Sejak
kala tercipta hidup adalah tentang perjuangan. Tentang harapan yang tertanam.
Jauh saat doa pertama terucap tulus dari mulut seorang istri yang mendamba
hadirnya sosok anak. Saat kita masih berupa gamet
yang berkompetisi bersama ribuan sel calon manusia untuk menemukan tempat
merubah diri menjadi zigot. Kemudian
alam rahim menjadi tempat kita berkembang, menyiapkan diri untuk perjuangan
selanjutnya.
Sejak
kala pertama kau menghirup fana, hari kemenanganmu pun telah ditentukan.
Gelarmu ditentukan. Namamu disematkan. Segala doa dan harapan menyambutmu penuh
kasih, penuh suka cita. Kau adalah pemenang. Namun tugasmu belum usai. Medan
perang selanjutnya jauh lebih sulit. Penuh tipu daya. Kau butuh lebih dari sekedar
doa.
27
tahun yang lalu aku terlahir menjadi fana. Menjadi seorang pejuang yang konon
katanya telah bernegosiasi dengan sang pecipta tentang cetak biru hidup seperti
apa yang selanjutnya aku akan jalani di atas dunia ini. Takdir adalah nama
jalan yang telah kita sepakati sebelum akhirnya ruh Tuhan mengisi jasad ini.
Setidaknya itu pengetahuan yang kejejal sejak kecil, saat semua pertanyaan
tentang jati diri mulai menghantui.
Kita
tumbuh dari berbagai pengertian yang tertanam sejak kecil hingga mengakar dan
membatasi. Tanpa kita sadari kita tumbuh menjadi sosok yang publik mau.
Dihari
aku resmi menjadi manusia ini kuputuskan untuk menghadiahi diri sebuah
perjalanan privat. Sekedar menikmati diri sebagai sosok egois yang melepas sisi
sosialis sejenak. Kawasan tinggi di Jawa tengah menjadi pilihan tanpa
pertimbangan apapun. Terlintas begitu saja. Berharap menemukan banyak hal untuk
sekedar mengistirahatkan sejenak pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah
usai di hidupku.
Sepanjang
perjalanan hidup ini banyak kesalahan yang belum dapat ku perbaiki. Banyak
kekalahan-kekalahan yang belum terganti kemenangan. Banyak luka yang tertoreh
yang mungkin belum dapat kusembuhkan.
Tersadar
lebih dari seperempat abad kujalani dengan banyak kemunafikan. Kemunafikan menjadi
topeng untuk tetap bertahan di dunia yang serba menuntut kita untuk menjadi
layak di mata publik. Topeng yang terkadang semakin erat dan menyesakkan untuk
sekedar menghela napas.
Terkadang
aku berpikir, apa sebenarnya yang aku perjuangkan disini. Bukankah tujuan kita
berada di dunia ini adalah menemukan jati diri bukan anggapan-anggapan dan
penilaian publik? Namun sering kali dunia kita yang jauh lebih munafik
memagari, membuat batasan-batasan yang
memaksa kita untuk tetap pada jalur yang sejak dulu kala sudah tercipta. Siapa
yang keluar dari batasan siap-siap dianggap pemberontak. Produk gagal.
Mereka
menyamarkannya dengan menyebutnya aturan-aturan sosial. Aturan yang telah
mengakar hingga kadang tersamar menjadi norma. Patokan kebenaran yang menyalahi
hak-hak pribadi seseorang. Sepertinya kita harus merunut panjang apa yang di
maksud norma jika tak ingin dikatakan amoral.
Jika
ku runut kembali kebelakang, banyak hal yang tertinggal di usiaku sekarang.
Banyak kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Tentang pencapaian
hidup, karir, asmara dan lain-lain. Banyak mimpi yang masih berupa bayang dalam
benakku. Beberapa malah kuleralakan mengendap menjadi “sekedar” mimpi. Sedang
yang lain terus mengusik pikiran dan hati. Menuntutku untuk tetap
mengusahakannya menjadi nyata.
Mungkin
ini yang dianggap perang dalam kehidupan. Pencapaian yang kita raih akan
melahirkan tujuan yang lebih dan terus menanjak seiring tingkatan perang yang
kita menangi. Perang yang tak memiliki akhir. Perang yang melahirkan
perang-perang lain hingga nanti kata ikhlas lah yang menjadi pelajaran
selanjutnya.
Tak
dapat kita pungkiri, banyak aspek luar yang mempengruhi tujuan-tujuan kita. Orang
tua turut menanamkan mimpinya di diri kita yang akan selalu mereka anggap
bagian dari diri mereka. Dan dengan amat sadar kita juga butuh membahagiakan
mereka bukan karena alasan lain melainkan untuk membahagiakan diri kita
sendiri. Hal ini yang sering kali berbenturan dengan keinginan-keinginan kita
sebagai manusia yang individual. Individu yang berdiri sendiri, yang memiliki
pemahaman dan keinginan sendiri.
Sejak
kecil, setiap kali aku merayakan ulang tahun yang kutahu hanyalah upeti, ucapan
selamat dan doa-doa yang akhirnya menjadi tujuan kita kedepannya. Selanjutnya
saat beranjak remaja, perayaan ulang tahunku mulai bertambah drama dengan acara
lempar tepung dan telur. Dan kini aku hanya ingin menikmatinya sendiri.
Doa
terbaik untukku mungkin akan selalu terpanjatkan. Namun kini aku mencoba untuk
berhenti meminta dan lebih melihat kebelakang. Apa yang telah keperbuat dan ku
terima dari hidup. Mencari simpul merah yang akan membawaku menuju tujuan hidup
seperti apa yang sebenarnya kuingini. Memungut kembali remah-remah yang
tertinggal yang akan mengajariku lebih tentang hidup.
Aku
masih mencari tempat ternyaman untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi. Tempat
ternyaman dalam suaka pengertian akan hidup, akan kepercayaan, akan diri ini.
Jujur tanpa topeng. Aku memilih untuk tidak menyalahkan takdir dan empunya.
Sejatinya aku adalah si penentu, si pemilik hidup sementara, si penulis cerita. Karena dengan begitu akan jauh lebih mudah untukku menerima kejujuran diri yang
apa adanya.
Pencarian
ini mungkin akan menghabiskan kontrak hidupku yang sementara. Mungkin akan
bergesekan dengan berbagai hal yang kurang menemukan titik paham yang sama.
Namun inilah perjuangan untukku. Sekali lagi, memahami dan dipahami tanpa paksaan
adalah kunci paling pas untuk pintu-pintu di kehidupan ini yang akan membawa
kita ke level yang lebih tawakal sebagai manusia biasa.
Setiap
manusia selalu ingin diterima. Selalu ingin menjadi yang terbaik. Setidaknya
aku mencoba untuk menjadi dan mencari yang terbaik untuk diri ini. untuk
orang-orang yang menyayangi dan kusayang. Bagaimana pun mereka adalah pelengkap
cerita. Tanpa mereka tak akan ada cerita tentangku.
Di
usia 27 ini aku lebih belajar untuk menerima diri sebagai sosok manusia yang serba
tak sempurna. Menjadikan tahun-tahun kedepan tempat mengaplikasikan
pelajaran-pelajaran yang kudapat dari kesalahan di tahun-tahun yang terlewat.
Untuk
orang-orang tersayang, orang tua tercinta, sahabat terkasih, kekasih tersayang,
tak ada pinta yang termat ku inginkan saat ini selain pemahaman tentangku. Doa
harapan kalian biar kujadikan cambuk untuk memberikan terbaik yang kubisa. Kalian lah puzzle yang melengkapi kisah ini. kisah perjuangan seorang pejuang
hidup yang tak akan pernah usai untuk terus mencari keping-keping kebijakan
dalam dirinya.
Diatas
gunung tertinggi di desa ini wajahku di terpa hangatnya cahaya matahari yang
merebak diantara arakan awan biru putih kehitaman. Perlahan semua melebur.
Angka tak lagi mematokkan apapun. Nama tak lagi merangkum siapa dirimu. Status
menjadi sandang maya kepalsuan. Hanya dirimu, bagian dari alam semesta beserta
misterinya.
Rasa
syukur memenuhi sesak di hati. Masih banyak hal yang perlu dipahami hingga
nanti ikhlas benar-benar kau miliki. Selamat menghampa sang pejuang hidup.
Selamat menjadi fana. Selamat 27.
Happy 27.
Negeri diatas awan - Negeri para dewa.
0 komentar:
Posting Komentar