Senin, 13 Mei 2013

Kita, pecundang...



Kau dan aku adalah pecundang...

Apa yang kita miliki bersama kini mengusang menjadi keping-keping kenangan. Terkubur realita akan ketidaksanggupan kita memperjuangkannya. Realita yang kian rancu untuk kupahami. Realita yang kuyakini mungkin hanya berlaku untuk apa yang kurasa nyata, sedang realita untukmu, realita untuk mereka hanya presepsi yang mengaburkan realita itu sendiri. Semakin mengubur, semakin tenggelam, semakin dalam.

Tak ada yang pernah menyangka akan seperti apa kehidupan yang akan kita jalani di dunia ini. Bahkan Tuhan teramat pelit, teramat misterius untuk dengan mudahnya memberi jawaban atas apa yang kita cari. Ia membentangkan semua di hadapan kita. Kita lah si penentu akan seperti apa kebahagian menuntun kita. Akan sampai titik takdir mana kita dapat bernapas dengan segala syukur.

Kau pernah mengisahkan mimpimu yang kusadari menemukan tempat nyamannya di hatiku. Berdampingan dengan mimpi yang kupunya, bahkan menjadi satu. Rumah kecil dengan dapur dan kebun mungilnya. Anjing lucu. Sepasang malaikat kecil yang cerdas dan menggemaskan, serta kegiatan-kegiatan yang akan kita habiskan disana. Hangat memenuhi hatiku saat membayangkannya. 

Kita setuju kalau sebenarnya apapun yang kita lakukan adalah untuk menyenangkan diri kita sendiri meski terkadang sering tersangkut di pihak lain. Kita memutuskan untuk berbuat sesuatu karena itu adalah kebenaran kita. Demikian juga mereka. sangat relatif. Setiap individu punya konsep pemahaman tentang kebenaran dan kebahagiaannya sendiri-sendiri. Bahkan Tuhan pun memiliki konsepnya sendiri. Sebabnya kita tak dapat menyalahkan siapapun.

Atau hanya aku pecundang di kisah ini? Karena mungkin kebahagian menuntunmu kearah lain. Kearah yang berbeda dengan apa yang kurasa. Mungkin saja. Tak mungkin aku memaksa. Akan hanya menyisakan luka nantinya.

Sungguh aku tak pernah ingin menyerah untuk semua yang kita punya. Hanya saja teramat sulit untukku menjalani semua dengan mengenyampingkan semua cinta yang kuterima. Karena genggamku semu tanpa genggammu. Karena sepasang sayap tak akan mampu terbang jika salah satunya berhenti mengepak. Dengan sangat sadar, aku mempercundangi apa yang kupercaya. Kebahagiaan adalah bagian dari ke egoisan, selebihnya adalah hanya pengorbanan. Dan tak ada pengorbanan yang ringan bukan?

Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di babak hidup kita. Mungkin saja suatu saat nanti kita akan tertawa konyol mengingat semua sebagai kebodohan yang pernah kita lakukan atau malah terpuruk mengiba kesempatan itu kembali memuda agar tak menyisakan penyesalan mendalam. Aku tak pernah tahu. Hanya mampu mendoakan yang terbaik di jalan yang telah kita pilih.

Aku hanya menyiapkan hati, menyiapkan senyum paling munafik yang akan ku kenakan di saat mimpi-mimpi utopis kita dimakamkan dengan kerelaan yang terpaksa, terbelenggu batas-batas aturan yang telah tercipta jauh saat peradaban dikenal. Kita memilih hidup dalam kebohongan. Mencoba merenanginya selama mungkin. Mencoba bernapas di balik sesaknya udara dibalik topeng yang kita gunakan erat.

Cinta saja tak cukup tanpa keberanian. Cinta yang bagaimanakah yang tak dapat membangunkan keberanian? Setidaknya dengan itulah seorang martir akan selalu mendapat nama dan ceritanya. Tak ada suaka diluar sana, selain di hati ini. Sejak awal, kitalah penentunya meski setebal dan sekokoh apapun benteng yang mereka ciptakan tak akan pernah mampu membentengi apa yang kita punya. Paham kita terlalu cacat untuk mereka pahami, demikianlah realita yang mereka punya. Tapi kita memilih untuk menyerah. Mengganti mimpi kita dengan mimpi-mimpi yang tak pernah kita impikan sebelumnya. Tersadar, aku adalah pecundang, bahkan sejak awal cerita dimulai. 

Bagaimana pun hidup harus berakhir dengan bahagia. Mungkin untuk kisah kita akhir bahagia terlalu absurd menemukan keutuhannya. Perpisahan akan melahirkan pertemuan-pertemuan baru yang akan menjalin kisah-kisah baru dengan akhirnya sendiri-sendiri. Semoga sang waktu yang bijak akan menyembuhkan segalanya. Semoga luka kita akan menjadi kebijakan. Semoga tangis kita menjadi penyubur pohon yang akan tumbuh diatas makam mimpi kita. Pohon rindang nan teduh. Wanginya akan terbawa angin sang pengabar yang akan mengisahkan kembali kisah kita kepenjuru dunia. Menembus benteng-benteng yang terbangun hingga mereka paham dan merasa apa yang sebenarnya kita rasakan. Cinta yang tak pernah memiliki konsep. Cinta yang berbatas. Cinta yang luar biasa.

Kitalah pecundang... bahkan jauh sebelum kisah ini kita mulai.

Bdg, 21/03/13, 11:00
Untuk almarhum mimpi.


0 komentar:

Posting Komentar