Minggu, 09 September 2012

Stasiun Itu


Tak tahu mengapa tempat ini selalu menjadi pilihan kita menikmati kebersamaan di menit-menit terakhir sebelum kembali kerumah masing-masing. Tak ada yang istimewa namun selalu berhasil menggambarkan suasana yang selalu kita ingini. Di jam semalam ini, ketika tak lagi seramai di siang hari, tempat ini menawarkan kita keleluasaan untuk saling menikmati suasana dan bertukar cerita. 

Stasiun kota yang punya banyak julukan ini tanpa sengaja menjadi tempat yang begitu menggambarkan semua keinginan kita. Kehausan kita akan jalan-jalan, menepaki tempat baru bersama. Disana, saat malam menyusutkan aktifitas di stasiun itu, selalu tercetus rencana-rencana kita untuk berjalan mengunjungi kota lain, kota yang belum pernah kita jalani sebelumnya.

Masih kuingat saat pertama kali kita disini. Semua berawal dari ide dadakan yang menggiring kita ke stasiun ini setelah kita tahu kesamaan kita. Lantas kemudian esok paginya kita mulai perjalanan kita yang pertama. Siapa sangka di kereta kelas ekonomi itu mulai terasa rasa yang membuat kita risau. Saat kita berbagi gurauan tentang orang-orang sekeliling kita, berbagi earphone menebak-nebak lagu yang terputar di playlist lagu di seluler ku. 

Dan tahukah kau? Kau membuat rasa yang semula biasa, bergelora risau saat kau mulai merebahkan kepalamu di pundak ku atau saat van butut kecil yang menghantar kita ke tempat yang kita tuju memaksakan penumpang berjubel masuk, kau menyelipkan tangan kebelakng punggung ku demi mendapat ruang yang lebih nyaman dan aku setangah mati menahan rasa yang saat itu masih kurasa salah.

Banyak hal kita yang rasa salah dalam hidup kita dan aku adalah si pemberontak yang lebih banyak mengumpat, sedang kau seolah telaga tenang yang menyimpan riak keras yang siap menenggelamkan segalanya. Mungkin itu sebabnya aku senang menumpahkan segala risau ini kepadamu. Batang coklat ku terkadang tak cukup meredam semua ini.

Aku tak tahu akan sampai kapan kita tetap bisa seperti ini. Namun tak dapat kupungkiri, stasiun malam nan sepi ini menjadi sangat luas untukku memuntahkan kesal yang menyesaki.

Berjam-jam kita habiskan sekedar merencanakan perjalanan-perjalanan kita. Tak perduli bagaimana nantinya, bahkan aku bahagia hanya dengan membaginya di stasiun ini.

Aku tahu, kau selalu memimpikan untuk pergi ke negeri nun jauh disana. Memilih hidup yang kau kehendaki tanpa cibiran sinis manusia yang merasa sempurna. Aku mengamininya, setengah merengek untuk turut bersamamu walau tak tahu bagaimana mimpi ini nanti menepikan ceritanya sendiri.

Terkadang kupikir hidup ini adalah perjalanan panjang yang bermula dari stasiun tempat kita menentukan tujuan hendak bagaimana kita jalani hidup ini. Tuhan hanya sebagai penjual karcis yang menyediakan tujuan hidup yang kita mau. Yang sesekali mengingatkan, meyakinkan kita lagi akan tujuan yang kita pilih.

Dan saat kita mulai melangkah menuju gerbong, saat bapak masinis meniupkan peluitnya dan kereta pun melaju maka cerita kita pun di mulai. Dari jendela kereta akan terlihat banyak hal yang kita lalui sepanjang perjalanan. Dan kita harus sigap menangkap dan merekam semua dalam memori, karena semua akan mengusang menjadi kenangan. Ada suka, ada duka. 

Kereta itu terus melaju di jalurnya menuju stasiun tujuan lain tempat kita nanti akan melanjutkan cerita perjalanan kita atau malah memilih berhenti disana. Jangan takut salah jurusan, Tuhan akan selalu siap sedia memberimu karcis ke jurusan yang benar. Jangan pernah risau juga untuk waktu yang akan kau habiskan saat kau memilih jurusan yang benar, karena tujuan hidup kita berhak untuk terus kita perjuangkan meski mungkin kereta mu akan terhambat di jalan nanti. Setidaknya kita berusaha.

Bapak masinis seolah sang waktu berkumis tebal yang tak pernah peduli dengan siapapun yang terlambat, itu sebabnya kita harus selalu bijak membekali diri agar tak ketinggalan kereta.

Ku harap tujuan kita akan sama. Dengan kata lain kita satu gerbong. Aku bisa duduk terus bersebelahan denganmu, terus berbagi cerita, bersama mengurai apapun yang kereta kita lalui. Dapat terus berbagi batang coklat di sepanjang perjalanan.

Malam semakin menyejukkan udara. Hanya suara kita dan sesekali suara operator informasi dengan suara sumbangnya memecah sepi di stasiun. Memang ini yang kita ingini. Kita tak begitu pandai mengapresiasikan keramaian.

Di stasiun ini kita akan memulai perjanan kita. Tak tahu akan berakhir dimana, aku hanya dapat bedoa semoga kita akan tetap selalu bersama. Jika pun tidak, maka aku berdoa semoga kita dapat bertemu di stasiun akhir perjalanan cerita kita nanti. 

Biarkan stasiun ini mendengar cerita kita, menjadi pandora dimana rencana-rencana, mimpi-mimpi kita tersimpan, yang suatu saat siap mengungkap memori kita saat kita kembali lagi kesini. Kau dan aku sesungguhnya hanyalah penumpang, si perencana. Sedang Tuan si Penjual karcis lah penentu tempat duduk kita nanti. Dalam hati aku berdoa, semoga duduk ku tetap bersebelahan dengan mu.

1 komentar:

buBbLeGoeM mengatakan...

I always love train dan stasiun tentunya...nice post :)

Posting Komentar