Selasa, 04 Mei 2010

Latte and Dian

Sudah hampir satu jam Dian menunggu di kafe tempatnya biasa menghabiskan waktu bersama pria yang telah ia pacari hampir setahun ini. Di temani latte panas dan sepotong brownies coklat yang beraroma begitu menggoda, namun kedua menu yang biasa menemaninya itu tak juga dapat membuatnya tenang. Rasa galau yang mengaduk-ngaduk perasaannya, menelan habis seleranya.


Suara lembut Michael buble mengalun sempurna merambati suasana yang terasa semakin mengharu biru. Galau di hati Dian semakin menjadi-jadi. Ia menggigit bibirnya, pertanda kawatir mulai menghampiri. Tatapnya menjelajah keseluruh sudut kafe, mencoba menemukan sesuatu yang mungkin dapat sedikit menenangkannya dan tak beruntung, Dian hanya mendapati beberapa penghuni kafe yang bereksprresi wajah hampir sama, atau malah tak berekspresi sama sekali. Roman wajah seorang yang kalah taruhan pertandingan liga Inggris setelah semalam suntung bergadang menyaksikan pertandingan. Hanya bebrapa pelayan yang tampak begitu menikmati waktu. Pelayan itu terdengar bersiul pelan mengikuti alunan lagu sambil membersihkan carkir-cangkir keramik yang bergantungan rapi di rak meja bar. Tak ada waktu yang tepat untuk menikmati detik-detik waktu berjalan lambat selain saat kafe sesunyi ini.


Hujan semakin deras, bunyi gemuruhnya samar terdengar di sela-sela alunan suara empuk Michael buble . Kilat dan petir menyambar-nyambar mengagetkan, memantulkan kilatannya yang menembus etalase kaca kafe, seperti blitz kamera paparazi yang sembunyi-sembunyi mengambil gambar dari balik etalase. Diluar terlihat begitu gelap, hampir tak terlihat seperti sore hari. Hanya beberapa mobil saja yang melintas di jalan yang tak terlalu besar itu dan beberapa pejalan kaki dan pengendara sepeda motor memilih berteduh ditepi rumah toko yang berjejer rapi. Beberapa anak kecil dengan jas ujan seadanya menawarkan jasa payung kepada pengguna jalan yang ingin terselamat dari hujan. Mereka berlari-lari ditengah hujan dengan payung berwarna-warni, beberapa malah menari seolah hujan yang begitu ditunggu membawa hadiah terindahnya, menghangatkan suasana yang dingin dan murung sore ini. Segaris senyum tersungging di wajah Dian, tertular girangnya hati para anak-anak payung itu.


Tatap Dian kembali ke meja bundar tempatnya meletakkan semua barang-barang bawaannya. Ia kembali memandang latte yang sudah kehilangan panasnya dan sepotong brownies coklat yang juga mulai kehilangan aroma lezatnya karena terbawa udara sejuk yang meliputi seisi kafe. Permukaan latte yang pekat itu memantulkan tatapan Dian yang mulai meredup, kehilangan semangatnya. Tiba-tiba terlintas kenangan-kenangan yang pernah terajut di tempat ini bersama sang pria yang kini ia tunggu kehadirannya. Dahulu ia tak pernah menyukai rasa pahit latte hingga pria yang sempat membuatnya tergila-gila itu mengubah nya menjadi manis dengan tingkah, kata-kata, semua hal-hal romantisnya. Dan kini, entah setan apa yang membuatnya yakin akan berbalik meninggalkan pria yang telah menemaninya seajuh ini. Atau Dian hanya terlambat tersadar kalau ini semua bukan jalannya.


Sesekali ia menoleh kearah pergelangan tangannya yang dililit arloji mungil. Tepat satu jam ia berada disini, yang dinanti tak kunjung terlihat membuatnya semakin risau. Perlahan-lahan lengankurusnya bergerak meraih cangkir keramik berisi latte yang sudah dingin. Memangdangi bayangnya yang terpantul di permukaan pekat latte sekali lagi, dan ia hanya mendapti gundah. Sedikit tak yakin ia mendekatkan cangkir itu keujung bibir merahnya, mereguknya perlahan dan yang tertinggal setelahnya adalah pahit. Pahit yang menempel di bibirnya, membuatnya kembali menyadari satu persatu kelupaannya tentang pria yang ia tunggu. Segera potongan kecil brownies coklat menetralisir pahit di mulutnya. Rasa coklatnya begitu kental terasa, Dian sangat menyukainya.


Hujan mulai mereda. Matahari mulai menunjukkan batang hidungnya lagi. Jalan kecil itu mulai kembali lalu lalang. Michael buble sudah berganti dengan lagu-lagu riang Maliq D'Essentials. Pelayan yang tadi bersiul bahkan mulai berdendang mengikuti hentakan irama riangnya. Suasana hati Dian berangsur membaik, tak ada yang perlu ia tunggu lagi disini. Mungkin pahit latte menempel di bibirnya, namun ia sadar ini adalah rasa sebenarnya. Ia segera beranjak menuju pintu keluar dan mendapati rintik-rintik halus gerimis yang tersisa berkilauan bagai keristal disapu cahaya sulau matahari senja. Langkahnya ringan menemukan kembali ceria yang sempat menghilang. Tanpa sengaja, Dian melihat uarian cahaya yang menggaris warna-warna indah di langit biru yang tak lagi kelabu. Pelangi. Dengan senyum simpul ia memulai langkahnya dengan doa di senja yang indah ini.


[Semangat!!! Mdn.16:55.040510]

0 komentar:

Posting Komentar