Selasa, 07 September 2010

Shadows


To the shadows by Tenteri*
Kupandangi setiap sudut ruang di kamar itu. Kepingan hatiku bertebar disana. Bertebar menjadi kenangan-kenagan tentangnya. Semua seolah kembali. Bayang-bayang mu kembali menghampiri, memenuhi benakku. Tak banyak yang bisa kulakukan selain memaki, menghardik dan menyesali segala yang terjadi antara kita. Antara aku dan kau.  

Ku hisap kembali rokokku. Bayang kenangan itu mulai terlihat dimana-mana. Seolah memutar kembali adegan terindah yang pernah kita perankan. Kita “perankan”, karena sesungguhnya kau hanya bersandiwara. Di tempat tidur itu. Di sofa merah itu. Di lantai itu. Kita mencurahkan semua kemampuan untuk menyatukan rasa yang ternyata kontras berbeda.

Semua seperti potongan-potongan film yang diputar tepat dihadapanku. Mataku seolah dipaksa untuk melihat bayang demi bayang, kenangan demi kenangan yang dibentuk pikiranku sendiri. Sebisa mungkin kucoba menikmatinya, namun perih yang kurasa. Luka itu kembali menganga dan aku tak tahu entah kapan akan terobati.

Yang kumiliki sekarang hanya ini. Bayang-bayangmu, kenangan-kenangan bersamamu dan luka ini. Aku membencinya, sungguh. Aku ingin menghapus semuanya, namun segalanya telah membekas di dalam hati dan ingatanku. Dan mengapa aku yang harus menyimpan segalanya. 
Shadow two by Frozen Pandaman*

Ruang ini serasa seperti menghimpitku. Bayang-bayangmu menyeruak memenuhi, membuatku semakin sesak. Tak banyak yang bisa kulakukan selain menerima keadaan ini. Aku hanya ingin melupakan segala yang terjadi. Terlalu indah memang, namun aku tak ingin hati ini semakin terluka.

Pertemuan kita sungguh singkat dan tak pernah disangka-sangka akan berakhir begini. Aku tahu kau punya alasan yang kuat untuk keputusan ini. Ini  yang terbaik untuk kita, aku menyadarinya. Kita sungguh tak punya jalan. Hubungan ini sungguh hanya sia-sia. Sebab itu kubenci kau seperti kubenci diriku yang begitu mencintaimu. Seharusnya cinta ini tak ada diantara kita karena cinta ini akan melukai banyak pihak, namun pantaskah kita menyalahkan cinta?

Rokokku semakin menyusut. Rasa hangat menyentuh jari telunjuk dan jari tengahku saat terakhir kuhisap rokok itu dalam-dalam. Dalam-dalam seolah ingin kuhisap semua bayangmu dan menghembuskannya penuh kepuasan ke udara bebas, menjadi asap yang menari menjalari udara. Kemudian kutindas puntung rokok itu sungguh-sungguh, berharap semoga rasa ini segera padam bersamanya.

Ingin menangis rasanya, ingin teriak rasanya, itu mungkin lebih baik. Tapi aku tak bisa, semua tertahan menyesakkan dan semakin perih kurasa. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak terima dengan keadaan ini, keadaanku mencintaimu yang sesungguhnya tak akan pernah kumiliki. Cinta tak harus memiliki, begitu yang sering kudengar, namun mengapa jalannya begitu sulit dilalui.

Waktu akan menyembuhkan luka ini, begitu juga nasehat yang sering kudengar. Semoga waktu benar-benar cepat bertindak. Mengamputasi rasa ini sebelum meracuni seluruh hatiku, seluruh pikiranku.

Aku mencintaimu, itu kenyataannya. Dengan segenap kesadaran, rindu ini mendefenisikan perasaanku, buah cinta yang tak menemukan balasan. Cinta ini cacat, tak memiliki masa depan dan tak mungkin kita jalani. Terlalu banyak hati yang akan tersakiti.

Hanya bayangmu yang tersisa disini. Bayangmu yang mengulang adegan tiap adegan yang pernah kita mainkan. Di ruang ini aku berdoa, semoga semua cepat berlalu. Kuharap sepenuh hati, semoga gelap benar-benar menelanku, membiusku hingga tak kurasakan lagi perasaan ini.

Kunyalakan lagi sebatang rokok karena ternyata tak cukup satu batang untuk menyudahi malam penyiksaan ini.

Pikirku melambung jauh, membayangkan apakah kau merasakan hal yang sama denganku? Tapi kau pasti dengan mudah mengatasinya. Mengapa kau tak mengabariku? Katakan sekarang kau sedang bersimpuh, menangkupkan tangan dan memejam penuh harap meminta ampunan-Nya, atas apa yang telah kita perbuat, atas rasa yang kini kita kecap. Aku akan turut bersimpuh disini, berdoa kepada Nya. Namun aku tak akan menundukkan wajahku, tak akan memejam karena yang aku butuh adalah jawaban atas segala yang terjadi dan ku rasa. Jika benar segalanya adalah kesalahan, mengapa rasa ini harus ada padaku. Atau katakan kau benar-benar telah melupakan segalanya, hingga dapat kupinta kau untuk memberitahuku bagaimana caranya menyudahi rasa ini. kumohon jangan biarkan rasa ini terus menyiksaku.

Jarak yang tergaris antara kita bukanlah pilihan, karena tak ada pilihan yang bisa kita pilih. Ini adalah solusi. Realita yang kita hadapi begitu kompleks, menyadarkan kita akan lumpuhnya hubungan ini. Mataku membelalak mencari pembenaran atas rasa ini namun seolah tertutupi cinta yang ternyata cacat, pikiran jernihku teracuni cinta ini.  

Aku manusia biasa. Bahagia, itu yang kucari dari hidup yang tapaki. Aku tak mau terlarut dalam ego ini, karena sesungguhnya kau punya hak penuh atas apa yang terbaik untuk hidupmu. Kebahagianmu, kebahagianku. Mungkin memang bukan ini jalan kita. Ini hanya persinggahan yang membuat hati kita semakin kaya akan rasa.

Membencimu adalah satu-satunya jalan untuk menghapus rasa ini. Tak mungkin kusimpan segalanya, terlalu berat rasanya. Cinta ini adalah kesalahan, kita sepakat akan hal itu. Kesepakatan yang ternyata kupungkiri.

Kini, aku hanya bisa meratapi kepergianmu yang menyisakan kenangan yang mengiris tiap cinta yang kupunya untuk mu. Didalam gelap kucoba untuk menikmati potongan-potongan bayanganmu… 

*[Pictures took from http://www.fuelyourphotography.com]      

2 komentar:

Anonim mengatakan...

>>Blue Girl

[Mengapa seolah isyarat di hatiku terbahasakan lewat goresan ini...????]

Cinta tak harus memiliki...
Aku tak setuju!!!
Itu bukan cinta namanya...
Jika bukan cinta, lantas kita namai apa rasa yg sesaat itu?
Hmmmn..,
benarkah hanya sesaat??
Jika ternyata sampai detik ini dengan begitu lugasnya dapat kita tuturkan..
Yg ada...rasa itu tetap ada,membekas...tapi kita mengecapnya berbeda seiring dengan pebedaan waktu, perubahan keadaan dan goresan jarak yg ada diantara kita yg meniti rasa itu...

Waktu yg akan menyembuhkan...
Lagi-lagi aku harus jujur, aku kurang setuju...
Yang ku tahu, bahwa hanya hati lha yg akan menyembuhkan 'dirinya' sendiri...
Hati yg memaafkan diri kita sendiri,
hati yg ikhlas menjalankan kehidupan kita selanjutnya,
hati yg _sampai kapan pun_tetap siap menerima semua rasa yg akan hadir dan pergi jika tlah tiba waktunya...
Dan hati yg benar-benar mau berbagi rasa dengan hati yg lainnya kelak !

Tak ada pesta yg tak usai...
Itu aku setuju!

M. Remie mengatakan...

Gw setuju semua pendapat lo!! Waktu yg akan menyembuhkan?? Hati itu sndiri lah eksekutornya...
Tp cinta mungkin memang tak selalu harus memimiliki. Mungkin aja dia transform ber"title" apa aja, teman, sahabat, keluarga, pacar atau bahkan musuh... Tp ada satu waktu dimana kau mencintai orang tanpa harus memilikinya...

Posting Komentar