Jumat, 26 November 2010

...Doa pria kecil...

Peron itu penuh dengan orang-orang yang kehilangan nurani mereka...

Child in war
Pria kecil itu hanya tertunduk lemas disangga tiang besi di tepi peron. Tak ada tanda-tanda kehidupan terlihat darinya. Tubuh kurusnya lusuh dihinggapi serangga dan dia mulai tak menghiraukannya, lelah karena ternyata hanya merekalah yang peduli keberadaannya. sedang mata-mata itu hanya memandangnya jijik, penuh tanya, atau hanya terselip kasihan namun tak ingin melakukan apapun, hari-hari mereka sudah terlalu pelik untuk menambah satu masalah lagi. 

Apa yang dapat dilakukan seorang pria kecil yang kini sebatang kara, telah direbut kabahagiaanya oleh penguasa-penguasa lalim. Kepalanya tertunduk dalam, namun air mata tak kunjung berhenti menggenangi sepasang bola mata sayu itu.  Mata yang menatap kosong, yang memantulkan beratnya beban hati yang ia pikul. Pria kecil itu kehilangan semangatnya, kehilangan kepercayaannya akan hidup yang menjanjikannya kebahagiaan. Jalan yang hidup berikan terlalu berat untuk terus ia jejaki.

http://namtour.com/childrenofwar.html
peron itu semakin sesak dipenuhi orang-orang yang mulai kehilangan nuraninya bersamaan dengan bunyi kereta yang memenuhi seisi ruang. 

Pria kecil itu tak dapat berkata apapun lagi. Yang ia butuhkan adalah ketenangan. Ketenangan yang hampir tak pernah ia rasakan. Ia letih berharap dan mulai kehilangan kepercayaannya akan doa-doa yang selalu ia ucap. Mungkin Tuhan tak menginginkannya untuk terus berenang di lautan kemunafikan, ia pun merubah doanya, lebih sederhana dan pasrah.

http://www.english.globalarabnetwork.com
Dua hari lalu satu ledakan besar menghanguskan segala mimpinya. Orang-orang tercintanya turut hangus menjadi debu bersama seisi kota. Dua hari lalu burung-burung besi sial itu menjatuhkan kutukannya yang menghanguskan seisi kota dan menyisakannya  sebatang kara bersama luka yang jauh tak terperi. Beberapa orang mengatakannya beruntung, karena ia tak ikut tewas disana, namun tak demikian dengan yang ia rasakan. Hidupnya turut hancur bersama keping-keping reruntuhan kota, seperti debu-debu yang tertiup angin yang jika hinggap di mata hanya membuat perih saja, terlalu sulit untuk terus digenggam. 
http://www.vagabondjourney.com
Tangannya yang lemah menggenggam kotak kaleng permen yang di kerubuti semut-semut rakus. Kotak kosong yang usang. Disana ia simpan semua manisnya hidup yang pernah ia kecap bersama orang-orang yang ia cintai. 

Nafasnya tersegal, lemah. Masih tercium olehnya aroma anyir mayat-mayat hangus di kota yang tinggal puing itu. Kebencian apa yang membuatnya seperti ini sekarang? Ia hanya ingin hidup tenang tanpa rasa was-was yang terus menghantui bagai bayang yang kerap muncul tiap kali cahaya menerpanya. Apa yang dapat dilakukan seorang pria kecil sebatang kara di dunia yang penuh kemunafikan ini? Sekarang ia hanya ingin bermimpi.

http://osocio.org
Suara ingar bingar orang-orang penghuni peron itu menjadi nyanyian ninabobok yang semakin bersahabat membelai ditelinganya. Bau anyir itu hilang perlahan-lahan berganti harum permen yang selalu ia kulum dahulu, mimpi yang selalu samar kini seolah nyata ia pijak. Kini terdengar begitu jelas suara hatinya yang menyanyi merdu. Rasa rindu yang teramatsangat kini seolah tertumpah, terpenuhi. Doanya terjawab sudah.
...Kini biarkan aku hidup dalam mimpi selamanya...
 

[...tak akan ada lagi yang mengusik mimpi indahnya... MDN.16:06.261110]

Jumat, 15 Oktober 2010

Seperti Cuaca

Ku kenal kau sebagai pribadi yang unik. Tak perlu kawatirkan aku karena aku benar-benar ingin mengerti kau yang seperti cuaca, tepat seperti dahulu kau ucap, saat kita baru saling mengenal. Seperti cuaca yang terkadang sulit tertebak, terkadang hati mu seolah di selimuti arakan awan yang menumpahkan hujan deras tanpa memberi pertanda terlebih dahulu hingga membuat panik seisi kota atau jika tak puas engkau bisa seperti badai yang siap merangsak murka menghancurkan apa saja yang kau lewati, namun seketika cerah bisa hadir seolah badai tak pernah terjadi menyisakan samar indah pelangi di awan. Engkau sungguh tak pernah terduga.

Hari ini badai menghampirimu, aku tahu itu. Sejak semalam kudapati wajahmu muram mendung dan sekarang adalah puncaknya, kau menjadi topan. Hubunganmu dan dia tak berhasil, tak berjalan seperti yang kau harapkan. Kau tak henti-hentinya bicara tentang rasa yang kini menghimpitmu, menuangkannya dipunggungku. Kadang kau menghujat, memaki-maki dan kadang kau menyalahkan dirimu yang tak sempurna, atau terkadang kau malah terbahak menahan tangis mendapati hidup yang memainkan pentas-pentasnya yang menguras rasamu. Yah, kau tertawa menahan tangis, menganggap semua adalah kekonyolan. Terkadang beranggapan seperti itu lebih baik bagimu. 

Suaramu terdengar berpacu diantara deru mesin motor yang sedang kukemudikan. Dibalik punggungku, aku ingin kau tumpahkan semua. Berharap badai itu dapat teredam disana. Tumpahkan semua rasa kesalmu, duka dan tangismu, aku akan mendengar semuanya. Lepas saja topeng itu, tak perlu takut akan rapuh yang kau tutupi. Biarkan badai itu berlalu, dengan begitu kau akan lebih baik.

Motorku melaju pelan. Tak perlu terburu-buru, aku akan menunggu badai itu reda. Saat seperti ini kuingat kau selalu memilih tempat dimana kita dapat memandang luas. Dan tepat ditepi jembatan itu kita berhenti sekedar untuk menumpahkan, melepas badai itu di aliran sungai bertepi padang hijau itu. Tempat yang sesuai untuk menikmati jingga keemasan langit sore dan kau selalu jatuh hati tiapkali menatapnya. Kuharap jingga dilangit sore yang kita tatap dapat memberikan ketenangan dihatimu, walau hanya sedikit.
Aku dapat merasakan duka yang kau rasa. Semua terlukis di mata bening yang memantulkan keemasan jingga sore itu dapat kulihat luka yang kau tawar. Tumpahkan semua, bisikku. Namun kau memilih untuk menahannya, meredamnya dengan kebesaran hati yang selalu kau percaya kekuatan mahadahsyatnya.

Kaupun banyak bicara tentang hidupmu. Hidupmu yang mengharuskan kau mengenakan topeng. Terlalu sulit untuk menjadi diri sendiri bagimu, aku tahu itu. Kau mempersoalkan cinta yang kita jalani, cinta yang kau dan dia jalani, cinta yang memenuhi lorong-lorong hidupmu. Sedang aku? Aku hanya diam kehilangan kata-kata setiap kali kau bertanya padaku. Bukan karena aku tak mendengar semua yang kau katakan, tapi justru karena kusaadari kita mempertanyakan hal yang sama. Aku hanya terdiam menatap airmata yang dari tadi kau bendung sekuat tenaga, kau sungguh takut terlihat rapuh. Dan saat ia menetes kau buru-buru menyekanya, tak membiarkannya menggaris dipipimu. 
Sedikit demi sedikit badai itu larut bersama langit sore yang mulai luntur dan menghitam. Hatimu yang tadi seolah diselimuti awan mendung kini berangsur pulih. Kekuatan hati yang kau percaya membuktikan kuasanya. Perlahan awan putih berarak menyelimuti hatimu, meski kau belum sepenuhnya cerah, namun kurasakan hatiku senang saat melihat senyum tripis terbit di wajahmu. Tenang, kita serahkan saja kepada sang empunya kesempurnaan yang menjawab, ujarku mencoba menenangkanmu. Kau hanya tersenyum tipis, masih menyimpan ketidakpuasaan. 

Semua orang yang kau sayang perlahan menghilang, begitu kau bisikkan kepadaku. Dan hanya ingin kau tahu, aku ada disini dengan rasa sayang yang ingin kuberi setulusnya untukmu hingga waktu yang kita punya untuk kebersamaan ini usai. Maaf karena kau tak banyak memberi solusi atas rasa yang kau hadapi sekarang, atau seharusnya aku meminta maaf atas kehadiranku yang membuatmu semakin terhimpit perasaan bersalah. Aku sungguh tak bermaksud begitu.

Badaimu mereda, kita pun beranjak menyudahi acara menatap sunset yang telah biru kehitaman tertelan malam. Sengaja kulambatkan laju motorku, sekedar ingin merasakan kau tenang bersandar di punggungku. Tumpahkanlah semua rahasia yang tak terucap itu dipunggungku, biarkan aku turut merasakannya.

Hari ini semakin kumengerti kau yang seperti cuaca. Kuharap pelangi segera muncul, mengganti badai dihatimu. 

[...Terimakasih telah mau mengerti gw yang seperti cuaca... MDN:01.27:151010]

...Satu SMS masuk... "Apa cuacamu hari ini?"...


Rabu, 13 Oktober 2010

Movin' on...

Sorry.. Forget the website...

Semua harus berakhir...

Menu hari ini adalah Brownies. Semua bahan telah kusiapkan. Kubaca kembali resep hasil browsing kemarin.
               

Ingredients

·1/2 cup butter

·1 cup white sugar

·2 eggs

·1 teaspoon vanilla extract

·1/3 cup unsweetened cocoa powder

·1/2 cup all-purpose flour

·1/4 teaspoon salt

·1/4 teaspoon baking powder

·3 tablespoons butter, softened

·3 tablespoons unsweetened cocoa powder

·1 tablespoon honey

·1 teaspoon vanilla extract

·1 cup confectioners' sugar

Satu persatu ku cek ulang. Lengkap. 

 Semua harus sampai disini...

Kusiapkan semua perlengkapan. Tak lebih setengah jam semua telah siap. Kulihat lagi catatan resep contekan, memastikan semuanya tak ada yang terlewatkan. Selanjutnya ku kenakan celemek dan mulai mencampur bahan demi bahan. Sesekali kupandangi catatan resep...


  Directions

1. Preheat oven to 350 degrees F (175 degrees C). Grease and flour an 8 inch square pan.

2. In a large saucepan, melt 1/2 cup butter. Remove from heat, and stir in sugar, eggs, and 1 teaspoon vanilla. Beat in 1/3 cup cocoa, 1/2 cup flour, salt, and baking powder. Spread batter into prepared pan.

3. Bake in preheated oven for 25 to 30 minutes. Do not overcook.

4. To Make Frosting: Combine 3 tablespoons butter, 3 tablespoons cocoa, 1 tablespoon honey, 1 teaspoon vanilla, and 1 cup confectioners' sugar. Frost brownies while they are still warm. 

Kemudian kusiapkan oven pemanggang, kupanaskan sesuai resep. Kemudian adalah bagian yang paling menentukan berhasil tidaknya brownies yang kubuat, begitu yang kudengar dari ibu setiapkali ia memasak cake. Kulelehkan mentega didalam oven. 

Rasa ini cukup disini. Tak ada yang boleh merenggut kebahagiaan ku, sungguh aku tak  akan membiarkan itu terjadi... tak akan!

Setelah mencair, kutuangkan kedalam panci besar. Perlahan kumasukkan gula, kemudian telur dan sesendok teh vanili. Saatnya mengaduk hingga semua bahan tercampur dan mengembang.

Tak ada satupun yang dapat merebutnya dari ku! kebahagiaan ini harus kembali! Harus!! 

Kumasukkan sedikit coklat, setengah cangkir tepung, garam dan backing powder dengan takaran yang disarankan catatan resep. Kuaduk kembali. Semakin berat terasa. Aromanya menyeruak memenuhi seisi dapur. Adukanku semakin kuat.

Aku telah mengusahakan yang terbaik dan aku tak  layak mendapatkan luka ini. Kebahagiaan itu milikku.

Setelah semua bercampur, ku tuang adonan itu kedalam loyang yang telah kusiapkan dan kemasukkan kedalam oven.

  Aku menolak untuk rasa yang kini menghimpit ku...

Sekarang tinggal menunggu. Kulepas celemek yang kukenakan. Menunggu adonan menjadi brownies, aku melangkah ke kamar. Di laci kecil dibalik pintu lemari bercermin itu terselip sesuatu yang kuharap akan sedikit menghantarku kepada bahagia. Segalanya telah kusiapkan didalam ransel hitam itu.

"Ting tong!!" Oven berbunyi pertanda brownies ku telah jadi.

Passport itupun kumasukkan kedalam ransel hitam. Sepatu kats high cut yang baru saja kukenakan segera membawaku kembali kedapur. Dari dalam oven kukeluarkan seloyang brownies siap santap. Aromanya begitu lezat namun saat potongan hangat nya menyentuh lidahku, kurasakan pahit yang menyengat mulutku seketika. Mungkin karena terlalu lama dipanggang atau karena coklat yang berlebih.

               Aku akan raih kebahagian itu lagi!! 

Kusandangkan ransel itu dan melangkah keluar. Ditanganku turut serta seloyang brownies pahit itu. Tepat di depan pagar rumah ku hempas brownies pahit itu ke dalam trash bin , sebelum akhirnya kau beranjak menuju airport.

               Kebahagiaan yang seharusnya menjadi milikku... 

[...Kebahagian yang selayaknya menjadi milikku... MDN:11.41:131010]

"Bersama mentari ku bernyanyi, Mewarnai hari-hari,Bersama pelangi ku menari, Menyambut bebasnya hati ini, Tiada lagi yang mampu menghalangi, Aku takkan berhenti melangkah, Cause i’m moving on..." -Andien-

Minggu, 03 Oktober 2010

Bagai Jingga & Biru

Me & a half of my soul

Siang ini kita putuskan untuk mengungkapkan saemua perasaan yang berkecamuk di hati ini. Ini adalah hari terakhir kita di kota yang selalu membawa kesenangan ini dan aku tak ingin membawa perasaan yang membuat kita seolah lupa bagaimana merangkai waktu yang selalu kita anggap sahabat untuk kita bunuh. Demikian menyesakkan dada, hingga tak mungkin kita tunda lagi.

Tak seperti biasa, kali ini kita memilih tempat tak jauh dari dermaga lama, karena sedikit sulit untuk menemukan tempat seluas lapangan, tempat kita biasa bersuaka, melebur segalanya di kota jingga. Atau sebenarnya kita hanya malas mencari, karena rasa ini tak mungkin tertahan lagi, kian menyesak. Namun entah mengapa tempat ini juga selalu menjadi pelabuhan perasaan kita di kota biru, kota yang tanpa kita duga-duga akan menjadi tempatmu meretas mimpi.

Dari sini dapat kulihat perbedaan biru laut dan langit yang seolah ingin menyatu di ujung cakrawala. Itu sebabnya kota ini kita sebut kota biru. Seolah tertular, kurasakan biru mulai menyelimuti kita, kau dan aku semakin tak dapat menahan perasaan yang membuncah di dada. Biru semakin merasuk.


"Kau gak boleh nyerah!! jalani mimpimu!!"


Kita saling menatap. Dapat kulihat dimatamu katakutan yang juga kutakutkan. Ketakukan yang dari tadi tak bisa kita sembunyikan. 

Kau katakan kau takut kehilangan cermin yang selalu bisa kau anggap apasaja. Demikian juga aku, namun aku yakin kau akan menemukan bahagiamu di kota ini, akan ada banyak cinta yang akan kau tuai di kota ini, dan bagiku itu cukup menjadikanku bahagia. 

"Aku akan baik-baik saja dan aku yakin kau juga akan baik-baik juga, karena disini kau akan menemukan banyak cinta. Biarkan kota jingga menjadi bagianku..."

Tak ada niat untuk menjadikan hari ini menjadi perpisahan yang menyedihkan. Namun biru benar-benar telah menelan kita. Satu persatu perasaaan yang tak terungkap beberapa hari ini mengalir bersama biru. Bahagia, sedih, kesal, cemburu dan cinta, semua bercampur, mewarna di tawa dan tangis kita. Semua menguap seketika di telan debur ombak yang menghantam dinding pembatas laut. Seperti buih yang terhempas dan menghilang di garis pantai. Kita menyadari satu hal dalam pembicaraan penuh emosi ini, bahwa cinta yang kita punya tak kita tanggapi dengan bijak hingga menjadi kebodohan-kebodohan yang hampir menghapus segalanya dari kita. 

Kini saat kau dan aku akan terpisah jarak, kita semakin yakin, kita saling memiliki, saling membutuhkan untuk saling menguatkan, untuk membagi semua mimpi yang menggunung ini hingga kadang terasa menghimpit, membebani. Ketakutan yang sejak tadi menghantui kita sedikit menghasut. Ketakutan akan kehilangan kebahagiaan-kebahagian kecil yang kadang orang anggap konyol, kesedihan-kesihan yang selalu kita tertawakan, rahasia-rahasia kecil yang tak butuh deklarasi karena ia akan selalu indah bersama misterinya. Tak perlu dunia tahu, cukup kita yang tahu betapa indahnya 'dunia' kecil yang selau kita bagi ini.

"Genggam tanganku erat..." Bisikku, sekedar ingin menghapus ketakutan yang membawa ragu ditengah-tengah kita. Aku sungguh ingin kau tetap disini menjalani mimpi yang selalu kita agung-agungkan. Aku akan baik-baik saja, karena melihatmu bahagia meretas mimpi telah menjadi bagian dari mimpiku juga. 


Tanganmu, tanganku saling menggenggam. Kurasakan jari jemarimu, dingin.


"Genggam lebih erat!!" Sekedar ingin meyakinkanku, bahwa kau akan selalu menjadi milikku, separuh jiwaku.


"Ayo! Lebih erat lagi!!" Aku ingin kau tahu, akupun akan selalu menjadi milikmu. Sungguh! Aku dan kota jingga akan selalu ada untukmu.


"Lebih, lebih erat lagi!!" Rasakan semua. Aku tahu ini bukan yang terakhir.


Kau tak perlu kawatir. Tak ada yang harus kau risaukan disini. Biarkan kota jingga menjadi bagianku, semoga aku dapat menaklukkannya. Genggam kita semakin erat, memastikan semuanya akan baik-baik saja. Kita telah menyepakatinya, ini bukan perpisahan, sungguh bukan perpisahaan melainkan jalan kita untuk menemukan kebahagiaan yang sudah seharusnya menjadi milik kita.





Angin laut bertiup menyapu sejuk pipi kita yang basah karena tangis, namun senyum tersungging penuh suka di wajah kita. Tak ada lagi yang tersembunyi, tak ada lagi kawatir dan ragu. Di depan birunya laut dan langit kota ini kita ungkap semuanya, semoga Tuhan mendengar doa-doa yang kita lepas di ujung biru. Dunia kecil kita kembali menemukan alasan untuk kembali berputar riang, dan aku yakin dia akan selalu menemukannya.

Aku dan kau bagai laut dan langit. Walau pertemuan mereka di cakrawala sesungguhnya adalah semu, namun tahukah kau bahwa mereka saling mengindahkan satu sama lain, saling merefleksi. Seindah jingga lembayung dan biru laut di petang hari. Percayalah, aku akan selalu menjadi cerminmu tanpa harus menjadi bayang-bayang yang mengikutimu.


Mimpi-mimpi kembali terikrar diantara kita. Tak terlalu menuntut, nikmati saja. Hidup selalu punya kejutan agar tetap memikat. Kita hanya perlu mempersiapkan diri untuk tawa, tangis, pertemuan, perpisahan yang menjadi bagian dari kejutannya.

Kali ini kita tak menunggu senja turun. Waktu kita tak banyak, kota jingga telah menanti untuk kujejaki dan kutaklukkan.Toh kita maish bisa menikmati senja berdua lagi lain waktu. Liburan kita usai, atau lebih tepatnya liburan ku karena sesungguhnya kau hanya pulang menjemput mimpi. Dan aku bahagia...

[...Genggam tanganku selalu. Kita akan selalu mengindah seperti lembayung jingga dan biru samudra... MDN:19.55:021010]  

           

Rabu, 08 September 2010

Bumi Biru 11-13

Keping 11
Loveless, homeless, tak terselamatkan…

     Saat Bumi duduk diruang siar ia mendapati secarik kertas diatas meja. Kertas itu terlihat ganjil. Diatasnya tertulis tebal dengan spidol : NB. PENYIAR TOLONG BACAIN. PENTING!!!. Bumi meraihnya dan segera mencari tahu siapa gerangan sang pengirim. Tak ada keterangan siapa yang mengirim atau meletakkannya diatas meja, tapi setelah Bumi membaca setengah isi surat, Bumi tahu siapa gerangan sang babi ngepet. Ia tak lain dan tak bukan adalah Aga.
     Aga yang putus asa tak mendapat maaf dari Lina lantas menuliskan puisi maaf  dan berharap dapat disiarkan keseluruh kota. Semoga kali ini berhasil, itulah mungkin doanya.
     Sejak Bumi tak berhasil membujuk Lina untuk berbicara dengan Aga, Aga semakin putus asa namun tetap ngotot untuk dimaafkan dan balikan lagi dengan Lina. Bumi sudah berusaha meyakinkan Lina dengan cerita yang sudah dikarang Aga sebelumnya, cerita yang dipenuhi dengan narasi dan hiperbola bahwa Aga tak bersungguh-sungguh dengan Gaby, tapi dasar Bumi yang sok alim atau pura-pura tak pandai berbohong, akting-nya segera terdeteksi Lina.
     Ini adalah puisi ketiga kali untuk hari ini, kata Reva yang mulai bosan menghadapi tingkah Aga. Sudah puluhan pendengar yang menelepon ke studio, meminta Lina segera memaafkan sang pangeran kodok berkepala orange. Ada pula yang memberi saran, dukungan ke Aga. Pantas saja Aga begitu terlihat bersemangat menulis puisi-puisi selanjutnya dimeja depan. Dan ada juga yang komplain dengan puisi Aga yang terdengar kurang artistik, tak nyambung pula dengan tema acara yang dibawakan.
     Catatan diawal surat yang ditulis kasar dengan spidol hitam, huruf kapital semua pula, lengkap dengan tiga tanda seru, terlihat begitu mengancam, memaksa untuk dibacakan. Bumi mencoba membaca puisi itu sekali lagi. Sedikitpun tak ada yang membuatnya tertarik. Pantas saja lebih banyak yang komplain daripada yang mendukung Aga, puisinya sungguh sukar dicerna. Entah karena Bumi memang tak terlalu pintar menikmati puisi atau memang dasar Aga yang terlalu memaksa menjadi pujangga.
     Bumi mengaruk-garuk kepalanya, bingung, haruskah ia membacakan puisi jelek ini didepan mic yang akan mengumamndangkan ungkapan hati Aga di seantero kota. Ini berhubungan dengan kelangsungan karir Bumi dijagat siar menyiar. Bagai mana tidak, pendengar yang bosan akan segera memindahkan frekuensi dan melupakan Bumi.
     Bumi tak dapat berkat apa-apa lagi, demi dua kata yang membuatnya selalu menghela nafas panjang, ‘setia kawan’ begitu bunyinya. Ia rela kehilangan fans yang kebenaran jarang ia dapat. Dengan sedikit improvisasi, Bumi berusaha keras agar puisi itu tak terdengar membosankan.
 Puisi itu tak terdengar seperti puisi lagi melainkan perintah kepada Lina untuk segera berbicara dan memaafkan Aga. Dengan nada sedikit memohon dan sedikit memaksa. Ternyata Bumi sudah muak terjebak diantara Aga dan masalahnya.

*    *    *

Tak ada kata lain untuk menggambarkan keadaan Aga yang semakin menyedihkan. Loveless, homeless, dan tak terselamatkan. Kantung matanya semakin membengkak seolah bisa mengantungi permen, itu karena kebanyakan begadang. Baunya bukan main busuk karena sering lupa mandi. Brewok mulai menumbuhi wajahnya, ia juga lupa bercukur.
Ia berjalan lunglai kearah ruang tengah, menghampiri Bumi yang sedang asik membaca sebuah buku yang disampul depannya tertulis tebal sebuah judul ‘Hukum Perdata’. Terduduk lemas disofa dan kemudian mulai menyalakan selinting rokok. Ia menghisap rokok dalam kemudian menghembuskannya jauh hingga membentuk gumpalan awan yang mengepul memenuhi ruangan.
Bumi melirik sinis kearah Aga, terganggu dengan asap rokok yang hembuskan.
“Asap rokok lo Ga!! Ganggu banget sih!” omel Bumi.
Aga tak mengiraukan omelan Bumi. Tak ada yang Aga fikirkan lagi selain masalahnya dengan Lina yang tak kunjung membaik. Ia semakin menjadi, menghisap dan menghembus asap rokok.
“Gaaa!!” teriak Bumi yang mulai kesal.
Aga hanya melirik kearah Bumi, menatapnya dengan tatapan frustasi.
Tatapan frustasi Aga bertemu dengan tatapan Bumi yang kesal, menusuk. Mendapati tatapan kosong Aga, Bumi mengiba. Bumi tak melihat ada kejahilan disana, Aga benar-benar butuh bantuan.
“Lo kenapa sih Ga?” tanya Bumi dengan nada sedikit lebih lembut.
Aga tetap diam.
“Kalau Lina memang udah ngelupain lo, ngapain juga lo yang malah drop gitu. Ya, kalau lo emang cinta ama dia, usaha dong! Jangan kayak gini, tambah gak selera dia liat lo…”
Aga kembali melirik Bumi. kali ini matanya memerah.
“Lo pikir slama ini gue gak usaha apa? Lo pikir gue duduk-duduk gini aja? Gue dah kehabisan akal Bum…” jelas Aga dengan nada penuh emosi.
Suasana senyap.
Bumi kehilangan kata-kata, merasa bersalah dengan ucapannya.
“Gak tau gue harus buat apa lagi biar Lina percaya…”
Aga kembali mencoba menenangkan Aga.
“Ya udah! Ntar malam kita keluar lagi, cari cewek! Emang Lina aja cewek didunia ini?!” celetuk Bumi ngasal.
Mata Aga semakin memerah, air mata menggenang di pelupuk matanya, tertahan tak jatuh. Kali ini Aga serius, ia ingin menelan Bumi bulat-bulat.
“Bum, gue tuh sungguh-sungguh dengan Lina… lo sih gampang bilang gitu!!”
Bumi mengaruk-garuk kepalanya. Salah ngomong lagi, fikirnya.
“Ya udah, gue so…..”
Aga beranjak pergi meninggalkan Bumi. Kesal dengan tingkah kawannya satu ini.
“Ga…..” Bumi menganga, tak bisa mencegah langkah Aga yang semakin menjauh.
Yang tersisa hanya asap rokok Aga yang berangsur menghilang menyisakan rasa bersalah Bumi.
Aga berubah. Aga yang selengekan, Aga yang ngeseli, Aga yang tak pernah sakit hati kini mengkhawatirkan.

*    *    *

Sudah hampir seminggu ini Aga tak terlihat distudio, dikampus dan diklub biasa. Seisi studio mulai khawatir, semua menyalahkan Bumi karena kata-kata tak berperasaannya dan Lina yang benar-benar tak punya perasaan. Handphone-nya tak pernah aktif, temannya juga tak ada yang tahu. Aga menghilang dari jagat bumi.
Lina bersikap sok cuek walau semua penghuni studio meributkan hilangnya Aga dari peredaran. Sedikitpun Lina tak terlihat merasa bersalah. Bumi tahu ia menyembunyikan rasa khawatirnya jauh didalam hati. Ia juga pasti merasa bersalah, namun egonya mengunci semua rasa itu rapat-rapat.
“Gimana sih lo Bum, masa gak tau Aga kemana!” celetuk Donny dari belakang punggungnya.
“Emang aku siapa bisa terus perhatiin dia?” tanya Bumi kesal.
“Kau kan rajin pergi bareng dia, masa gak tau!” sambung Jimmy, semakin menyudutkan Bumi.
Bumi mencoba bersikap cuek, ia meneguk kapucino hangat yang ia buat.
“Bumi kehilangan anjing ya? Ya udah, nanti Dea bawain anak kucing, kemarin kucing peliharaan Dea melahirkan dua ekor anak… lucu-lucu deh!” celetuk Dea asal. Komentarnya selalu mengundang rasa kesal semua penghuni studio.
Semua memandang kearah Dea.
“Kenapa? Dea salah ya? Bumi gak suka Kucing?”
Semua semakin frustasi melihat tulalit Dea yang semakin parah.
“Lo udah tanya teman-temannya yang lain?” tanya Reva.
“Mereka juga gak tau…” jawab Bumi singkat.
“Kita pasang iklan kehilangan hewan saja? atau kita siarin?” komentar Dea sama sekali tak mendapat respon.
“Lo pergi kerumahnya aja gih!” perintah Reva ke Bumi.
“Kok aku lagi sih!!” protes Bumi.
Semua memandang Bumi tajam.
Guys??”
“Ayo dong Bum… demi sobat lo satu itu…” pujuk Reva, yang mendapat anggukan dari semua anggota rapat kecuali Dea.
It’s not fair!! Emang aku sendiri sobatnya? Kelen gak gitu?” Bumi mulai kesal. Ia berdiri dari tempat duduknya.
“Ayo lah Bum… lo kan yang paling dekat ama Aga…” Boim ikut-ikutan membujuk Bumi.
Bumi menarik nafas panjang. Memalingkan wajahnya, bosan dengan tatapan teman-temannya.

*    *    *

Dengan berat hati, Bumipun akhirnya tiba di rumah berpagar hitam itu. Ia disambut ramah oleh seorang Ibu yang berpenampilan nyentrik. Rambutnya berpotong pendek dan berwarna coklat kemerah-merahan, ia mengenakan stelan kaus ketat tanpa lengan dan jeans belel pendek diatas lutut. Nyentrik, persis seperti Aga.
“Bumi! lama gak main kesini… masuk!” silahnya.
“Makasih tante…”
Merekapun duduk disofa bermotif cerah dengan bunga berwarna warni.
“Sebentar ya, tante ambilkan minum…”
“Gak perlu repot Tan! Saya mau tanya keadaan Aga saja… udah hampir seminggu ini kita gak ngeliat dia lagi, Aganya kemana ya Tan?”
Tante yang terlihat tak mau kalah dengan anak muda sekarang itu menghentikan langkahnya.
“Loh! Aga belum kasih tahu ya?”
Bumi mengelengkan kepalanya.
“Dia masuk ruang ICU kemarin…”
“ICU? Aga kenapa Tan?”
“Kata dokter gejala broncitis, kebanyakan minum ama ngerokok sih tuh anak, trus suka lupa makan lagi.”
“Terus sekarang dirawat dimana Tan?”
“Di Rs. Putri Hijau…”  

*    *    *

Sehabis mengumpulkan sumbangan untuk Aga, Bumi, sekali lagi dengan terpaksa harus menjenguk Aga sendiri tanpa teman-teman.
“Ngakunya aja pada peduli! Huh!!” gerutu Bumi kesal.
Dengan berbagai alasan semua mahluk penghuni studio tak turut serta menjenguk. Titip salam saja, nanti kalau sempat pasti nyusul, kata mereka ke Bumi. Sedang Bumi tak bisa mengelak, ia dipaksa menjadi utusan yang distempel ‘setia kawan’. Walau berat hati, namun sebenarnya Bumi juga khawatir dengan keadaan Aga.
Lantas tibalah Bumi diruangan yang semua serba putih bersih. Didepannya terbaring lemas manusia yang membuatnya makan hati sepekan ini. Dipergelangan kirinya tertancap jarum yang tersambung selang ke kantungan air infus yang menggantung. Tatapannya Aga sayu, saat mendapati Bumi yang sudah duduk disampingnya.
“Buah buat lo!” Bumi meletak sekeranjang buah segar diatas meja dikanan Aga.
Aga tersenyum, makasih mungkin maksudnya.
“Salam dari anak-anak, katanya ntar mereka nyusul…” cetus Bumi datar.
Lama keduanya saling diam. Akhirnya Aga angkat bicara.
“Anjing lo! Lo boongi gue, jijik gue ama dokter rekomendasi lo!”
Bumi ingin segera meledak tertawa tapi ia menahan tawanya karena seorang suster muda mengahampiri Aga dan memeriksa infusnya.
Kedua pria cabul itu melirik kearah suster dengan tatapan genitnya.
“Pantas lo betah disini!” sindir Bumi.
“Dasar lo cabul!!”
Seusai melepaskan infus dari lengan kiri Aga, suster cantik itu pun berlalu meninggalkan mereka.
“Makasih ya sus…” celetuk Aga genit, yang kemudian dibalas senyum manis oleh si suster cakep.
“Busyet!! Pantes Lina pergi dari lo… kelakuan lo memang kaya monyet ngeliat pisang kalau liat perempuan licin.”
“Udaah, gue gak mau lagi dengar nama tuh cewek sial. Benar-benar gak punya perasaan tuh cewek!”
“Loh? Katanya cinta mati?” ledek Bumi.
“Iya gue cinta tapi gak mau ampe mati! Apa lagi dia bilang kalo sebenarnya dia gak pernah cinta ke gue… nganggap gue apa dia selama ini? Dasar taik tuh cewek!” makinya kesal.
“Pura-pura cemburu lah, pura-pura mesra kalau ada maunya… dasar anj…” kata-kata Aga terpotong. Si suster cakep membawakannya makan malam.
Aga tersenyum manis.
“Makasih ya sus…”
Si suster cakep membalas senyum Aga.
Bumi hanya bisa menghela nafas.
Setelah suster cakep itu pergi Agapun melanjutkan ceritanya.
“Pake alasan gak cocok lah! Padahal dibelakang gue dia main gila ama cowok lain. Pasti juga yang bisa diploroti… mampus sekalian tuh cowok! Biar tahu siapa perempuan sial itu sebenarnya.” Lanjut Aga semakin keasal.
“Ya udah lah! Lo juga sih…” celetuk Bumi yang bosan dengan cerita Aga.
“Trus kenapa bisa ampe KO gini?” tanya Bumi.
“Gak tau gue, bodoh kali rasanya! Gue benar-benar patah hati nih Bum…”
Bumi tersenyum geli. Ternyata bisa juga sahabat gilanya ini sakit hati. Bumi tahu sakit hati Aga tak akan berlangsung lama, melihat tingkah genitnya pada suster tersebut.
“Terus gimana dengan dokter itu?” iseng Bumi.
“Anjing!”

Keping 12
Kinar’s birthday…

17 agustus...
Hari ini adalah hari istimewa bukan hanya untuk bangsa ini tapi juga bagi Kinar. Hari ini Kinar genap berumur 24 tahun. Semakin mapan, semakin dewasa, semakin sukses, semakin cantik dan semoga semakin Bumi cinta.
Sore ini, seusai kerja. Bumi telah memesan sebuah meja disebuah restoran romantis dipinggir kota. Ia menjemput Kinar yang lembur karena kerjaannya dikantor yang menumpuk dan segera memboyongnya ke tempat yang sudah ia pesan tersebut. Candle light dinner mewah telah Bumi siapkan.
Kinar tambah cantik dalam balutan pakaian kerjanya. Stelan kemeja putih victorian dibalut dengan blus berwarna lembut, dengan rok selutut yang memamerkan kaki indahnya yang mengenakan stileto berwarna putih. Kelopak matanya merona marun lembut, demikian pula bibirnya, rambutnya tergerai indah dan hanya bersanga kip hitam yang terselip diantara poninya. Sungguh wanita karir cerdas nan cantik.
Diatas sebuah perahu kedua sejoli itu menikmati santap malamnya. Romantis bukan main. Suasana restoran yang begitu asri, cahaya temaram rembulan yang keperakan memantul dari telaga yang kehijauan, suara jangkrik dan kodok seolah menyanyikan lagu cinta, hembusan sang bayu yang berhembus lembut membisikkan puisi-puisi indah, bunga teratai yang mengapung menebar semerbak benang sarinya,  mengiringi laju lambat perahu.
Sungguh senang rasanya hati Bumi melihat Kinar begitu menyukai kado yang ia beri. Mata kinar terlihat berkaca-kaca menahan haru saat menerima seikat mawar putih yang Bumi persembahkan untuknya. Tak pernah Kinar menyangka kalau ternyata Bumi bisa sebegitu romantis.
     Suasana indah begitu mengundang hati untuk berkata yang indah-indah. Candapun semakin melengkapi suasana.
     “Happy birthday, my dear…” ucap Bumi lembut, penuh perasaan.
     Kinar segera menutup mulutnya, tertawa geli.
     “Maaf…” katanya, menahan rasa geli yang menggelitik perutnya.
     “Kok malah ketawa sih?!” tanya Bumi jengkel, mendapati Kinar yang malah tertawa mendengar kata-kata romantisnya.
     “Gak ada, cuma lucu aja liat kamu yang tiba-tiba romantis gini…” Kinar kembali tertawa geli.
     Ekspresi wajah Bumi langsung berubah cemberut.
     “Huh, Dasar cewek! gak romantis salah, diromantisi malah tertawa…” gerutu Bumi berbisik-bisik.
     “Ok… sorry, sorry…” Kinar meraih tangan Bumi. menggenggamnya hangat.
     “Makasih ya… ini kado pallliiing indah yang pernah aku dapat,” Puji kinar memujuk senyum Bumi.
     Bumi membalas genggaman hangat Kinar.
     “Aku pengen ketemu ama adik-adik panti. Besok kita kesana ya?” ajak Kinar.
     “Seru tuh! Aku juga udah kangen sama mereka.” Sambut Bumi bersemangat.

*    *    *

     Pagi ini Bumi bangun dengan semangat yang menyala-nyala. Hari ini ia akan pergi kepanti bersama Kinar, ia sudah tak sabar untuk segera menemui malaikat-malaikat lucu penghuni panti.
     Hari ini Bumi membawa salah satu mobil Om Firman yang dapat memuat banyak barang. Ia tak mau repot-repot menenteng kardus belanjaan dengan motor bututnya. Tanpa menunggu lama lagi Bumi lansung tancap menuju tempat Kinar.
     Sesampainya dirumah Kinar, Bumi malah disambut dengan setumpuk kotak-kotak berukuran besar yang Bumi tak tahu isinya. Sungguh tak salah perkiraan Bumi membawa mobil ini. Sepertinya hari ini panti akan benar-benar ramai.      
     Setibanya mereka dipanti, seperti biasa sambutan hangat para malaikat kecil nan lucu itu membuat mereka tersungkur dalam damai. Mereka saling bergotong royong membantu Bumi dan Kinar menurunkan barang-barang dari mobil. Seusai meletakkan barang-barang, para malaikat mungil itu menarik tangan Kinar menuju ruang tengah. Mereka ingin menunjukkan sesuatu kepada Kinar.
     Diatas meja petak persegi panjang yang dekelilingi banyak bangku itu sebuah kejutan mengundang haru Kinar. Tart petak dengan hiasan sederhana dipenuhi banyak lilin kecil. Disana juga tertulis dengan tulisan yang tak begitu rapih ‘happy birthday kak Kinar’, sungguh lucu. Disetiap sisi tart dihiasi butir coklat yang juga tak begitu rapih, namun sungguh menyentuh hati Kinar.
     “HAPPY BIRTHDAY!!!” gemuruh teriak semua penghuni panti.
     Kinar tak mampu berkata-kata, ia hanya bisa menangis haru.
     “Ini mereka sendiri yang buat lo!” beritahu Suster Renny.
     “Oh… makasih ya semuanya. Kakak senang banget…” Kinar segera menghapus air matanya.
     Dan semuapun berteriak “TIUP LILINNYA!!!”
     Dengan sepenuh hati Kinar memejamkan matanya lembut dan kemudian seolah memberi kode ke seluruh penghuni panti yang berkumpul diruang ini. Mengcungkan satu persatu jarinya hingga hitungan ke tiga.
     “SATU… DUA… TIGA!” Semua serentak menghembuskan doa-doa kearah lilin-lilin kecil yang memenuhi tart.
     Seusai acara make a wish adalah acara paling yang paling ditunggu namun berubah menjadi acara yang paling menyulitkan. Membagi sekotak tart yang berukuran tak begitu besar ke semua penghuni panti. Potongannya kecil-kecil namun begitu nikmat. Bagaimana tidak? Bumi dan Kinar merasa cinta ditiap gigitannya.
     Kemuadian semua penguhi beralih kekotak-kotak yang Kinar bawa. Mereka membukanya dengan penuh rasa penasaran. Didalam kotak-kotak itu terdapat macam-macam benda. Ada bungkusan-bungkusan berisi makanan ringan, permen dan coklat. Ada juga benda-benda kotak dibungkus dengan kertas sampul bewarna coklat dan banyak lagi. Beberapa karung beras, beberapa dus mi instan, gula, minyak makan, teh dan lain-lain dan yang paling mencolok perhatian, sekotak perlengkapan perlombaan.
     Hari ini Kinar berencana mengadakan perayaan tujuh belasan dipanti. Sungguh ide yang begitu cemerlang. Kotak-kotak berbungkus sampul coklat itu berisi alat tulis, sebagai hadiahnya. Semua menyambut ide Kinar dengan gemuruh suka. Lapangan kecil didepan sebuah kapel tepat disamping asrama langsung disulap menjadi arena pertandingan.
     Ada banyak lomba yang akan dilombakan. Lomba balap karung, membawa gundu dengan sendok, makan kerupuk, memasukan paku kedalam botol, mencari koin dalam tepung dan banyak lagi.
     Darius yang mengaku tak pernah kalah dalam perlombaan makan kerupuk membuktikan omongannya dengan mengalahkan teman-teman sebayanya, Natha, Jerry, Rosie, Donnie. Tubuh bulatnya tak begitu meyakinkan, namun siapa sangka si pipi merah itu bisa melahap kerupuk dengan cepat. Semua tertawa saat melihatnya melahap kerupuk itu seperti seekor ulat bulu menyantap daun.
     Sedang Valen memenangkan lomba balap karung. Ia berlari terbirit-birit saat mendengar Bumi menirukan suara donald bebek. Demikian juga yang lainnya hingga tak ada satu hadiahpun tersisa.
     Tak ada yang murung, tak ada yang kalah semuanya pemenang dalam perlombaan ini. Bukan hanya anak-anak penghuni panti saja yang ikut berlomba tapi juga Kinar, Bumi dan para suster serta pengurus panti. Tak ada yang mereka perebutkan diperlombaan ini. Mereka hanya ingin berbagi suka, menikmati hari kemerdekaan sekaligus merayakan ulang tahun Kinar yang bertepatan sama.  
     Tak lama perlombaan usai muncul sebuah mobil angkut yang berhenti didepan panti. Mobil itu membawa sejumlah makanan lezat, persis seperti makanan dipesta-pesta lengkap dengan kue-kuenya. Ternyata Kinarlah yang memesan semuanya. Hari ini ia mentraktir semua penghuni panti makan siang.
     Wajah anak-anak itu terlihat begitu bahagia bukan main. Tubuh mereka masih dipenuhi peluh kemenangan diperlombaan. Tak habis-habisnya membicarakan kemenangan meraka. Bahkan Jerry yang hampir tak pernah melupakan selimut busuknya untuk satu hari ini berganti memeluk hadiah-hadiahnya erat.
     Seusai makan siang semua malaikat mulai beranjak kekamar setelah membersihkan dirinya terlebih dahulu. Waktunya tidur siang. Sebagian anak berpura-pura tidur, mereka berbisik-bisik menceritakan ulang perlombaan tadi dan saat Kinar memergokinya mereka menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya.
     Siang ini Bumi dan Kinar juga kelelahan tak mau kehilangan waktu istirahat mereka. Mereka pun ikut bergabung bersama para malaikat didalam mimpi. Kinar tidur bersama Rosie yang sibuk memeluk boneka barbie yang sudah terlihat kucel, sedang Bumi tidur bersama Darius si pipi merah. Darius kecil memeluk Bumi hangat.
     Sore hari suster Reni membangunkan mereka. Waktunya mandi. Satu persatu para malaikat itu digiring ke kamar mandi. Seusai mandi merekapun bersih-bersih. Membersihkan setiap ruangan yang berantakan, sisa-sisa acara tadi siang. Menjelang gelap semua belajar mengerjakan tugas sekolahnya. Mereka begitu bersemangat menggunakan peralatan tulis menulis bari hasil dari perlombaan tadi siang.
     Dan waktu makan malampun tiba. Semua berkumpul di meja petak panjang itu lagi. Hari ini menunya adalah ikan kembung goreng, sayur lodeh dan yang tak pernah ketinggalan: tempe dan tahu goreng. Untuk doa kali ini diserahkan kepada Kinar untuk memimpin. Seperti biasa, seusai makan malam semua saling bergotong royong membersikan meja makan dan mencuci piring.
     Beberapa menit sebelum waktu tidur malam para malaikat itu mengeret Kinar menuju kapel kecil disamping asrama.
     “Kak Kinal ikut kita deh…” ajak Valen menarik tangan Kinar didikuti teman-temannya.
     Kinar yang ta tahu apa-apa patuh mengikuti mereka. Bumipun mengikuti mereka dari belakang.
      Malaikat mungil itu membawa mereka kedalam kapel. Kapel itu belum sepenuhnya dibangun. Lantainya masih tanah belum disemen. Langit-langitnya tinggi menjulang dan disana juga menyumbul balok-balok penyangga, tanda plafon belum selesai dibangun. Lilin-lilin putih berukuran sedikit lebih besar itupun dinyalakan. Serentak  semuanya menunduk  mengadap altar, meletakan kepalan tangan didada.
     “Atas nama Bapa, Putra dan Roh kudus…”
Doa pun dimulai.
Bumi memperhatikan dari kursi paling belakang. para malikat kecil itu mendoakan Kinar dengan tulus sepenuh hati. Sungguh pemandangan yang sangat indah memperhatikan para malikat kecil itu tertunduk lugu memejamkan mata bundar nan indahnya dan memohon lugu kepada Tuhan. Dalam hati Bumi turut berdoa untuk Kinar dan untuk malaikat-malaikat mungilnya.
Seusai berdoa semuanya kembali ke ruang tidur. Malam ini Bumi diminta anak-anak untuk menggantikan Kinar yang biasa membacakan dongeng kepada mereka. Dan malam ini Bumi bercerita tentang perjalanan nabi Musa. Saat Bumi bercerita semuanya menyimak penuh perhatian tiap kata-kata, gerak-gerik Bumi yang memeragakan adegan dalam cerita.
Sesekali Bumi memperagakannya dengan kocak hingga mengundang tawa anak-anak penghuni panti. Ia mulai beranjak dari tempat duduknya. Ia bercerita, menyusuri lorong yang dipenuhi tempat tidur itu seraya memeragakan adegan-adegan Musa membelah laut merah. Anak-anak itu terlihat sangat senang.
Setelah para malaikat kecil itu tidur, Bumi tersenyum penuh kepuasan, begitu juga Kinar.
“Kamu hebat ya…” puji Kinar.
Bumi mengernyitkan keningnya memendang Kinar.
“Hebat apanya?” tanyanya.
“Dongengnya… “
Bumi mengangkat dagunya, berlagak ahli. Kinar menahan tawanya dengan membekap mulutnya sendiri. Ia tak mau mengganggu anak-anak yang pulas tertidur.
Bumipun meraih jemari Kinar.
“Kan belajar dari kamu…” ia tersenyum.
Mereka bergandengan seraya keluar dari ruangan yang dipenuhi mimpi-mimpi itu dan memadamkan lampu sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu.
Lelah menggantung ditubuh mereka namun tak sebanding dengan rasa bahagia yang mereka rasakan sehari penuh ini. Senyum tak henti-hentinya menghiasi wajah mereka, refleksi isi hati yang disesaki bahagia.
Pak Karyo, salah seorang pengurus panti menghampiri Kinar dan Bumi yang duduk dibawah pohon bunga tanjung yang rimbun didepan kapel, dipinggir lapangan.
“Teh hangat dek… pasti lelah sudah seharian nemani anak-anak.” Ucap pria yang mengabdikan dirinya sebagai pelayan Tuhan ini. Logat jawanya kental, ia adalah seorang misionaris yang diutus dari pulau jawa untuk mengurus panti ini.
“Makasih Pak…”
“Kalau lelah mah biasa, tapi bahagianya ini loh pak…” ujuar Bumi mencoba memberi tahukan maksudnya ke Pak Karyo.
Pak Karyo tersenyum penuh arti.
“Makasih ya… anak-anak juga pasti senang. Permisi…” Pak Karyo pun berlalu, kembali keasrama.
Asap putih masih mengepul dipermukaan cangkir yang berisi teh. Bumi meraihnya, meniup-niupnya, tak sabar ingin segera meneguknya.
“Kamu senang gak Bum?” tanya Kinar membuat Bumi berhenti meniup tehnya.
“Kamu gimana sih dear… ya aku senang lah! Dari tadi juga udah kubilangkan…” Bumi melanjutkan meniup tehnya.
Kinar tersenyum puas, kemudian meraih cangkir tehnya.
“Ini saja…” celetuk Bumi.
“Ini sudah agak dinginan…” ia menyodorkan cangkir tehnya kearah Kinar.
Kinar kembali tersenyum, kali ini lebih manis. Ia meraih cangkir yang Bumi beri, menukarnya dengan cangkir yang ia genggam.
“Bum…” gumam Kinar memanggil ditengah seruputan Bumi menikmati teh.
“Hmm…” sahut Bumi.
“Gak terasa ya,  ternyata hubungan kita sudah berjalan tiga tahun…”
Mereka saling diam yang terdengar hanya gesekan daun-daun pohon bunga tanjung yang tertiup semilir angin malam. Bunga-bunga tajung kecil yang tak kuasa menahan tiupan anginpun berguguran menghujani sepasang kekasih itu. Wanginya menyeruak kesekeliling panti.
Bumi tahu apa maksud perkataan Kinar. Tiga tahun sudah mereka menjalani hubungan kasih bersama, tak bisa dipungkiri tembok itu tak juga runtuh. Tembok yang membentang kokoh menutupi masa depan dengan rapat dan menghalangi jalan mereka. Sedikitpun bayangannya tak nampak.
Selama ini Kinar dan Bumi mencoba memungkirinya dengan menjalani hubungan ini tanpa menoleh kemasalah prinsipil ini dulu. Tapi kini umur semakin bertambah namun waktu semakin sempit, Kinar mulai khawatir dengan masalah yang tak kunjung tuntas tiap kali mereka bahas.
Setahun lalu mereka sepakat akan membicarakan masalah ini, mencari solusi pemecahnya. Kini tepat sudah setahun.
Tembok itu tetap tak bergeming. Bumi dan Kinar berbeda keyakinan. Bumi seorang muslim dan Kinar seorang katolik. Mereka berdua tak mau saling memaksa namun juga tak mau berpaling dari keyakinannya masing-masing.  
Semakin malam aroma semerbak putik-putik bunga tanjung yang berguguran menebar wangi yang menusuk. Aromanya menyebar kesemua penjuru. Mereka tetap membisu. Menikmati teh yang mulai dingin tertiup angin. Malam ini tidak begitu cerah. Bintang-bintang hanya sedikit yang menampakkan diri dan bulan bercahaya redup tertutup awan.
Perlahan tangan Bumi meraih jari jemari Kinar dan menggenggamnya hangat.
“Makasih ya atas tiga tahun yang indah ini…” Bumi tersenyum, matanya terlihat bercahaya.
“Kok kamu ngomongnya seperti itu sih!” Kinar balas mengenggam tangan Bumi.
“Ya… aku Cuma mau terimakasih aja…”
Lama keduanya saling pandang. Bumi meletakkan cangkir tehnya,  kemudian mengurai untaian bunga tanjung yang terselip dirambut Kinar dan merapikan rambut indah Kinar yang dihembus angin. Keduanya saling bertukar senyum penuh cinta.
Bumi tak mau menjanjikan apapun kepada Kinar demikian sebaliknya. Mereka sadar akan perbedaan yang nyata mereka hadapi, namun mereka tak mau menutupi rasa cinta yang selalu membakar hangat didalam hati.
Dibawah pohon bunga tanjung yang rimbun, sepasang anak manusia yang duduk berdampingan itu sama sekali tak terusik dinginnya udara malam. Mereka terbakar api asmara.

*    *    *

Sepulangnya mengantar Kinar dari panti, Bumi masih terjaga, dibayangi wajah sang kekasih hati. Bumi meraih telepon genggamnya, mengetikan sebuah pesan untuk sang penawan rasa kantuknya.

Mlm dear… kamu sdh tdr ya? Aku gak bs tdr nih!

     Bumi tak tahu lagi harus menulis apa. Ia benar-benar tak bisa tidur karena memikir kan Kinar.

Knapa gak bs tdr dear? Kamu ingat aku trus ya…
 he…he… bcanda…J

Kok tau!! Aku kangen nih!

Gombal! Baru jg bbrpa menit yg lalu kt brpisah.
 Kamu kangen cwek lain kali…

Serius, aku bnar2 kangen nih! Coba kamu ada dsini…
 aku sayang kamu…

Luv u too…

     Bumi memandangi layar telepon genggamnya. Ia tersenyum simpul, mendapati pesan Kinar yang singkat dan padat.

Dear… kamu mimpi indah ya. May angels sleep by u
 Hari ni aku senang bgt. J

Aku yang mksih, hari ni udh kamu tmani.
      Kamu juga mimpi indah… good dream

     Bumi meletakkan ponselnya sembarangan diatas tempat tidurnya. Kantuk mulai menghampirinya, tapi belum sempat ia benar-benar tidur ponselnya kembali berdering, tanda sebuah pesan masuk. Bumi melirik kelayar tak bersemangat dan membuka pesan itu.
     Ternyata pesan itu bukan dari Kinar melainkan dari mahluk berkepala orange, Aga. Bumi terperanjak saat membaca pesan dari Aga, seketika kantuknya buyar.

Bum! gue td liat Dian dikamar flat lo… ktauan lo!’


Keping 13
Sebuah rahasia besar…

     Sepulang kuliah Bumi langsung tancap gas menjemput Aga yang kini sudah tahu tentang Dian. Baru saja ia sampai didepan pagar fakultas, seorang teman sekelas Aga memanggil Bumi dan mengatakan kalau Aga telah pergi dari tadi. Tak banyak bicara Bumi langsung cek out. Sudah pasti studio tujuannya. Tak ada tempat lain yang menjadi tempat tongkrongan rutin Aga selain studio.
     Sesampainya distudio, Bumi langsung memarkirkan motornya, tepat disamping mobil Aga diparkir. Dengan  langkah yang tergesa-gesa ia masuk kedalam, matanya melirik kesekeliling liar, mencari sesosok manusia berkepala orange. Tak jauh dari sana ia mendapatkan apa yang ia cari. Aga sedang asik menggombal Dea di meja kerjanya. Bumi segera mengahmpirinya.
     Aga tersadar kehadiran Bumi menghampirinya, iapun melambaikan tangan dan tersenyum licik kearah Bumi.
     “Hai bro…” sapanya membuat Bumi semakin muak.
     Belum sempat ia berkata lain, Bumi menyeret tangannya. Membawanya kepantri yang lebih sunyi.
     “Woy!! Sabar dong…”
     “Jangan lo bilang lo udah cerita soal Dian ke anak-anak!” mata Bumi menatap tajam kearah Aga yang sedikit terusik dengan tingkah Bumi.
     “Sabar… sabar bro… lo tenang dulu dong! Rahasia lo aman ama gue…” ujar Aga sombong.
     Tiba-tiba Babe muncul. Ia berjalan kebelakang pantri menuju gudang.
     “Siapa yang bisa percaya ama mulut ember lo!”
     “Gilak! Segitu amat lo? Serius, gue belum kasih tahu kesiapa-siapa…”
     Bumi menajamkan pandangannya, mengancam Aga bercerita jujur.
     Disela tatapan Bumi yang serius bukan main, Babe kembali melintas membawa dua botol galon aqua kosong. Babe terlihat bingung dengan tingkah kedua anak muda ini. Matanya menyipit memandangi wajah Aga dan Bumi sambil berlalu keluar pantri.
     “Terserah lo…” Aga mengambil langkah, tapi Bumi langsung mencegahnya.
     Melihat tingkah kedua anak itu Babe yang baru berjalan tak jauh dari pintu keluar menghentikan langkahnya, kembali melihat Bumi dan Aga.
     “Ada masalah kelen?” tanya Babe.
     “Gak ada!!” seru Bumi dan Aga serentak.
     Babepun melanjutkan langkahnya, tapi pandanganya tak lepas hingga sosoknya menghilang diujung lorong pintu.
     “Serius Bum!! gue belom cerita kesiapa-siapa! Terserah lo, mau percaya ato gak…” Aga berlagak santai. Ia meraih gelas yang berjejer dirak, dan menuangkan airputih dari dispenser tak jauh dari rak.
     Bumi mencoba menenangkan dirinya, mengendalikan paniknya. Ia duduk dibangku merah yang mengelilingi meja makan bundar.
     Dari balik gelas kaca yang ia tempelkan dibibirnya, Aga memperhatikan Bumi. Ia tertawa kecil.
     “Kenapa lo? panik gitu…”
     “Ga… aku serius, jangan sampe cerita ini terdengar Kinar…”
     “Oopps… You’re in fire men! Ternyata lo… gue kirain lo tuh tipe cowok setia, tauk nya sama aja!” ledek Aga.
     “Brengsek! Kita tuh beda, aku gak kaya lo Ga…” elak Bumi yang tak mau disamakan dengan pria-pria peselingkuh seperti Aga.
     “Jelas dong beda, dari selera aja kita dah beda… Gue selalu selingkuh dengan wanita baik-baik dan gue juga gak senekat lo, berani nyimpan tuh cewek di kamar.”
     Bumi mulai terusik dengan kata-kata Aga,. Ia berdiri dan menarik kerah baju Aga dengan kasar.
     “Dian tak semurah yang lo kira… jangan sampe aku dengar lagi lo ngerendahin Dian…” ancam Bumi mengacungkan telunjuknya tepat didepan wajah Aga.
     Perlahan Aga melerai Bumi.
     “Sabar dong!”
     Bumi kembali tenang namun tatapannya tetap tajam menusuk mata Aga.
     “Lo kok jadi gini sih Bum!” Aga mulai merasa terancam.
     “Lo kan tau sendiri kalau Dian tuh seorang…” Aga terhenti, telunjuk Bumi kembali mengacung.
     “Bum, Kinar tuh anak baik gak pantes lo selingkuhi.” Ujar Aga, berlagak menasehati.
     “Sejak kapan lo berubah jadi sok setia gitu? Oh, sejak Lina ninggalin lo? Ceritanya udah tobat nih?”
     Perkataan Bumi langsung mengena keluka hati Aga yang masih menganga.
     “Lagian siapa yang selingkuh?! Aku udah bilang, kita tuh beda Ga.” Celetuk Bumi kesal.
     “Okey! Kalau begitu kenapa tuh cewek bisa ada dikamar lo? Dan kenapa juga lo takut Kinar tahu hal ini?”
     Bumi terdiam, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ia mencoba mencerna semua pertanyaan Aga. Mungkin Aga benar, Bumi telah selingkuh secara tidak langsung. Ia menyimpan rasa terhadap Dian, tapi ia juga tak pernah mau kehilangan Kinar. Bumi terdiam, tak mampu berkata apa-apa.
     “Bum…” tegur Aga yang mendapati Bumi terdiam kebingungan.
     “Cerita dong!”
     Tiba-tiba Babe kembali dengan dua galon aqua yang sudah diisi ulang diatas troli yang ia dorong perlahan. Pandangnya masih securiga tadi menatap Bumi dan Aga.
     Bumi menoleh kearah Aga, tak memperdulikan kehadiran Babe. Ia Menatap mata Aga penuh selidik, mencari keisengan disana, tapi Bumi tak menemukannya.
     “Cerita dong… gue pasti jaga rahasia.” Aga mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, tanda ia bersungguh-sungguh. Ceritapun mengalir dari mulut Bumi.
     Cerita Bumi terhenti saat Babe yang mau keluar melintasi meraka. Dan cerita kembali berlanjut ketika Babe berlalu.

*    *    *

     Seusai Bumi menceritakan semua kejadian bagaimana Dian bisa tinggal di flatnya, Bumi jauh lebih tenang dan lega.
     “Jadi Kinar belum tahu ceritanya?” tanya Aga.
     Bumi hanya mengeleng.
     “Kenapa lo gak kasih tau ke Kinar, ya lo jelasin gimana gitu. Gue rasa kalau lo kasih tau Kinar yang sebenarnya dia pasti terima.”
     Bumi menatap Aga kecewa.
     “Jangan sampe lo nyesal Bum…” gumam Aga lirih, mengingat apa yang telah terjadi padanya.
     “Ga, Ga… lo pikir dong! Dian itu siapa dulunya?! Penari striptis! Aku gak yakin Kinar bisa nerima hal itu. Apa lagi kalau dia tahu aku sering datang di show Dian, sama aja cari masalah!”
     Sejenak keduanya saling diam. Bingung mencari solusi. Dan tiba-tiba Aga bersuara.
     “Bum…!” Celetuknya.
     Bumi memandangnya penuh perhatian, tak sabar solusi apa yang akan Aga berikan.
     “Hhmm… kamu sudah buat apa saja ama dia??” tanya Aga penuh rasa ingin tahu.
     “Shit!!” Bumi beranjak. Menyesal mempercayai Aga telah berubah.
     “Dasar mesum!!” gerutunya.

*    *    *

     Sore ini, seusai siaran Bumi langsung pulang ke rumah. Sengaja. Akhir-akhir ini jarang sekali Bumi menikmati waktu sendiri. Ia ingin makan malam bareng dengan Pak Dedek dan Mimin, selama ini jarang sekali Bumi makan malam dirumah bareng mereka karena Bumi selalu pulang larut.
     Setibanya Bumi langsung membersihkan tubuhnya. Berendam dalam bath tub dengan sabun aroma lavender yang selalu ia gunakan diflat. Seperti halnya leache martini, aroma lavender juga kerap dituding Aga pilihan yang feminim, tapi Bumi tak pernah ambil pusing dengan omongan temannya itu.
     Lama Bumi tak merasakan waktu seperti ini. Tubuhnya dibelai hangat, menetrallisir lelah yang bersarang disetiap sendi-sendi. Uap dari air rendaman itu meninggalkan bulir embun didinding kaca. Sungguh nikmat rasanya. Seolah waktu benar tak berjalan didalam ruang kaca ini.
     Selesai mandi, Bumipun memilih baju santai andalannya kaus oblong putih dan celan pendek selutut berbahan lembut. Kemudian Bumi langsung turun menuju ruang keluarga. Dari jendela terlihat Pak Dedek yang sibuk berkebun ditaman kecil disamping rumah.
     Diruang keluarga itu terpajang banyak gambar foto dan lukisan-lukisan. Disana juga ada lemari kaca yang tak terlalu besar yang memuat koleksi-koleksi barang pecah belah milik Ibu dan disisi satunya lagi tersusun rapih buku-buku tentang tumbuhan yang kebanyakan tentang bunga hias. Dideretan buku-buku itu terdapat juga album foto. Bumi tertarik untuk melihatnya.
     Bumi meraih sebuah album foto bergsampul ungu. Ia membukanya. Album ini dipenuhi dengan foto putri-putri Om Firman dan beberapa foto Ibu dan Om Firman yang berfoto dengan kangguru. Diakhir halaman selembar foto menarik perhatian Bumi. didalam foto itu ada gambar Ibu bersama Om Firman dan putri-putrinya. Disamping kedua putrinya ada dua orang lagi, keduanya berambut pirang, berkulit kemerahan dan berperawakan tinggi besar. Pastilah suami-suami mereka, fikir Bumi. Mereka tersenyum, memamerkan gigi.
     Saat Bumi mengembalikan album itu kebarisan album-album lain yang terjajar rapi, Bumi melihat sebuah album yang sepertinya ia kenal. Album itu bersampul putih yang sudah menguning karena usang. Ia meraihnya. Terpajang ditiap lembarnya gambar-gambar yang dahulu sering Bumi lihat. Foto-foto dirinya bersama Ibu, satu-satunya foto kakek dan nenek, foto Ibu bersama teman-teman kerjanya, foto Bumi sewaktu kecil dan foto Om Firman sewaktu belum menjadi suami Ibu. Setiap lembar foto menguak memori dalam ingatan Bumi.
     Bumi terus membuka tiap lembar album. Ia mendapati dirinya terhanyut dalam kenangan yang membingkai biru dihatinya. Belum habis semua lembar ia buka, tiba-tiba terperosot jatuh lembar-lembar yang Bumi tak tau apa itu. Lembar-lembar kertas yang mengusang, sebahagian beramplop air mail. Dengan rasa penasaran ia meraih lembar-lembar kertas itu. Kumpulan surat ternyata.
     Bumi merapikan kumpulan surat itu. Surat-surat itu terlipat rapih. Bumi melirik kesalah satu surat beramplop air mail yang tersobek rapi ditiap ujungnya itu, surat itu berasal dari Jakarta. Pastilah dari Bunda Wulan., fikir Bumi. Rasa penasaran semakin mendorong Bumi. Ia mengambil surat yang terselip dalam amplop usang itu.membukanya perlahan. Benar saja apa yang Bumi fikirkan, surat itu dari Bunda Wulan, adik Ibunya. Surat itu bertulis :

     Asalammuallaikum, wr, wb.

     Bagaimana kabarnya kakak dan Bumi? Wulan doakan baik-baik saja… kami disin sekeluarga baik - baik saja.

     Kapan kakak bisa pulang ke rumah kita lagi? Ibu sering menanyakan kakak. Dua hari sebelum aku mengirim surat ini ibu sakit, ia selalu menanyakan keadaan kakak.

     Kak, sekalipun Ayah bukanlah ayah kandung kakak tapi sebenarnya ia sayang sama kakak. Ia menyesali tindakannya mengusir kakak dari rumah ini. Ia tak bermaksud mengusir, ia hanya mau menjaga kehormatan keluarga kita dimata masyarakat disini. Jadi saya harap kakak bisa pulang akhir bulan ini. Kita kumpul dibulan puasa ini…

     Kami sekeluarga disini benar-benar mengharapkan kakak bisa pulang kesini. Semua merindukanmu kak…

     … … …

     Bumi terbelalak tak berkedip. Ia baru tahu kalau Ibu bukanlah anak kandung. Dari surat yang ia baca Bumi tahu kalu Ibu adalah anak Nenek dari suami yang berbeda. Ibu dan Bunda Wulan adalah saudara seibu berbeda ayah.
Rasa penasaran membuat rasa ingintahunya semakin menggebu. Ia mengembalikan surat yang telah ia baca kedalam amplop dan membuka surat selanjutnya.

Asalammuallaikum, wr, wb.

… … …

Kak, kemarin aku bertemu dengan Bang Habibi. Ia bertanya tentangmu. Katanya ia menyesal meninggalkan kakak. Katanya, orang tuanyalah yang memaksanya meninggalkan kampung untuk sekolah militer.

… … …

Bagaimana kak? Ia menanyai alamat kakak?

… … …

Bumi kembali terperangah, tak berkedip. Ia kembali menemui hal yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ternyata Ayah yang sangat Bumi benci mencarinya. Dia kembali meraih surat yang lain.

… … …

Bang Habibi terus menanyai kakak. Kasihan aku melihatnya… namun atas perintah kakak aku mengjaga alamat kakak rapat rapat. Katanya esok lusa ia akan menikah dengan gadis pilihan kedua orang tuanya…

Ia menitipkan sebuah alamat kepadaku. Katanya suatu saat ia berharap kakak dapat memaafkannya, ia juga salam pada Bumi…

… … …

Bumi berhenti membaca. Segunung emosi yang dahulu mendingin kini kembali bergejolak didalam hatinya. Mata Bumi memerah, menahan kesal. Pria itu bernama Habibi. Pria pengecut yang membuat Ibu menderita. Setengah mati Bumi meredam marah. Ia menarik nafas panjang dan melanjutkan bacaannya. Diakhir surat ia mendapati sebuah alamat.

‘…Mandailing Natal…’
Tak jauh dari Medan, fikir Bumi.
Ibu menyimpan semuanya dari Bumi. Bumi tak dapat berkata apa-apa. Bumi tahu seberapa sakit yang Ibu kecap, dan Bumi tak akan pernah menambah sakit itu.
Belum habis semua surat Bumi baca, ia memilih berhenti. Beberapa surat sudah cukup menjelaskan semua yang sering ia tanyakan dalam hati. Ia kembali menyusun surat-surat itu diantara lembar album. Entah apa yang mendorongnya, tiba-tiba Bumi mengambil surat yang memuat alamat ayahnya. Menyalin alamat itu kedalam ponselnya dan kemudian meletakannya kemali kedalam selipan album.

*    *    *

Sejak sore tadi Bumi tak henti-hentinya memikirkan surat-surat itu. Habibi nama pria yang seharusnya menghiasi nama belakang Bumi itu terus menghantui. Sekian lama Bumi tak pernah menganggapnya ada kini muncul bagai mimpi buruk yang merongrong tidur lelapnya.
Berjuta tanya menumpuk dihatinya. Bunda Wulan bercerita dalam suratnya seolah pria yang mengaku ayah Bumi itu begitu peduli dengan nasib Ibu yang ia abaikan sebelumnya. Jika pria itu peduli mengapa ia meninggalkan Bumi dan Ibunya. Mengapa juga ibu tak pernah memberitahukan Bumi tantang hal ini. Mungkin ibu sudah begitu terluka hingga ia tak pernah ingin Bumi mengetahui hal ini.
Ia kembali meneguk kopi, kemudian membuka jendela, membiarkan angin malam masuk mengisi kamar tidurnya. Matanya menatap bintang-bintang yang bersinar redup tertutupi awan mendung. Matanya kemerahan. Tangis tertahan dipelupuk matanya memantulkan cahaya bulan yang juga bersembunyi dibalik awan mendung. Kali ini tangis itu tak terbendung. Tatapan Bumi semakin lirih, seolah bulan akan segera lenyap tertelan mendung untuk selamanya. Butir bening menggaris diwajahnya. Bumi tak kuasa menahan emosi, ia menangis begitu haru.
Sesal yang menumpuk melebur bersama tangisnya. Ia menangis untuk dirinya sendiri. Untuk kehadirannya yang menyebabkan Ibu begitu menderita. Bumi malu mengapa harus darah si pria pengecut itu yang mengair ditubuhnya.
Semakin malam udara semakin dingin. Semilir angin perlahan bertiup lembut dengan dingin yang menusuk, tapi Bumi tetap tak bergeming, ia semakin tenggelam dalam sedihnya.

*    *    *

Pagi hari Bumi bangun. Matanya masih sembab karena semalam. Tubuhnya lemas, masih ingin berlama-lama diatas tempat tidur. Diotaknya masih terbayang isi surat semalam. Ia melihat kearah jendela. Silau matahari menyambut tatapannya. Jendela itu ternyata terbuka semalaman, Bumi lupa menutupnya.
Tak mau bemalas-malas terus, Bumi langsung bangkit dari tempat tidur. Berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia mendapati dirinya didalam cermin yang ada dikamar mandi. Sesosok pria muda bertelanjang dada, hanya menggunakan boxer. Wajahnya sembab, rambutnya berantakan dan baunya menyerupai naga. Ia memutar gagang keran, mengambil air dan membasuhkannya kewajahnya. Saat ia kembali bercermin ia mendapati wajahnya yang basah. Tiba-tiba hatinya berbisik :
“Seperti apakah wajah laki-laki yang telah membuat Ibu memderita?” Gumamnya.
“Arrrrggghh!!” Bumi membuang mukanya dari hadapan cermin yang merefleksikan wajahnya yang sudah pasti mirip dengan laki-laki yang mengaku ayahnya itu.
Ia segera beranjak ketempat shower, melucuti boxernya dan membiarkan air shower mengalir sejuk membasuh tiap jengkal tubuhnya. Dalam hati Bumi berharap bayang-bayang ayahnya segera lenyap bersama basuhan shower.
Seusai membersihkan diri Bumi langsung mempersiapkan diri untuk beraktivitas. Pagi ini memilih stelan kaus berkerah berwarna putih dan jeans berwarna biru lengkap dengan jaket hitam dan sepatu katsnya. Ia segera turun dan langsung menuju dapur. Seperti biasa disana sudah tersaji sarapan Bumi pagi ini. Tak seperti waktu ia pertam kali kesini, sarapan kali ini sedikit menyusut. Disana hanya ada roti bakar dan berbagai selai. Stroberi, nenas, kacang, madu dan mentega. Bumi memilih sarapan roti dengn selai madu dan segelas jus jeruk segar. Seusai sarapan ia langsung berpamitan dengan Pak Dedek dan Mimin.
Kedua penjaga rumah itu saling berbicara yang Bumi tak tahu tentang apa. Pak Dedek mengaduk-aduk isi goni yang Bumi sangka pupuk, sedang Mimin yang duduk dibangku taman belakang tak jauh dari Pak Dedek, sibuk dengan sayur-sayurnya. Dari pintu belakang Bumi teriak kearah mereka.
“Pak, Min…! aku pergi dulu ya!”
Keduanya membalik keBumi.
“Hati-hati mas!” teriak Pak Dedek.
Bumi melambaikan tangan.

*    *    *