Kita adalah tentang perdebatan-perdebatan yang selalu berakhir dengan kesal yang aku geret kekamarku di lantai dua. Banyak hal yang tak tersampaikan kepadamu, Pah. Mungkin juga aku yang tak cukup peka dengan semua cinta yang selalu coba kau sampaikan dengan caramu.
Pah,
detik ini aku rindu untuk sekedar menemanimu memancing di pantai atau kembali
ke masa-masa di minggu pagi berburu rambut putih yang mulai menumbuhi rambut
tipismu dan kemudian selalu berlanjut pemeriksaan gigi dan telingaku. Aku benci
bagian ini.
Aku
besar dengan semua ceritamu tentang pedihnya hidup yang pernah kau tepaki.
Tentang perjuanganmu, tentang keluarga yang kau rindu, tentang anak berumur
8-10 tahun yang memilih lari dari kampungnya, tentang kehidupan seorang anak
yang berjuang di tengah kota sebatang kara.
Sejak
kecil aku mengidolakan mu. Orang yang selalu ku tunggu hadirnya di sore
menjelang matahari membiarkan malam mengambil tahtanya. Kepulanganmu selalu
membawa harapan, kesenangan-kesenangan yang selalu ku tunggu. Sempat juga kau
memilih untuk pergi mencoba peruntungan di negeri jauh yang membuatmu terpisah
lama dengan kami, demi kehidupan yang lebih baik. Sebulan sekali kau pulang
membawa banyak kebahagiaan-kebahagian yang sungguh sulit kugambarkan betapa
bahagianya aku saat itu.
Berbagai
masa sulit kita hadapi, lalui bersama. Saat berbagai prahara menghantam
keluarga ini dengan hebat, hingga hampir mencerai beraikan semua yang kita
punya. Saat itu mungkin aku masih terlalu kecil untuk dapat mengerti apa yang
sedang terjadi di keluarga kita, tapi yang ku tahu kau akan selalu datang
membawa harapan.
Tak
ada yang kau dapat dengan cuma-cuma. Semua kau bangun dengan keping-keping
kerja keras dalam keterbatasanmu. Kau selalu berusaha menutupinya dari kami,
orang-orang yang kau sayangi, kami tahu, kami merasakannya pah.
Akan
selalu segar di ingatanku saat kau datang mengusir kekawatiran dengan buah
tangan yang bawa. Atau saat kau datang menyelamatkan hari raya yang hampir tak
akan terjadi bagi kami. Kita membeli baju baru, sepatu baru, buku baru bersama
di malam penuh takbir itu.
Saat
aku beranjak remaja tak sedikit pun sikap kerja kerasmu tertular. Kita mulai
berselisih bahkan dimasalah kecil. Aku selalu menjadi pemberontak yang selalu
berselisih paham dengan semua pendapatmu. Kita tak pernah bisa mengerjakan satu
pekerjaan bersama, bahkan untuk sekedar mengajariku mengendarai sepeda motor
atau mobil. Kau juga tak pernah mengizinku mengikuti kegiatan luar yang
mengharuskanku pergi keluar kota atau tak pulang beberapa hari. Dan aku tak
pernah mematuhinya.
Kau
memang selalu seperti itu. Kau yang selalu berpikiran kolot menurut kami. Kau
yang selalu memaksa untuk menghantar jemput kami. Kesekolah, kerumah teman,
kepasar, kemana pun. Tak akan pernah ada izin untuk kami pergi jauh untuk
sekedar piknik bersama teman-teman atau mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang
terlalu memaksa kami banyak di luar. Kau tak peduli dengan julukan ‘pak supir’
yang sering di gunakan teman-teman untuk mengolok-olokku.
Pernah
satu hari di malam tahun baru, disaat aku berencana menghabiskan detik
pergantian tahun bersama teman-teman di rumah salah satu dari mereka, kau
memaksa untuk menjemputku pulang, tak mengizikanku bermalam disana. Pukul 2
dini hari aku terpaksa pulang karena satu rumah sibuk kau tularkan kekawatiran
yang berlebihan. Sungguh aku kesal setengah mati.
Kejutan
yang kami buat saat hari kelahiranmu –yang selalu berpindah tanggal karena tak
pernah kau dapati data yang tepat- selalu tak sepenuhnya berhasil karena kau
tidak menyukai kebiasaan-kebiasaan baru. Sama gagalnya dengan acara-acara kecil
yang menurutmu diluar kebiasaan. Namun kadang kita memang harus memanfaatkan
momen dan sedikit drama untuk menunjukkan rasa sayang. Siapa sangka kalau
ternyata hari lahirmu hanya berbeda sehari denganku setelah kita mendapatkan
data yang amat terpercaya. Dan sekarang kau pula yang sering antusias membuat
kejutan atau sekedar mengucapkan selamat di hari-hari yang kita rayakan.
Atau
saat kau selalu membanding-bandingkanku dengan abang. Tentunya akulah si
kambing hitam yang dapat predikat buruk, berbanding dengan si abang yang suka
menabung, rajin mengaji, patuh terhadap orang tua, segala kebaikan ada padanya.
Jujur, menyakitkan saat kau mulai membicarakannya ke teman-temanmu, ke
keluarga. Kita yang selalu berdebat tentang banyak hal yang seringkali berakhir
dengan kata-kata memojokkan tentang asin garam yang kukecap hanya remah-remah
dibanding dengan semua yang pernah kau jalani. Aku yang tak pernah meminta izin
setiap kali pergi camping dan memilih
kau marahi saat pulang. Semua tentang ketidak sepahaman kita. Hingga akhirnya
kuputuskan hidup terpisah di pulau seberang sendiri. Sekedar ingin membuktikan
kepadamu, kalau aku dapat berdiri di kakiku sendiri.
Dan
kini semakin kusadari, mungkin itu caramu menunjukkan rasa cinta yang teramat
kepada ku, kepada kami anak-anakmu. Belakangan kau mulai sering meneleponku,
sekedar menyakan kabar. Padahal yang kutahu kebijakan di kantormu tak pernah
mengizinkan kau untuk bertelepon di jam kerja. Kau pun perlahan mulai menyepakati
hal yang dahulu menjadi perdebatan diantara kita.
Kadang
kupikir semua pengakuan yang selalu kutuntut darimu hanyalah kesia-siaan
konyol, karena bagimu kami akan selalu menjadi anak-anak. Tak perduli sampai
kapan pun nanti. Kau akan selalu menjadi papah yang selalu bersedia menghantar
kami kemana saja. Papah yang tak pernah menyukai kebiasaan-kebiasaan baru yang
kau anggap terlalu berlebihan. Tak ada maksud lain, semata-mata hanya ingin menikmati
kebersamaan kita, menunjukkan rasa syukur atas cinta yang kita miliki.
Kau
akan selalu menjadi idola dalam hidupku. Kau akan selalu menjadi tempat kami
berpulang setiap kali kami merasa hidup mulai menyesatkan. Cerita tentangmu
kelak akan menjadi dongeng kepahlawanan untuk anak-anakku kelak. Dari kisah
hidupmu mereka akan banyak belajar tentang kerinduan, tentang perjuangan,
tentang keluarga yang teramat kau sayang.
Aku
hanya akan selalu mencicip setitik asin garam jika dibandingkan dengan kau yang
merenanginya. Namun sekarang izinkan anak-anakmu untuk melangkah menjalani
babak hidup selanjutnya. Mungkin kau kawatir, tapi melihatmu tenang dan bahagia
menjalani hidup sudah tertanam di sanubari kami masing-masing.
Kini
izinkan aku menyuapkan sepotong kue tart yang kuselip doa dan pengharapan
untukmu. Aku tahu kau tak pernah terbiasa dengan acara kecil yang kita buat di
tiap hari ulang tahun keluarga mungil kita. Tak ada hal yang kekal, sebabnya
biar kita rayakan cinta yang memenuhi momen ini. Maka esok kuminta doa terbaik
darimu saat kau hantar potongan kue kemulutku sebagai balasan. 17, 18. Siapa
sangka ternyata kita punya hari lahir berdekatan saat surat otentik tangan
opung yang berisi tanggal lahir anak-anaknya. Akhirnya kita mengetahui hari
lahirmu 95% lebih akurat daripada dugaan-dugaan yang kau buat lebih dari 40
tahun ini. Sekarang kudapati satu alasan mengapa kita sering berbeda pendapat
di banyak hal.
Aku
tak pernah ragu akan doa yang selalu kau panjatkan untukku. Demikian
sebaliknya. Papah akan selalu menjadi tauladan terbesar dalah hidupku. Aku amat
berbahagia memilikimu sebagai papah, supir, tukang kebun, teman mancing, guru
sejarah, lawan debat, pahlawanku. Panjang umur selalu, sehat selalu. Selamat
ulang tahun papah. We love you.
Untuk idolaku tersayang, papah.
Bdg, 17 februari 2013.
1 komentar:
Orang tua adalah wujud nyata Tuhan dalam kehidupan sehari-hari..kita g' prnah bisa memilih siapa orang tua kita..tapi yang pasti do'a dan restu Tuhan adalah restu orang tua.. I love u ayah..#sambil merenung membyangi wajah ayah di seberang kota.. Inspiratif Re.. Hope kita bsa jadi idola buat anak2 kita kelak..Amin.. * za
Posting Komentar