Rabu, 08 Mei 2013

Idola bernama Papah...


Kita adalah tentang perdebatan-perdebatan yang selalu berakhir dengan kesal yang aku geret kekamarku di lantai dua. Banyak hal yang tak tersampaikan kepadamu, Pah. Mungkin juga aku yang tak cukup peka dengan semua cinta yang selalu coba kau sampaikan dengan caramu.

Pah, detik ini aku rindu untuk sekedar menemanimu memancing di pantai atau kembali ke masa-masa di minggu pagi berburu rambut putih yang mulai menumbuhi rambut tipismu dan kemudian selalu berlanjut pemeriksaan gigi dan telingaku. Aku benci bagian ini.
Aku besar dengan semua ceritamu tentang pedihnya hidup yang pernah kau tepaki. Tentang perjuanganmu, tentang keluarga yang kau rindu, tentang anak berumur 8-10 tahun yang memilih lari dari kampungnya, tentang kehidupan seorang anak yang berjuang di tengah kota sebatang kara. 

Sejak kecil aku mengidolakan mu. Orang yang selalu ku tunggu hadirnya di sore menjelang matahari membiarkan malam mengambil tahtanya. Kepulanganmu selalu membawa harapan, kesenangan-kesenangan yang selalu ku tunggu. Sempat juga kau memilih untuk pergi mencoba peruntungan di negeri jauh yang membuatmu terpisah lama dengan kami, demi kehidupan yang lebih baik. Sebulan sekali kau pulang membawa banyak kebahagiaan-kebahagian yang sungguh sulit kugambarkan betapa bahagianya aku saat itu. 

Berbagai masa sulit kita hadapi, lalui bersama. Saat berbagai prahara menghantam keluarga ini dengan hebat, hingga hampir mencerai beraikan semua yang kita punya. Saat itu mungkin aku masih terlalu kecil untuk dapat mengerti apa yang sedang terjadi di keluarga kita, tapi yang ku tahu kau akan selalu datang membawa harapan.

Tak ada yang kau dapat dengan cuma-cuma. Semua kau bangun dengan keping-keping kerja keras dalam keterbatasanmu. Kau selalu berusaha menutupinya dari kami, orang-orang yang kau sayangi, kami tahu, kami merasakannya pah.

Akan selalu segar di ingatanku saat kau datang mengusir kekawatiran dengan buah tangan yang bawa. Atau saat kau datang menyelamatkan hari raya yang hampir tak akan terjadi bagi kami. Kita membeli baju baru, sepatu baru, buku baru bersama di malam penuh takbir itu. 

Saat aku beranjak remaja tak sedikit pun sikap kerja kerasmu tertular. Kita mulai berselisih bahkan dimasalah kecil. Aku selalu menjadi pemberontak yang selalu berselisih paham dengan semua pendapatmu. Kita tak pernah bisa mengerjakan satu pekerjaan bersama, bahkan untuk sekedar mengajariku mengendarai sepeda motor atau mobil. Kau juga tak pernah mengizinku mengikuti kegiatan luar yang mengharuskanku pergi keluar kota atau tak pulang beberapa hari. Dan aku tak pernah mematuhinya.

Kau memang selalu seperti itu. Kau yang selalu berpikiran kolot menurut kami. Kau yang selalu memaksa untuk menghantar jemput kami. Kesekolah, kerumah teman, kepasar, kemana pun. Tak akan pernah ada izin untuk kami pergi jauh untuk sekedar piknik bersama teman-teman atau mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang terlalu memaksa kami banyak di luar. Kau tak peduli dengan julukan ‘pak supir’ yang sering di gunakan teman-teman untuk mengolok-olokku.  

Pernah satu hari di malam tahun baru, disaat aku berencana menghabiskan detik pergantian tahun bersama teman-teman di rumah salah satu dari mereka, kau memaksa untuk menjemputku pulang, tak mengizikanku bermalam disana. Pukul 2 dini hari aku terpaksa pulang karena satu rumah sibuk kau tularkan kekawatiran yang berlebihan. Sungguh aku kesal setengah mati.

Kejutan yang kami buat saat hari kelahiranmu –yang selalu berpindah tanggal karena tak pernah kau dapati data yang tepat- selalu tak sepenuhnya berhasil karena kau tidak menyukai kebiasaan-kebiasaan baru. Sama gagalnya dengan acara-acara kecil yang menurutmu diluar kebiasaan. Namun kadang kita memang harus memanfaatkan momen dan sedikit drama untuk menunjukkan rasa sayang. Siapa sangka kalau ternyata hari lahirmu hanya berbeda sehari denganku setelah kita mendapatkan data yang amat terpercaya. Dan sekarang kau pula yang sering antusias membuat kejutan atau sekedar mengucapkan selamat di hari-hari yang kita rayakan.

Atau saat kau selalu membanding-bandingkanku dengan abang. Tentunya akulah si kambing hitam yang dapat predikat buruk, berbanding dengan si abang yang suka menabung, rajin mengaji, patuh terhadap orang tua, segala kebaikan ada padanya. Jujur, menyakitkan saat kau mulai membicarakannya ke teman-temanmu, ke keluarga. Kita yang selalu berdebat tentang banyak hal yang seringkali berakhir dengan kata-kata memojokkan tentang asin garam yang kukecap hanya remah-remah dibanding dengan semua yang pernah kau jalani. Aku yang tak pernah meminta izin setiap kali pergi camping dan memilih kau marahi saat pulang. Semua tentang ketidak sepahaman kita. Hingga akhirnya kuputuskan hidup terpisah di pulau seberang sendiri. Sekedar ingin membuktikan kepadamu, kalau aku dapat berdiri di kakiku sendiri.

Dan kini semakin kusadari, mungkin itu caramu menunjukkan rasa cinta yang teramat kepada ku, kepada kami anak-anakmu. Belakangan kau mulai sering meneleponku, sekedar menyakan kabar. Padahal yang kutahu kebijakan di kantormu tak pernah mengizinkan kau untuk bertelepon di jam kerja. Kau pun perlahan mulai menyepakati hal yang dahulu menjadi perdebatan diantara kita.

Kadang kupikir semua pengakuan yang selalu kutuntut darimu hanyalah kesia-siaan konyol, karena bagimu kami akan selalu menjadi anak-anak. Tak perduli sampai kapan pun nanti. Kau akan selalu menjadi papah yang selalu bersedia menghantar kami kemana saja. Papah yang tak pernah menyukai kebiasaan-kebiasaan baru yang kau anggap terlalu berlebihan. Tak ada maksud lain, semata-mata hanya ingin menikmati kebersamaan kita, menunjukkan rasa syukur atas cinta yang kita miliki.

Kau akan selalu menjadi idola dalam hidupku. Kau akan selalu menjadi tempat kami berpulang setiap kali kami merasa hidup mulai menyesatkan. Cerita tentangmu kelak akan menjadi dongeng kepahlawanan untuk anak-anakku kelak. Dari kisah hidupmu mereka akan banyak belajar tentang kerinduan, tentang perjuangan, tentang keluarga yang teramat kau sayang.

Aku hanya akan selalu mencicip setitik asin garam jika dibandingkan dengan kau yang merenanginya. Namun sekarang izinkan anak-anakmu untuk melangkah menjalani babak hidup selanjutnya. Mungkin kau kawatir, tapi melihatmu tenang dan bahagia menjalani hidup sudah tertanam di sanubari kami masing-masing.

Kini izinkan aku menyuapkan sepotong kue tart yang kuselip doa dan pengharapan untukmu. Aku tahu kau tak pernah terbiasa dengan acara kecil yang kita buat di tiap hari ulang tahun keluarga mungil kita. Tak ada hal yang kekal, sebabnya biar kita rayakan cinta yang memenuhi momen ini. Maka esok kuminta doa terbaik darimu saat kau hantar potongan kue kemulutku sebagai balasan. 17, 18. Siapa sangka ternyata kita punya hari lahir berdekatan saat surat otentik tangan opung yang berisi tanggal lahir anak-anaknya. Akhirnya kita mengetahui hari lahirmu 95% lebih akurat daripada dugaan-dugaan yang kau buat lebih dari 40 tahun ini. Sekarang kudapati satu alasan mengapa kita sering berbeda pendapat di banyak hal.

Aku tak pernah ragu akan doa yang selalu kau panjatkan untukku. Demikian sebaliknya. Papah akan selalu menjadi tauladan terbesar dalah hidupku. Aku amat berbahagia memilikimu sebagai papah, supir, tukang kebun, teman mancing, guru sejarah, lawan debat, pahlawanku. Panjang umur selalu, sehat selalu. Selamat ulang tahun papah. We love you.

Untuk idolaku tersayang, papah.
Bdg, 17 februari 2013.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Orang tua adalah wujud nyata Tuhan dalam kehidupan sehari-hari..kita g' prnah bisa memilih siapa orang tua kita..tapi yang pasti do'a dan restu Tuhan adalah restu orang tua.. I love u ayah..#sambil merenung membyangi wajah ayah di seberang kota.. Inspiratif Re.. Hope kita bsa jadi idola buat anak2 kita kelak..Amin.. * za

Posting Komentar