Tak
tahu mengapa tempat ini selalu menjadi pilihan kita menikmati kebersamaan di
menit-menit terakhir sebelum kembali kerumah masing-masing. Tak ada yang
istimewa namun selalu berhasil menggambarkan suasana yang selalu kita ingini.
Di jam semalam ini, ketika tak lagi seramai di siang hari, tempat ini
menawarkan kita keleluasaan untuk saling menikmati suasana dan bertukar cerita.
Stasiun
kota yang punya banyak julukan ini tanpa sengaja menjadi tempat yang begitu
menggambarkan semua keinginan kita. Kehausan kita akan jalan-jalan, menepaki
tempat baru bersama. Disana, saat malam menyusutkan aktifitas di stasiun itu,
selalu tercetus rencana-rencana kita untuk berjalan mengunjungi kota lain, kota
yang belum pernah kita jalani sebelumnya.
Masih
kuingat saat pertama kali kita disini. Semua berawal dari ide dadakan yang
menggiring kita ke stasiun ini setelah kita tahu kesamaan kita. Lantas kemudian
esok paginya kita mulai perjalanan kita yang pertama. Siapa sangka di kereta
kelas ekonomi itu mulai terasa rasa yang membuat kita risau. Saat kita berbagi
gurauan tentang orang-orang sekeliling kita, berbagi earphone menebak-nebak lagu yang terputar di playlist lagu di seluler ku.
Dan
tahukah kau? Kau membuat rasa yang semula biasa, bergelora risau saat kau mulai
merebahkan kepalamu di pundak ku atau saat van
butut kecil yang menghantar kita ke tempat yang kita tuju memaksakan penumpang
berjubel masuk, kau menyelipkan tangan kebelakng punggung ku demi mendapat
ruang yang lebih nyaman dan aku setangah mati menahan rasa yang saat itu masih
kurasa salah.
Banyak
hal kita yang rasa salah dalam hidup kita dan aku adalah si pemberontak yang
lebih banyak mengumpat, sedang kau seolah telaga tenang yang menyimpan riak
keras yang siap menenggelamkan segalanya. Mungkin itu sebabnya aku senang
menumpahkan segala risau ini kepadamu. Batang coklat ku terkadang tak cukup
meredam semua ini.
Aku
tak tahu akan sampai kapan kita tetap bisa seperti ini. Namun tak dapat
kupungkiri, stasiun malam nan sepi ini menjadi sangat luas untukku memuntahkan
kesal yang menyesaki.
Berjam-jam
kita habiskan sekedar merencanakan perjalanan-perjalanan kita. Tak perduli
bagaimana nantinya, bahkan aku bahagia hanya dengan membaginya di stasiun ini.
Aku
tahu, kau selalu memimpikan untuk pergi ke negeri nun jauh disana. Memilih hidup
yang kau kehendaki tanpa cibiran sinis manusia yang merasa sempurna. Aku
mengamininya, setengah merengek untuk turut bersamamu walau tak tahu bagaimana
mimpi ini nanti menepikan ceritanya sendiri.
Terkadang
kupikir hidup ini adalah perjalanan panjang yang bermula dari stasiun tempat
kita menentukan tujuan hendak bagaimana kita jalani hidup ini. Tuhan hanya
sebagai penjual karcis yang menyediakan tujuan hidup yang kita mau. Yang
sesekali mengingatkan, meyakinkan kita lagi akan tujuan yang kita pilih.
Dan
saat kita mulai melangkah menuju gerbong, saat bapak masinis meniupkan
peluitnya dan kereta pun melaju maka cerita kita pun di mulai. Dari jendela
kereta akan terlihat banyak hal yang kita lalui sepanjang perjalanan. Dan kita
harus sigap menangkap dan merekam semua dalam memori, karena semua akan
mengusang menjadi kenangan. Ada suka, ada duka.
Kereta
itu terus melaju di jalurnya menuju stasiun tujuan lain tempat kita nanti akan
melanjutkan cerita perjalanan kita atau malah memilih berhenti disana. Jangan takut
salah jurusan, Tuhan akan selalu siap sedia memberimu karcis ke jurusan yang
benar. Jangan pernah risau juga untuk waktu yang akan kau habiskan saat kau
memilih jurusan yang benar, karena tujuan hidup kita berhak untuk terus kita
perjuangkan meski mungkin kereta mu akan terhambat di jalan nanti. Setidaknya
kita berusaha.
Bapak
masinis seolah sang waktu berkumis tebal yang tak pernah peduli dengan siapapun
yang terlambat, itu sebabnya kita harus selalu bijak membekali diri agar tak
ketinggalan kereta.
Ku
harap tujuan kita akan sama. Dengan kata lain kita satu gerbong. Aku bisa duduk
terus bersebelahan denganmu, terus berbagi cerita, bersama mengurai apapun yang
kereta kita lalui. Dapat terus berbagi batang coklat di sepanjang perjalanan.
Malam
semakin menyejukkan udara. Hanya suara kita dan sesekali suara operator
informasi dengan suara sumbangnya memecah sepi di stasiun. Memang ini yang kita
ingini. Kita tak begitu pandai mengapresiasikan keramaian.
Di
stasiun ini kita akan memulai perjanan kita. Tak tahu akan berakhir dimana, aku
hanya dapat bedoa semoga kita akan tetap selalu bersama. Jika pun tidak, maka
aku berdoa semoga kita dapat bertemu di stasiun akhir perjalanan cerita kita
nanti.
Biarkan
stasiun ini mendengar cerita kita, menjadi pandora dimana rencana-rencana,
mimpi-mimpi kita tersimpan, yang suatu saat siap mengungkap memori kita saat
kita kembali lagi kesini. Kau dan aku sesungguhnya hanyalah penumpang, si
perencana. Sedang Tuan si Penjual karcis lah penentu tempat duduk kita nanti.
Dalam hati aku berdoa, semoga duduk ku tetap bersebelahan dengan mu.
1 komentar:
I always love train dan stasiun tentunya...nice post :)
Posting Komentar