutan.
Beberapa jam kemudian tibalah mereka di bibir
hutan. Sebagian mereka kelelahan dan memilih untuk beristirahat di kedai-kedai
yang berjajar sepanjang jalan hingga ke gerbang masuk kawasan bumi perkemahan.
Re yang sudah tak sabar lagi pun semakin di buru rasa penasarannya. Lantas ia
pun segera permisi kepada panitia senior untuk memisahkan diri dan langsung
menuju Bandar baru.
Setelah mendapat ijin, hasil dari perdebatan
panjangnya dengan panitia senior, Re pun langsung menuju bandar baru dengan
langkah lebih cepat dari sebelumnya. Ia tak ingin Iqbal dan kawan-kawan ikut
dengannya, hanya akan membuat keadaan semakin kacau saja. Seolah gerimis tak
pernah usai di kota kecil ini. Sekarang pun gerimis kembali menemaninya menuju
wisma Karona, tempat kinar bekerja.
Tanpa ragu, Re langsung masuk menuju meja
resepsi. Disana si bapak ayam sudah menyambutnya dengan muka mesum seperti
dahulu dan langsung bertanya kepada Re.
“Cari kamar dik? Atau teman tidurnya
sekalian?” senyum yang mengisyaratkan godaan itu merekah diwajah si bapak.
“Bapak masih ingat?”.
“Siapa ya? Maaf sudah lupa.”.
Pecuma saja, pikir Re yang memang sudah tak
sabar untuk ketemu dengan Fani. Tanpa banyak berpikir lagi, ia langsung
menyampaikan maksud kedatangannya. “ Saya Re. Saya ingin ketemu Fani pak. Fani ada?”.
“Fani? Fani yang mana? Maaf, sepertinya gak
ada yang bernama Fani disini.”.
Re mulai bingung mendengar pernyataan si
bapak. “Fani... Fani yang malam itu...” tiba-tiba terpikir olehnya nama
perempuan yang mengaku Fani semalam.
“Kinar... Kinar ayu...” Ujar Re sedikit ragu.
Dari wajah si bapak terlihat lebih cerah,
namun kembali mengrut. “Kinar... oh Kinar. Adik ini ada hubungan apa sama
Kinar?” Tanyanya penuh selidik.
Ternyata, nama sebenarnya Fani benar adalah
Kinar, Re tak begitu terkejut, berarti perempuan yang ia jumpai di tepi sungai
benarlah Fani. “Ya benar, Kinar pak. Saya temannya. Saya boleh ketemu sama
Kinar?” Tanya Re.
Seolah mendung tiba-tiba menutupi wajah si
bapak. “Kamu belum dengar keadaan Kinar. Sesuatu terjadi padanya. Sudah sejak tiga
minggu yang lalu, Kinar hilang di telah hutan si bolangit. Dan hingga sekarang
polisi dan tim pencari belum juga memberi kabar ke kita.” Aku si bapak.
Mendangar cerita si Bapak, Re hanya bisa
terdiam terpaku. Ia terseret kembali di momen semalam, saat wanita itu ada di
depan matanya. Fani atau Kinar yang begitu nyata. “Bagaimana bisa pak?” tanya
Re kebingungan.
”Beberapa hari sebelumnya Kinar ikut dengan
teman-temannya untuk pergi bertenda, sekedar menghabiskan semalam piknik di
tengah hutan. Namun ia selalu bercerita tentang sebuah dongeng penyihir, dan
dia merasa harus menembus hutan lebat untuk dapat menemui si penyihir yang akan
membantunya nanti. Sungguh aneh. Malam harinya temannya tak lagi menemukan
Kinar di tenda. Ia menghilang tanpa jejak, hingga sekarang. Sungguh gadis yang
malang.”.
Re semakin mematung. Tungkainya melemas
kehilangan segenap tenaga saat mendengar cerita si bapak. Re yakin, wanita yang
ia jumpai semalam itu adalah Kinar, Fani si penanggung rindu. Perlahan air mata
mengalir menggaris pipi Re yang masih tak habis pikir atas kejadian yang telah
menimpa gadis malang itu.
* * *
Tiga bulan berlalu. Kabar tentang Fani tak
pernah terdengar lagi. Polisi dan tim pencari menyerah dan menyatakan Fani
telah hilang. Ya, hilang seolah tertelan bumi, tak berjejak. Kabut duka masih
terus menyelimuti Re. Menyesali segala yang telah ia lewatkan. Harusnya ia
dapat melakukan sesuatu untuk Fani. Dan kini terlambat. Hanya sesal yang menyesak,
menyisakan rasa bersalah.
Hari ini Re dan gang kunyuknya kembali ke hutan Sibolangit. Sekedar menyegarkan
diri dari kegiatan perkuliahan yang mulai merepotkan. Hari mulai gelap saat
mereka sampai di tepi sungai kawasan air terjun dua warna. Tak ada rencana lain yang akan mereka
kerjakan selain istirahat. Terlalu lelah. Namun tidak untuk Re. Di malam yang
cerah itu ia habiskan di tepi sungai, menikmati orkestra alam yang agung,
menanti pesta kunang-kunang. Rasa penasaran dan bersalahnya lebih besar
daripada rasa takutnya. Di genggamannya terselip sebuah buku. Hadiah yang tak
sempat ia sampaikan.
Sudah hampir sejam Re menunggu. Tak ada satu
kunang-kunang pun yang terlihat. Hanya gelap yang semakin bertambah gelap
karena mendung yang mulai menggantung di langit. Re pun menyerah. Ia tak dapat
melakukan apapun selain berdoa. Ia meninggalkan buku itu tepat di tepi sungai
sebelum akhirnya beranjak bergabung dengan teman-temannya yang sedang asik
berpesta kecil dengan beberapa linting ganja yang mereka bawa.
Samar suara nyanyian Hari dan gitarnya
menghantar Re -yang lebih memilih meringkuk di dalam kantung tidurnya,
terlelap. Dalam tidur lelapnya Re bermimpi bertemu dengan Kinar ayu. Gadis itu
membisikkan kata terimakasih dan memberitahukan bahwa dia telah menemukan Oz di
balik pelangi. Gadis itu telah pulang dan merentaskan semua kerinduannya.
Sebelum akhirnya dia pergi, sebuah kecupan menghangat di pipi Re. Hangat yang
tulus dan lembut menghapus semua rasa bersalahnya.
Saat pagi datang, enam sekawan itu pun turun
kesungai, menikmati lagun yang di bentuk air terjun di dasar lembah. Sesaat Re
melirik kearah tempat dimana ia meninggalkan buku semalam. Buku itu tak
terlihat lagi disana. Buku itu lenyap dan Re tak berniat untuk mencarinya. Ia
hanya tersenyum penuh kelegaan. Dalam hati ia mendoakan Kinar akan bahagia
disana.
Bandung, 18/10/2012/ 01:04
0 komentar:
Posting Komentar