Rabu, 09 Maret 2011

...Covered jazz...

Add caption

Perlahan kerlap kerlip lampu yang tak henti menghujani stage mulai reda. Dian mulai melangkah menjejak tempatnya menumpakah segala kekawatiran. Lampu sorot perlahan menyorotinya hingga menempatkannya tepat di tengah panggung. Sekarang segala perhatian seluruh pengunjung berpusat di dirinya. Sang primadona mulai berpijak pasti dan saat suara merdu itu memenuhi seisi club seolah semua kegitan terhenti, semua terpukau dengan suara yang merobek hati para penggemarnya.

Hentakan lembut lagu-lagu jazz yang ia lantunkan bagai jiwa yang menemukan tubuh utuh dalam diri sang primadona. Rasa gugup yang kerap muncul di awal-awal pertunjukkannya seolah menguap bersama hangat nada-nada yang menyentuh telinga. Tak ada yang lebih nyaman daripada saat kau menemukan dirimu dalam hangat jiwa yang bergejolak seperti asmara. Seperti jatuh cinta lagi, hangatnya selalu membuai hingga ke mimpi.

Club kecil ini tak seramai club lain di Jakarta, namun atmosfir yang tertebar mampu membakar api rindu yang berdiam di jiwa setiap pengunjungnya. Club tua yang tak pernah berusaha untuk menjadi liar seperti club kebanyakan. Bertahan dengan citra sederhananya. Itu sebabnya Dian sangat mencintai tempat ini. Tempatnya menumpahkan segala kekawatiran akan hari esok, akan masa depan buah hatinya yang tak pernah mengenal ayah mereka dan rasa kecewa yang masih menganga akan cintanya yang tak berbalas. Semua tertumpah bersama lantunan suara yang menebar berbagai emosi.

Re duduk manis di bangku bar yang berhujan cahaya redup dengan sebotol bir yang selalu setia menemaninya. Dari tatapan sendu namun hangat itu sangat jelas terlihat, ia menangkap emosi yang di tebar sang primadona.

Club kecil yang dapat melumat siapa saja. Yang sedang jatuh cinta, sedang mabuk kepayang atau pun yang sedang patah hati. Semua menyatu dan Dian meraciknya begitu cerdas. Merangkum satu dalam nyanyiannya. Tak ada lagi yang sedang jatuh cinta atau pun patah hati, semua merasakan hangat yang sama. Sebagian pasangan yang sedang di mabuk kepayang saling mengambil posisi di lantai dansa yang mungil, menjadi satu dalam tari yang penuh kelembutan mencerminkan isi hati mereka yang sedang mabuk akan cinta. Sebagian yang patah hati cukup dengan duduk manis menikmati suasana hatinya, atau sekedar menari lirih bersama sebotol minuman yang menjadi sahabat terbaik saat itu.

Seperti saat pertama Re jatuh cinta dengan tempat ini, surga kecil para penikmat cinta. Saat yang juga membuatnya begitu yakin akan perasaannya dengan sang primadona. Ia tak pernah perduli dengan spekulasi halus yang terjadi di kalangan para sinis sang primadona. Katanya Dian itu perek. Anaknya lahir tanpa ayah. Perempuan pake-an. Re sungguh tak pernah perduli. Masih terbayang jelas di ingatannya kejadian yang menyebabkannya jatuh hati dengan sang primadona. Saat itu Re yang sedang patah hati entah mengapa terdampar di club mungil itu. Seperti pengunjung patah hati kebanyakan, tak ada lagi yang lebih tepat untuk diajak berteman selain minuman, lantas Re segera menjadi penghuni Mars – ia mabuk. 

Saat itu tak ada ekspektasi apapun terhadap club mungil dan sang primadonanya, namun hangat itu nyata ia rasakan menyesaki hatinya yang patah. Re tak sadarkan diri hingga club bubar. Sialnya semua isi kantungnya di lucuti pencuri hingga Dian yang saat itu iba melihat keadaannya pun terpaksa merelakan tempat tidurnya untuk Re si pecinta yang patah hati berat. Di sebuah rumah sederhana berdinding batako itu, Re terhenyak dari mabuknya. Samar ia mendengar suara lembut Dian masih mengalun di kamar yang tak jauh dari kamarnya. Dian menyanyi begitu lembut untuk kedua buah hatinya sebagai pengganti dongeng yang selalu ingin ia bacakan saat mengantarkan buah hati tercintanya menyambut mimpi, namun pekerjaannya selalu tak memberi waktu lebih untuk membiarkannya menghabiskan satu dongeng pun. Suara yang begitu memabukkan, seperti mantra kantuk pengundang mimpi. Re kembali tak sadarkan diri hingga pagi menyongsong.

Re terbangun dan sedikit terkejut dengan keadaanya. Saat mata letihnya terbuka ia disambut dengan tatapan lugu dua malaikat kecil Dian. Mungkin mereka berumur 4 dan 5 tahun, usia dimana rasa ingin tahu begitu mengusik.

“Mom, dia bangun...” gumam si sulung yang tak melepas tatapannya dari Re.

“Mom, dia papa bukan??” tanya si bungsu kepada Dian menghampiri mereka.

Dian hanya tersenyum menggeleng dan segera meraih si bungsu. “Kita sarapan yuk...”. Diraihnya tangan si sulung dan langsung menuju dapur tanpa begitu menghiraukan Re. “Baju kamu basah, kamu bisa pakai kaus yang kuletak di samping bantalmu.”

“Oh...” Gumam Re yang masih belum sepenuhnya sadar akan keadaanya. Tepat di tepi bantal tempatnya tidur ia dapati sehelai kaus berwarna putih terlipat rapi. Ia segera memakainya dan menyusul Dian menuju ruang yang terlalu memaksa menjadi dapur. Dapur merangkap ruang keluarga mungkin.

Di meja persegi itu tersaji beberapa menu sarapan yang dibuat langsung oleh sang tuan rumah. Re tak langsung duduk, ia masih terlihat bingung, mencoba mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi semalam hingga sekarang ia terdampar disini.

“Saya Dian, semalam kamu mabuk, dompet dan ponsel kamu di curi orang... jadi aku bawa kesini... Silahkan duduk, sarapannya seadanya...” jelas Dian.

“Oh, terimakasih...” Re tak tahu harus berkata apa lagi, ia baru saja menerima satu kenyataan bahwa dompet bahkan handphone miliknya telah raib bersama maling berkedok anak dugem dan ia hanya mampu mengucap terimakasih. Re lupa bagaimana harusnya berekspresi, ia masih meraba-raba ingatannya.

Di depannya tersaji menu sarapannya pagi ini. Nasi goreng lengkap dengan telur matasapinya yang kuning mengkilau, beberapa potong roti isi dan segelas susu. Ya, mungkin ia membutuhkan asupan energi, setelah semalam perutnya habis di ubek-ubek alkohol. Re segera mengakhiri rasa laparnya. Ia melahap semua yang tersaji untuknya.

Tak banyak pembicaraan terjadi dimeja itu. Re terlalu sibuk dengan suapan-suapan sarapan lezatnya membuat Dian tak kuasa menahan senyum.

“Papa lapar ya mom?” tanya bocah kecil dipangkuan Dian memecah hikmatnya Re dengan mulut yang masih mengulum penuh sarapannya.

Re tak mampu berkata-kata, ia tak ingin semua isi mulutnya berhambur keluar. Melihat tingkah Re, Dian semakin merasa geli, ia tertawa pelan.

“Maaf, ia memanggil setiap laki-laki dewasa yang datang ke rumah ini dengan sebutan Papa..., lanjutkan saja sarapan kamu.” Dian bergumam kepada si kecil, setengah berbisik, “Panggil Om...” dengan senyum yang masih mengembang.

Re segera menelan kulumannya dengan menegak habis segelas susu yang disiapkan Dian. “Maaf, saya Re...” suara Re masih terdengar canggung.

“Okey Re, kamu buat diri kamu nyaman di rumah kecil kami, mereka harus sudah segera pergi sekolah.” Dian segera beranjak memboyong kedua buah hatinya. Tak lama Dian siap berlalu mengantar kedua buah hatinya kedepan pintu dilantai dasar, menanti mini bus yang sesaat kemudian datang menjemput keduanya. Tinggallah mereka berdua di rumah itu.

Re masih belum beranjak dari tempat duduknya. Semua sarapan sudah habis ia lahap yang tertinggal hanya dirinya yang meraba-raba ingatannya.

“Kamu mabuk berat semalam, aku membawa kamu kesini karena pihak club tak ingin kau menginap disana dan aku juga tak tega melihat kau menginap di pelataran. Berita buruknya semua barang di dompet kamu raib, kecuali kunci mobil kamu.” Dian menunjuk tempat dimana ia meletak kunci itu. Diatas meja mungil ditepi tempat tidurnya tadi. Dengan sigap Dian segera kembali ke kerjaannya. Ia memunguti piring kosong yang berserak diatas meja bundar itu dan membawanya ke washtafel untuk segera dicuci.

“Maaf aku jadi merepotkan kamu.” Seru re yang mulai tersadar penuh.

Dian hanya tersenyum sambil membilas piring-piring kotor di washtafel itu. Baginya tak ada yang merepotkan selain menjawab pertanyaan anak-anaknya yang mulai penasaran dengan ayah mereka. Harta Dian satu-satunya adalah kedua putrinya, tak ada yang lain.

“Kamu tinggal sendiri?” Tanya Re yang mencoba sedikit basa basi.

Dian menggeleng, “Bertiga...”, jelasnya sambil menyelesaikan cuciannya.

“Oh ya...” Gumam Re merasa malu mendapati dirinya terlalu kentara berbasa basi.

“Kamu patah hati...” gumam Dian asal.

Sejenak terjadi kekosongan diantara detik mereka, atau hanya Re yang merasa begitu. Perkataan asal Dian tepat mengenai hati Re yang masih remuk redam karena percintaan yang tak berjalan sesuai keinginannya. Sepenggal luka yang masih terasa pilu kembali berdenyut detik itu juga.

“Maaf...?” tanya Re, memastikan kembali perkataan Dian.

Dian hanya tersenyum. “Sudah lupakan saja... Saya hanya iseng...”

“Darimana kamu tahu aku sedang patah hati?” belum sempat Dian menghabiskan perkataannya, Re memotongnya telak.

Dian menghela napasnya, mandapati dirinya yang begitu usil tertangkap basah oleh Re, namun senyumnya tak lantas memudar. “Hanya ada dua karakter pengunjung yang betah berlama-lama di club itu, sedang di landa cinta atau sedang patah hati. Dan menurut saya kamu adalah golongan yang kedua.” Dian menyudahi kerjanya dengan mengelap kedua belah tangannya dengan secarik serbet kucel.

“Bagaimana kamu tahu?” Re semakin penasaran dengan wanita yang baru beberapa menit ia kenal -jauh dari kesan sang penyanyi primadona yang selalu terlihat dingin dan centil di club- begitu membuatnya terpancing rasa ingin tahu yang berlebihan. Efek dari sensasi rasa dimengerti. Bukankah orang-orang yang sedang patah hati tingkat sensitifitasnya sedikit bertambah dan saat kau tepat menyentuh luka dihatinya maka seketika ia merasa kau menemukannya, mengerti akan apa yang ia rasakan. Atau malah sebalikknya, ia akan berontak tak ingin di sepelekan. Dan yang terjadi pada Re adalah rasa dimengerti, ia terlalu lama terabaikan.

“Lupakan saja...” Dian menyesal dengan semua mulut besarnya. Ada sesal yang tergantung disana, luka lama itu tak kunjung sembuh. Ia berlalu menuju kamarnya, dan segera menyiapkan diri untuk rutinitas yang selalu menantinya.

Obrolan mereka terputus. Kedua insan itu saling menikmati luka mereka masing-masing. Luka karena cinta mereka yang ternyata tak sesempurna yang diharapkan.

“Maaf atas obrolan tadi.” Ujar Dian yang telah siap dengan seragam kerjanya. “dan maaf juga, karena aku sudah harus pergi bekerja dan kamu tak boleh berlama-lama disini.”

“Oh...” Re segera beranjak, mengenakan kembali kemeja yang sudah kusut dan berbau itu.

Keduanya meninggalkan flat yang berada di lantai tiga itu. Tak ada lagi percakapan yang terjadi, masing-masing tenggelam dengan perasaan mereka.

“Kita bareng saja...” ajak Re setelah menyetop sebuah taxi yang melintas ditepi pasar.

“Oh, tak perlu... saya naik angkutan umum saja. Lagian kamu harus ngambil mobil kamu dulu kan.” elak Dian.

“Okey, kalau gitu aku duluan... dan sekali lagi terimakasih.” Re berlalu dengan perasaan yang masih berkecamuk. Ia tak hanya telah kehilangan cintanya tapi juga dompet dan ponselnya dan sekarang ditambah lagi dengan hadirnya Dian yang membuat harinya semakin membingungkan.

Hanya sesingkat itu pertemuan mereka namun siapa sangka semua serasa begitu membekas dihati sang pangeran yang patah hati. Hari-hari selanjutnya kekaguman Re bertambah saat melihat Dian penguasa panggung club mengembangkan sayap-sayap penuh warnanya. Lantas Re pun menjadi pengunjung reguler club.

Berawal dari niat ingin membalas budi, Re memberanikan diri untuk menawarkan tumpangan kepada Dian yang -beruntungnya- tak menolak niat baik Re. Sekali, dua kali membuat mereka semakin dekat. Kedekatan yang disambutan Re dengan hadirnya perasaan kagum yang teramat kepada sang primadona club. Re jatuh hati kepada Dian.

*        *        *

http://www.allposters.com/
Diatas panggung itu, Dian mencurahkan semua perasaannya. Ia tak dapat lagi menyembunyikan segalanya disana. Cintanya yang hilang menyisakan luka yang teramat memilukan.

Club ini seperti kotak pandora tempat cinta dan luka menemukan kebersamaannya dalam balutan suasana di level yang sama. Sama-sama menemukan jiwanya di alunan musik jazz yang mengalun penuh emosi. Emosi yang membakar asmara siapa saja yang di mabuk cinta dan emosi siapa saja yang sedang berusaha menikmati perihnya luka karena cinta.

Semua pengunjung club ini adalah pemuja cinta, penjudi cinta yang siap bertaruh dengan hatinya. Siapa kalah, maka terluka. Luka yang akan membawanya kembali kesini. Setidaknya begitu yang Dian rasakan. Ia pernah merasakan kebahagian seperti yang sepasang pengunjung rasakan saat jazz membakar asmara, seolah merekalah asmara itu sendiri. Hingga saat cinta itu hilang, ia kembali terdampar di meja bar bersama segelas besar beer yang berulang kali terisi, berusaha menikmati perihnya bersama alunan jazz, seperti yang dilakukkan Re saat itu.

Namun sekarang semua berubah, Dian memilih menjadi penonton saja. Ia tak ingin lagi bertaruh dalam perjudian perasaan. Baginya sekarang cinta adalah kedua buah hatinya. Tempat segala kebahagiaannya terbit, tempat dia melabuhkan kasih, tak ada lagi yang lebih berarti dari mereka. Mereka adalah alasan Dian tetap terus menjejak di dunia ini, pembakar semangatnya untuk terus bertahan dalam kesendiriannya.

Laki-laki pengecut itu yang mengenalkannya dengan club ini. Bersamanya, Dian pernah merasa menjadi asmara yang siap membakar seisi dunia. Laki-laki yang ia percaya menjadi ayah dari anak-anaknya yang ternyata tak lebih dari sekedar penipu. Laki-laki itu meninggalkannya dengan alasan yang tak jelas dan Dian tak pernah terima akan itu. Ia pernah menghabiskan masa-masa kelabu menangisi kepergian bajingan yang telah meninggalkan benih diperutnya yang semakin membesar. Saat itu, ia sungguh tak siap dengan kehadiran si bungsu tanpa seseorang yang seharusnya menanggungjawabi. Namun jazz tak hanya memberinya ketenangan dikala hatinya ingin meledak tapi juga kekuatan yang akhirnya membuatnya mempertahankan janin si bungsu. Dian pun jatuh cinta dengan jazz.

Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk membahagiakan kedua anaknya. Ia akan menggadaikan apa saja demi menghidupi kedua buah hatinya. Waktu, keringat bahkan jiwanya. Siang ia menjadi pelayan di sebuah restoran di pusat kota, malam ia menjelma menjadi primadona di club. Saat itu panggung menjadi dunianya dan jazz menjadi jiwanya.

*        *        *

Re menangkap semua emosi yang Dian tebar di club itu, membuatnya semakin mengagumi sosok Dian. Matanya lekat memperhatikan setiap gerak gerik Dian diatas panggung.

Dan ia tak bisa menyembunyikan perasaanya terhadap Dian. Seisi club tahu Re sedang di mabuk cinta dan malang cintanya tak berbalas. Tak sedikit wanita yang datang menghampiri Re yang biasanya selalu duduk sendiri di sudut bar. Namun semua wanita berlalu begitu saja setelah mendapati ketertarikan Re hanya terpusat kepada sang primadona.

Berkali-kali Re melamar cinta Dian, berkali-kali pula Dian menolaknya. Namun sungguh tak ada lagi yang begitu ia inginkan selain Dian, tak satupun. Lantas jadilah ia si pengemis cinta yang tak henti mengharap cinta Dian jatuh untuknya.

Berbagai spekulasi tentang dirinya dan Dian menjadi lumrah diantara pengunjung. Tak jarang sebagian dari mereka mengutuki Dian si munafik, si murahan yang berlagak jual mahal. Tak jarang juga mereka berkata Re si tolol yang terobsesi. Re sungguh tak perduli, ia selalu merasa lebih mengenal siapa sang primadona sebenarnya. Tak ada yang ia sesali selain kepesimisan Dian memandang kesungguhannya.

Re tahu, ada luka disana, di hati Dian. Luka yang dahulu pernah ia rasakan namun luka itu lebih dalam dari yang pernah Re bayangkan. Atau sesungguhnya hanya kepesimisan Dian yang membuatnya semakin parah.

“Masih belum menyerah boss?” tanya seorang bartender ditengah waktu-waktu repotnya melayani para pengunjung sambil menyerahkan segelas penuh beer kepada Re.

“Thanks...” Re hanya tersenyum.

Menyerah. Pernah terpikirkan sebelumnya. Namun rasa kagumnya ke Dian teramat berlebih, diluar dari sosok seorang primadona yang memang layak untuk dikagumi, Dian adalah wanita perkasa, pejuang hidup yang pernah ia kenal. Ia mengagumi Dian sebagai seorang ibu yang berusaha menyanyi di tengah lelap kedua putrinya saat pagi mulai menyongsong sebagai pengganti dongeng yang tak pernah sempat ia bacakan saat mereka menjelang tidur.  Ia selalu berusaha memasakkan sarapan dan bekal untuk kedua putrinya sebelum akhirnya mereka di jemput seorang yang dititipi untuk menjaga dan menjemput mereka dari sekolah. Siang malam memeras keringat untuk kebahagiaannya. Karnanya Dian layak untuk cintanya.

Re betah berlama-lama disana hanya dengan mendengarkan Dian bernyanyi. Sekarang wanita itu tak hanya idola, tatapi juga cinta matinya. Tatapannya begitu hangat saat menatap sosok idolanya gilang gemilang dihujani lampu warna warni. Sang pengemis cinta tak kunjung padam. Perasaan itu terus menyala membara, tak perduli berapa kali Dian menolaknya, tak menghiraikan seberapa keras Dian menghempasnya. Yang ia lakukan hanya memperjuangkan cintanya, kebahagiaannya. Dan ia tahu yang Dian butuhkan hanya waktu.

*        *        *
...to be continue...

[BDG.00:21.09032011]

3 komentar:

fahrizal mengatakan...

mantab lae...kalau ini benar tulisan lae.

saya apresiasi empat jempol..hehehehe

M. Remie mengatakan...

lo kira gw maling!! jalaslah ini tulisan gw!! but, thanks anyway for the thumbs!! heheheheheheheee rajin2 berkunjung ke blog gw ya bang...

Anonim mengatakan...

to be countinue"...

Ahh...cara jitu yang di buat penulis untuk menarik rasa penasaran pembacanya..Great idea!!

tadi kirain sambungan Bumi Biru'a tuh..
Plot cerita dan intrik dalam tulisannya dapat di tebak..namun endingnya tetap di tunggu..

Is it happy ending re??

Dian adalah sosok yang patah hati dan mampu berdamai dengan hatinya..

dan seorang yang patah hati akan lebih menghargai betapa penting seseorang yang pernah menyentuh kehidupan mereka..
dan Dian menyentuh hati Re..

di tunggu kelanjutannya re!!

with love - Za

Posting Komentar