Kamis, 23 Mei 2013

27



Sejak kala tercipta hidup adalah tentang perjuangan. Tentang harapan yang tertanam. Jauh saat doa pertama terucap tulus dari mulut seorang istri yang mendamba hadirnya sosok anak. Saat kita masih berupa gamet yang berkompetisi bersama ribuan sel calon manusia untuk menemukan tempat merubah diri menjadi zigot. Kemudian alam rahim menjadi tempat kita berkembang, menyiapkan diri untuk perjuangan selanjutnya.

Sejak kala pertama kau menghirup fana, hari kemenanganmu pun telah ditentukan. Gelarmu ditentukan. Namamu disematkan. Segala doa dan harapan menyambutmu penuh kasih, penuh suka cita. Kau adalah pemenang. Namun tugasmu belum usai. Medan perang selanjutnya jauh lebih sulit. Penuh tipu daya. Kau butuh lebih dari sekedar doa.

27 tahun yang lalu aku terlahir menjadi fana. Menjadi seorang pejuang yang konon katanya telah bernegosiasi dengan sang pecipta tentang cetak biru hidup seperti apa yang selanjutnya aku akan jalani di atas dunia ini. Takdir adalah nama jalan yang telah kita sepakati sebelum akhirnya ruh Tuhan mengisi jasad ini. Setidaknya itu pengetahuan yang kejejal sejak kecil, saat semua pertanyaan tentang jati diri mulai menghantui.  

Kita tumbuh dari berbagai pengertian yang tertanam sejak kecil hingga mengakar dan membatasi. Tanpa kita sadari kita tumbuh menjadi sosok yang publik mau.

Dihari aku resmi menjadi manusia ini kuputuskan untuk menghadiahi diri sebuah perjalanan privat. Sekedar menikmati diri sebagai sosok egois yang melepas sisi sosialis sejenak. Kawasan tinggi di Jawa tengah menjadi pilihan tanpa pertimbangan apapun. Terlintas begitu saja. Berharap menemukan banyak hal untuk sekedar mengistirahatkan sejenak pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah usai di hidupku.

Sepanjang perjalanan hidup ini banyak kesalahan yang belum dapat ku perbaiki. Banyak kekalahan-kekalahan yang belum terganti kemenangan. Banyak luka yang tertoreh yang mungkin belum dapat kusembuhkan. 

Tersadar lebih dari seperempat abad kujalani dengan banyak kemunafikan. Kemunafikan menjadi topeng untuk tetap bertahan di dunia yang serba menuntut kita untuk menjadi layak di mata publik. Topeng yang terkadang semakin erat dan menyesakkan untuk sekedar menghela napas.

Terkadang aku berpikir, apa sebenarnya yang aku perjuangkan disini. Bukankah tujuan kita berada di dunia ini adalah menemukan jati diri bukan anggapan-anggapan dan penilaian publik? Namun sering kali dunia kita yang jauh lebih munafik memagari, membuat batasan-batasan  yang memaksa kita untuk tetap pada jalur yang sejak dulu kala sudah tercipta. Siapa yang keluar dari batasan siap-siap dianggap pemberontak. Produk gagal. 

Mereka menyamarkannya dengan menyebutnya aturan-aturan sosial. Aturan yang telah mengakar hingga kadang tersamar menjadi norma. Patokan kebenaran yang menyalahi hak-hak pribadi seseorang. Sepertinya kita harus merunut panjang apa yang di maksud norma jika tak ingin dikatakan amoral.

Jika ku runut kembali kebelakang, banyak hal yang tertinggal di usiaku sekarang. Banyak kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Tentang pencapaian hidup, karir, asmara dan lain-lain. Banyak mimpi yang masih berupa bayang dalam benakku. Beberapa malah kuleralakan mengendap menjadi “sekedar” mimpi. Sedang yang lain terus mengusik pikiran dan hati. Menuntutku untuk tetap mengusahakannya menjadi nyata.  

Mungkin ini yang dianggap perang dalam kehidupan. Pencapaian yang kita raih akan melahirkan tujuan yang lebih dan terus menanjak seiring tingkatan perang yang kita menangi. Perang yang tak memiliki akhir. Perang yang melahirkan perang-perang lain hingga nanti kata ikhlas lah yang menjadi pelajaran selanjutnya.

Tak dapat kita pungkiri, banyak aspek luar yang mempengruhi tujuan-tujuan kita. Orang tua turut menanamkan mimpinya di diri kita yang akan selalu mereka anggap bagian dari diri mereka. Dan dengan amat sadar kita juga butuh membahagiakan mereka bukan karena alasan lain melainkan untuk membahagiakan diri kita sendiri. Hal ini yang sering kali berbenturan dengan keinginan-keinginan kita sebagai manusia yang individual. Individu yang berdiri sendiri, yang memiliki pemahaman dan keinginan sendiri. 

Sejak kecil, setiap kali aku merayakan ulang tahun yang kutahu hanyalah upeti, ucapan selamat dan doa-doa yang akhirnya menjadi tujuan kita kedepannya. Selanjutnya saat beranjak remaja, perayaan ulang tahunku mulai bertambah drama dengan acara lempar tepung dan telur. Dan kini aku hanya ingin menikmatinya sendiri.

Doa terbaik untukku mungkin akan selalu terpanjatkan. Namun kini aku mencoba untuk berhenti meminta dan lebih melihat kebelakang. Apa yang telah keperbuat dan ku terima dari hidup. Mencari simpul merah yang akan membawaku menuju tujuan hidup seperti apa yang sebenarnya kuingini. Memungut kembali remah-remah yang tertinggal yang akan mengajariku lebih tentang hidup.

Aku masih mencari tempat ternyaman untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi. Tempat ternyaman dalam suaka pengertian akan hidup, akan kepercayaan, akan diri ini. Jujur tanpa topeng. Aku memilih untuk tidak menyalahkan takdir dan empunya. Sejatinya aku adalah si penentu, si pemilik hidup sementara, si penulis cerita. Karena dengan begitu akan jauh lebih mudah untukku menerima kejujuran diri yang apa adanya. 

Pencarian ini mungkin akan menghabiskan kontrak hidupku yang sementara. Mungkin akan bergesekan dengan berbagai hal yang kurang menemukan titik paham yang sama. Namun inilah perjuangan untukku. Sekali lagi, memahami dan dipahami tanpa paksaan adalah kunci paling pas untuk pintu-pintu di kehidupan ini yang akan membawa kita ke level yang lebih tawakal sebagai manusia biasa.

Setiap manusia selalu ingin diterima. Selalu ingin menjadi yang terbaik. Setidaknya aku mencoba untuk menjadi dan mencari yang terbaik untuk diri ini. untuk orang-orang yang menyayangi dan kusayang. Bagaimana pun mereka adalah pelengkap cerita. Tanpa mereka tak akan ada cerita tentangku. 

Di usia 27 ini aku lebih belajar untuk menerima diri sebagai sosok manusia yang serba tak sempurna. Menjadikan tahun-tahun kedepan tempat mengaplikasikan pelajaran-pelajaran yang kudapat dari kesalahan di tahun-tahun yang terlewat. 

Untuk orang-orang tersayang, orang tua tercinta, sahabat terkasih, kekasih tersayang, tak ada pinta yang termat ku inginkan saat ini selain pemahaman tentangku. Doa harapan kalian biar kujadikan cambuk untuk memberikan terbaik yang kubisa. Kalian lah puzzle yang melengkapi kisah ini. kisah perjuangan seorang pejuang hidup yang tak akan pernah usai untuk terus mencari keping-keping kebijakan dalam dirinya.

Diatas gunung tertinggi di desa ini wajahku di terpa hangatnya cahaya matahari yang merebak diantara arakan awan biru putih kehitaman. Perlahan semua melebur. Angka tak lagi mematokkan apapun. Nama tak lagi merangkum siapa dirimu. Status menjadi sandang maya kepalsuan. Hanya dirimu, bagian dari alam semesta beserta misterinya. 

Rasa syukur memenuhi sesak di hati. Masih banyak hal yang perlu dipahami hingga nanti ikhlas benar-benar kau miliki. Selamat menghampa sang pejuang hidup. Selamat menjadi fana. Selamat 27.

     Happy 27.
Negeri diatas awan - Negeri para dewa.
  
  

0 komentar:

Posting Komentar