Kau
dan aku adalah pecundang...
Apa
yang kita miliki bersama kini mengusang menjadi keping-keping kenangan.
Terkubur realita akan ketidaksanggupan kita memperjuangkannya. Realita yang
kian rancu untuk kupahami. Realita yang kuyakini mungkin hanya berlaku untuk
apa yang kurasa nyata, sedang realita untukmu, realita untuk mereka hanya
presepsi yang mengaburkan realita itu sendiri. Semakin mengubur, semakin
tenggelam, semakin dalam.
Tak
ada yang pernah menyangka akan seperti apa kehidupan yang akan kita jalani di
dunia ini. Bahkan Tuhan teramat pelit, teramat misterius untuk dengan mudahnya
memberi jawaban atas apa yang kita cari. Ia membentangkan semua di hadapan
kita. Kita lah si penentu akan seperti apa kebahagian menuntun kita. Akan
sampai titik takdir mana kita dapat bernapas dengan segala syukur.
Kau
pernah mengisahkan mimpimu yang kusadari menemukan tempat nyamannya di hatiku.
Berdampingan dengan mimpi yang kupunya, bahkan menjadi satu. Rumah kecil dengan
dapur dan kebun mungilnya. Anjing lucu. Sepasang malaikat kecil yang cerdas dan
menggemaskan, serta kegiatan-kegiatan yang akan kita habiskan disana. Hangat
memenuhi hatiku saat membayangkannya.
Kita
setuju kalau sebenarnya apapun yang kita lakukan adalah untuk menyenangkan diri
kita sendiri meski terkadang sering tersangkut di pihak lain. Kita memutuskan
untuk berbuat sesuatu karena itu adalah kebenaran kita. Demikian juga mereka.
sangat relatif. Setiap individu punya konsep pemahaman tentang kebenaran dan
kebahagiaannya sendiri-sendiri. Bahkan Tuhan pun memiliki konsepnya sendiri. Sebabnya
kita tak dapat menyalahkan siapapun.
Atau
hanya aku pecundang di kisah ini? Karena mungkin kebahagian menuntunmu kearah
lain. Kearah yang berbeda dengan apa yang kurasa. Mungkin saja. Tak mungkin aku
memaksa. Akan hanya menyisakan luka nantinya.
Sungguh
aku tak pernah ingin menyerah untuk semua yang kita punya. Hanya saja teramat
sulit untukku menjalani semua dengan mengenyampingkan semua cinta yang
kuterima. Karena genggamku semu tanpa genggammu. Karena sepasang sayap tak akan
mampu terbang jika salah satunya berhenti mengepak. Dengan sangat sadar, aku
mempercundangi apa yang kupercaya. Kebahagiaan adalah bagian dari ke egoisan,
selebihnya adalah hanya pengorbanan. Dan tak ada pengorbanan yang ringan bukan?
Aku
tak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di babak hidup kita. Mungkin
saja suatu saat nanti kita akan tertawa konyol mengingat semua sebagai
kebodohan yang pernah kita lakukan atau malah terpuruk mengiba kesempatan itu
kembali memuda agar tak menyisakan penyesalan mendalam. Aku tak pernah tahu. Hanya
mampu mendoakan yang terbaik di jalan yang telah kita pilih.
Aku
hanya menyiapkan hati, menyiapkan senyum paling munafik yang akan ku kenakan di
saat mimpi-mimpi utopis kita dimakamkan dengan kerelaan yang terpaksa,
terbelenggu batas-batas aturan yang telah tercipta jauh saat peradaban dikenal.
Kita memilih hidup dalam kebohongan. Mencoba merenanginya selama mungkin.
Mencoba bernapas di balik sesaknya udara dibalik topeng yang kita gunakan erat.
Cinta
saja tak cukup tanpa keberanian. Cinta yang bagaimanakah yang tak dapat
membangunkan keberanian? Setidaknya dengan itulah seorang martir akan selalu mendapat
nama dan ceritanya. Tak ada suaka diluar sana, selain di hati ini. Sejak awal,
kitalah penentunya meski setebal dan sekokoh apapun benteng yang mereka
ciptakan tak akan pernah mampu membentengi apa yang kita punya. Paham kita
terlalu cacat untuk mereka pahami, demikianlah realita yang mereka punya. Tapi
kita memilih untuk menyerah. Mengganti mimpi kita dengan mimpi-mimpi yang tak
pernah kita impikan sebelumnya. Tersadar, aku adalah pecundang, bahkan sejak
awal cerita dimulai.
Bagaimana
pun hidup harus berakhir dengan bahagia. Mungkin untuk kisah kita akhir bahagia
terlalu absurd menemukan keutuhannya. Perpisahan akan melahirkan
pertemuan-pertemuan baru yang akan menjalin kisah-kisah baru dengan akhirnya
sendiri-sendiri. Semoga sang waktu yang bijak akan menyembuhkan segalanya.
Semoga luka kita akan menjadi kebijakan. Semoga tangis kita menjadi penyubur
pohon yang akan tumbuh diatas makam mimpi kita. Pohon rindang nan teduh.
Wanginya akan terbawa angin sang pengabar yang akan mengisahkan kembali kisah
kita kepenjuru dunia. Menembus benteng-benteng yang terbangun hingga mereka
paham dan merasa apa yang sebenarnya kita rasakan. Cinta yang tak pernah
memiliki konsep. Cinta yang berbatas. Cinta yang luar biasa.
Kitalah
pecundang... bahkan jauh sebelum kisah ini kita mulai.
Bdg, 21/03/13, 11:00
Untuk almarhum mimpi.
0 komentar:
Posting Komentar