Selasa, 20 Oktober 2009

Bumi Biru #1-4

Keping 1
Penawan hati…

Sesosok rupawan yang dinanti-nantikan muncul diatas panggung…

          Hati Bumi berbisik…
          “Adakah dia seorang malaikat…?”

…dan mulai menggerakkan tubuhnya dengan anggun, diiringi musik yang mengalun lembut seolah mengikuti geraknya. Kemudian disambut dengan tepuk tangan meriah dari semua pengunjung…

          Hati Bumi kembali berbisik…
          “Dia adalah bidadari…”

…perlahan mulai melepas tiap helai kain yang membalut tubuhnya…

          Bumi kehilangan kata-kata…
          “Hmm….”

…tubuh polos seputih pualam membius seisi ruang. Puluhan pasang bola mata tak berkedip menyoroti tiap jengkal tubuhnya, tiap langkah geraknya, siap menerkam kapan saja…

          Bumi masih kehilangan kata-kata, ia hanya dapat menelan ludah bersama pengunjung lain dan sesekali menarik nafas panjang…
          “Glek…”

…sesekali terlihat airmata menggaris di pipinya…

          Hati Bumi pun berbisik…
          “Dia terluka, sang bidadari mendamba nirwana tapi… ia tak dapat menggapainya.”

…tariannya semakin membius seiring dengan titik airmata yang menetes, membasahi bingkai matanya…

          Dan Bumi…
          “Bak menari berpijakan mata pisau… ia terluka, sayapnya patah… Andai aku bisa… kan kurajut pelangi hingga menjembatani nirwana…untuknya sang bidadari…”

…senyumnya menggores hati…

          Kembali berbisik…
          “Ia tak bisa menyembunyikan luka itu dariku… walau selebar apapun ia tersenyum, walau sekuat apapun ia tertawa…Pandang ku tak berbohong, begitu juga mata hatiku…”

…aksinya membuat semua jatuh hati.

*        *        *

          Angin malam menyusup masuk lewat jendela. Suaranya membisikan Bumi sesuatu.
          “Woi…jendelanya ditutup rapat dong! Dingin tauk…!!” Teriak Aga tanpa menoleh ke arah Bumi. Tangan kanannya sibuk mengendalikan mobil, sedang tangan kirinya mengusap-usap lengan kanannya. “woi…Bumiii…!”teriak Aga lagi, setelah teguran pertama tak direspon Bumi. “Budeg kali ya lo..!!”
          Bumi hanya terdiam. Wajah itu masih lekat dihatinya, wajah sang bidadari yang menawan hatinya.
          Aga menoleh kearah Bumi. “Wah kenapa lo..!?” Pandangnya menyipit. “Lo kesambet kale…!” tudingnya.
          Bumi tetap tak bereaksi. Ia memandang kosong keluar jendela. Mendengar bisikan-bisikan angin yang lembut. Sesekali ia tersenyum tipis seolah angin membisikan gurauannya kepada Bumi.
          “Lo teler ya…? Tapi biasanya lo yang paling resek kalau lagi teler… Oh!! Lo ngepil kan? Pasti lo ngepil… Ngaku aja lo!!”
          Bumi tetap dengan aksinya.
          Sedang Aga semakin senewen dengan aksi Bumi yang berlagak cuek. Ia mulai kawatir. “Bro…lo gakpapakan…? Jangan buat gue kawatir napa!! Ini dah pagi man, bangun lo…!!”
          “Berisik lo botak…!” Akhirnya Bumi bersuara juga, merasa terganggu dengan omelan-omelan  Aga.
          “Gilak lo…! Ngayalin apaan sih? Sampe segitu amat, lo pasti ngayal jorok!”
          “Jorok…? Otak lo tuh yang jorok, Aku Cuma…”
          “Tunggu… tunggu…Gue tau, lo pasti mikirin penari tadi kan…?!” Senyum lebar tersungging di wajahnya, meminta pembenaran dari Bumi.
          Bumi hanya diam memandangi balik wajah Aga, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ekspresi yang sukar ditebak, ekspresi abu-abu antara hitam dan putih antara benar dan salah.
          “Ngaku aja lo !” Aga setengah memaksa. “Tadi sewaktu di klub, Gue liat lo gak berkedip gitu liati tuh penari. Ngaku lo..!!” hitam mata Aga menajam kekiri memandang Bumi dan sesekali melihat arah laju mobil yang ia kendarai. Senyumnya melebar, matanya menajam licik kearah Bumi.
          Bumi tetap saja membisu, tersenyum tipis, tak begitu menghiraukan ocehan – ocehan Aga. Dan segera kembali terbuai senandung bisikan sang bayu.
          “Jangan-jangan lo benar teler…” selidik Aga. “ mimpi kok pagi-pagi gini, nanggung!! Knapa gak siang hari aja sekalian…” Bumi tetap tak memberi respon. Aga menambah kecepatan laju mobilnya, kesal dengan tingkah cuek Bumi. “Bosan gue…!”
gerutunya kesal. Ia menyalakan MP3 dan memaksimalkan volume sound systemnya. Dari sebelah terdengar samar-samar suara Bumi mengikuti pasih lirik lagu yang di putar Aga.
          The sun may blind our eyes,  I’ll pray to sky above….”
          Ggrrr…” Aga bertambah kesal.

*        *        *
          Hari ini tak ada yang mengharuskan Bumi bangun pagi, tak ada yang mengharuskannya segera mandi dan tak ada yang mengharuskanya berpakaian  rapi. Di kamar flat mungilnya, seolah  waktu terhenti. Bumi sengaja tak segera beranjak dari tempat tidurnya, ia juga sengaja meliburkan housekeepernya. “Enjoy the lazy time” fikirnya.
          Begitu nyaman rasanya dibalut kaus oblong dan celana pendek, lepas dari kegiatan deadline. Bumi menyibak selimutnya, ia beranjak menuju  beranda, membuka tirai, membiarkan cahaya matahari masuk menyinari seisi ruang. Matanya menyipit memandang keluar, mulutnya menguap lebar melepas rasa kantuk. Sandal berbentuk tokoh kartun doraemon mengantarkan Bumi menuju dapur, menyalakan coffee maker dan memindahkan beberapa sandwich dari lemari pendingin ke oven listrik.sembari menunggu serapan siap Bumi menuju pintu depan, membukanya dan memungut surat kabar yang sudah terletak di depan pintu. Sempurna sudah pagi yang indah ini.
          Tiba-tiba deringan telepon mengagetkan Bumi yang lagi sibuk mengapresiasikan pagi ini. Ia tak langsung mengangkatnya, mempersiapkan diri, kali-kali beritanya akan merusak pagi indahnya. “Pagi…” sapa Bumi.
          “Woi! Lagi apa lo…” Suara Aga menusuk telinga Bumi, hingga Bumi menjauhkan gagang telepon dari telinganya.
          “Gila lo…!! Pagi gini ganggu orang aja”
          “Lo yang gila, pagi!? Ini jam 11 bro, udah siang tauk.”
          Bumi melirik kearah jam yang menggantung di dinding . “Terus knapa…”
          “Tadi handphone lo gue hubungi tapi gak nyambung. Lo gak ngantor hari ini bos?”
          “Gak, aku gak ngantor hari ini, tunggu … lo gak ada rencana buat main ke rumahku sekarangkan??”
          “Kerumah lo? Kurang kerjaan amat gue… mana kaset bokep lo pada basi semua lagi, mending juga hangup di studio.”
          “Oh ya , gimana kabarnya lina?”
          “Woi apaan lo tanya-tanya Lina segala! Jangan lupa lo ya, Lina tuh gebetan gue, jadi jangan pernah mimpi buat ngerebut dia dari gue. Awas lo ganggu dia, beneran kali ini gue gak bakal ngampuni lo.”
          “ Takutttt…” ledek Bumi. “Gitu aja marah, ngerasa kesaingi ya mas..! he..he..he” goda Bumi.
          “Awas lo ya, yang lain boleh pada ngabur ke lo tapi yang satu ini gak akan gue lepas. Cewek-cewek itu aja pada bego, gak ada yang tau betapa manisnya gue.”
          “Manis?? Ha…ha…ha… Gigi lo yang manis. Justru tu cewek-cewek matanya pada jeli, bisa bedakan yang mana cakep dan yang mana…. Ha… ha…ha…”
          “Anjing, narsis amat lo! Ntar gue aduin lo ke Kinar.” Ancam Aga.
          “Oppss… sabar bro, gitu aja marah. Ya udah, ampun deh bos…”
          “Ntar lo gak main ke studio? Garing juga gue disini sendiri. Mana Lina mau pergi bareng keponakannya lagi  dan kalau gue ikut bakal rest dompet gue.”
          “Aku gak janji Ga, kayanya aku mau istirahat dirumah aja. Capek bro…”
          “Jangan-jangan akibat  semalam nih…!”
          “Gara-gara apa emangnya”
          “Hmm… Dian!?” tebak Aga.
          Bumi terdiam. Sekilas wajah cantik sang penari itu melintas di fikirannya.
          “Setelah pulang lo gak ngapa-ngapaikan?” kini Aga balas menggoda Bumi. “Lo gak lupa ganti celana dalamkan?” samar terdengar suara cekikikan Aga. “Periksa tuh stok sabun cair lo. Ha…ha…ha…” tawa Aga semakin meledak. “kali aja habis…ha…ha…ha…”
          “Tut…tut…tut…”
Bumi menutup teleponnya. Ia kembali menuju meja makan. Segelas kopi dan beberapa potong sandwich hangat dengan keju yang sudah mencair. Aroma pagi tercium begitu nikmat walau nyatanya matahari hampir hampir tepat berada diatas kepala.
          Bumi mendekatkan cangkir kopi kecuping hidungnya, menghirup asap putih yang masih mengepul diatas kopi, mencoba mengembalikan mood yang rusak karena Aga.
          Disela waktu santapnya ia kembali ia kembali mengingat kata-kata Aga tadi, ‘Dian’. Sosok itu kembali muncul dalam ingatan Bumi. Wajah itu, tubuh itu, geraknya begitu lekat di fikirnya. Baru setengah ia menikmati serapannya, bayang-bayang Dian membuatnya kehilangan selera untuk menyelesaikan santap paginya.
          Awalnya Bumi berfikir Dian hanya fantasi, hiburan semata tapi sosok misterius Dian begitu menyita perhatian Bumi dan tanpa sengaja menewan hatinya. Ia jatuh hati dan Bumi sadar akan hal itu. Bahkan kini bayang Dian terlihat dimana-mana, bukan hanya pagi ini, kemarin, semalam, di dalam mimpi, ditiap lamunan yang menghampirinya. Misteri itu begitu indah hingga Bumi takmampu menahan untuk tidak memikirkannya.
          Who is she? Mengenalnya saja aku tidak, mengapa harus terus memikirkannya? Mengapa ia harus menjadi seorang penari klub? Dan mengapa ia menangis? Apa dia terluka? Dan mengapa sosoknya begitu indah? Bidadarikah dia? Ugghht… ngawur!!!!”
hatinya terus bertanya.
          Belum pernah Bumi merasa seperti ini. Tidak Kinar, tidak mantan-mantan kekesihnya, tidak siapapun. Tapi Dian begitu menyita perhatiannya, menyita waktunya, membayangkan Dian menjadi kegitan yang menyenangkan bagi Bumi.
          Belum puas Bumi membayangkan sosok Dian yang seketika buyar bersama bunyi dering telepon. “ Oh no… again!! Aga…” fikir Bumi.
          “ Hal…” belum penuh keluar kata halo dari mulut Bumi.
          “Halo…halo… ini Bumi.?” suara sopran yang begitu akrab ditelinga Bumi terdengar di ujung sana.
          “Kinar?” seketika bayang Dian berganti dengan kinar.
          “Kamu ternyata di rumah , aku telepon kantor tapi gak ada yang ngangkat. Handphone kamu juga gak aktif…”
          I’m sorry dear… Hpku batrenya habis semalam, lupa ngisi…”
          “Emang kamu semalam kemana sih… SMS ku juga gak dibalas…”
          “Hmmm… semalam aku dirumah kok… lagi banyak kerjaan aja.”
          “Yakin? Kamu gak bohongkan.” Tanya Kinar ragu.
          “Hmmm… sebenarnya gak gitu juga sih, aku pergi sama Aga ke…ke…ke studio, ya ke studio…” Bumi semakin terdengar terbata-bata.
          “Tapi Om boss bilang kalian tak ada disana semalaman.”
          “Maksudnya … maksudnya studiotemannya Aga yang baru buka di menteng kemarin…”
          “Kinar hanya diam hingga akhirnya nada berbunyi “tut…tut…tut…” mengakhiri obrolannya dengan Bumi.
          “Halo Kinar… halo…! Mampus aku!!” Bumipun menutup teleponnya. Bumi tak langsung menghubungi Kinar, ia tahu kinar pasti mereject semua panggilanya. Ia hanya  duduk terkulai lemas membayangkan malam-malam yang akan sunyi tanpa kinar disampingnya.
          Bumi mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Berharap ia akan menemukan satu kekuatan yang terselip diantara udara yang ia hirup. Kemudian ia bejalan lunglai kearah dapur, menyelesaikan serapannya dan merapikan meja. “Upacara menikmati pagi sudah selesai.” Fikirnya. Tapi ia tak segera mandi, tak segera merapikan diri. Ia mesih ingin menikmati nyamannya balutan kaus oblong dan celana boxer.
          Sekarang bayang Dian berganti dengan Kinar. Ulah Kinar memutuskan hubungan telepon tiba-tiba membombardir fikiran Bumi dengan hal-hal yang ia tak inginkan tentunya. Ia belum siap untuk sendiri.
          Bumi tak pernah meragukan cinta yang Kinar berikan untuknya, tapi justru meragukan hatinya sendiri. Bukan karena ia tak bahagia bersama Kinar, tapi sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tak bisa digambarkan, ia selalu merasa ada yang kurang. Yang ia tahu ia sayang dengan Kinar, ia takut kehilangan Kinar, ia butuh Kinar disampingnya. Tapi misteri Dian tak dapat ia pungkiri begitu kuat memaksanya untuk terus menguak tabir yang menutupi sosok Dian.
          Bumi tak mungkin jujur tentang Dian, ia tahu Kinar pasti tak suka dengar pertunjukan Dian. Apa lagi Bumi sudah janji dengan Aga untuk tidak cerita sama siapapun, terutama teman-teman wanitanya. Bukan itu saja, pertunjukan Dian hanya untuk orang-orang  tertentu saja, secret club. Bumi dan Aga hanya beruntung saja punya teman penyelenggara event tersebut. Dan untuk menikmati show Dian mereka terpaksa di rekrut jadi karyawan EO dadakan yang tak bergaji.
          Event ini hanya dihadiri oleh ornang-orang berkantong tebal saja. Event rahasia pria-pria hidung belang, ekstra kulikuler diluar kantor. Kebanyakan dari anggota klub adalah suami-suami yang bosan dengan istrinya dan untuk keselamatan rumah tangga mereka, Bumi dan Aga disumpah habis-habisan untuk tidak membocorkan event ini kesiapapun. Arisan para executif cabul ini begitu tertutup, kerahasiaannya begitu terjaga.
          Show Dian hanya sebagian dari rangkayan acara-acara yang tak jauh beda. Mulai dari peragaan busana yang lebih mirip pameran tubuh, body painting, streaptease, hingga pesta gila seperti pesta bujang. Tapi dari sekian banyak acara yang disajikan penampilan Dian lah yang selalu ditunggu-tunggu.
          Banyak orang bilang Dian ibarat magnet yang selalu menyita perhatian. Dengan tariannya yang menghipnotis, siapa saja yang memandangnya pasti akan terpukau. Ditambah lagi dengan wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah. Niscahaya tak ada satu penontonpun yang tidak menyukainya. Termasuk Bumi.
          Walau begitu, ia selalu dipandang sebelah mata. Banyak pria di klub yang menyukainya, tetapi tak ada satupun yang serius. Mereka hanya menginginkan tubuhnya. Namun tak demikian dengan Bumi. Awalnya Bumi tak begitu tertarik, hingga aksi Dian menghipnotisnya seperti semua pria di klub rahasia itu. Bumi sendiri tak tahu apa yang membuatnya begitu menyukai Dian. Tubuhnya? 30% mungkin ya, tapi lebih dari itu Bumi tak pernah tau apa yang menjerat hatinya. Sesuatu yang sangat kuat yang selalu memaksanya untuk terus memikirkan Dian. Sesuatu yang sulit dijelaskan namun nyata dirasakannya.  
          Kini hati Bumi diselimuti rasa bersalah. Ia berdusta kepada Kinar untuk ke sekian kalinya. Bumi tak ingin hubungan yang terjalin diantara mereka berakhir. Bumi sangat menikmati hubungan yang terjalin hampir  dua tahun ini. Tak banyak teman wanita yang dekat denganya. Diantara semua wanita yang pernah dekat dengannya Kinarlah yang menurutnya terbaik.
          Kesetian, itu yang selalu Bumi jaga. Bumi tak menampik kalau dirinya pernah berfikir untuk bermain wanita lain di belakang Kinar. Tapi ia mengurungkan niat buruk itu, berhubung salah satu komitmen berpacaran adalah saling setia satu sama lain dan alasan paling kuat bagi Bumi adalah Ibu. Bersama Ibu, Bumi pernah tau rasanya sakit ditinggalkan Ayah yang tak pernah mengakuinya, begitu juga Bumi yang tak pernah mau tahu siapa ayahnya.
          Bumi meraih handphone yang terletak diatas meja tak jauh darinya. Ia tahu Kinar tak akan menerima panggilannya. Saat seprti ini pesan singkat menjadi jalan alternatif untuk menyampaikan permintaan maafnya. Jempol Bumi mengetik tuts perlahan, begitu hati-hati, tak seligat biasanya, kali ini bumi tak mau salah ucap lagi.
          Diujung sana, kinar hanya diam, tak berniat membalas pesan Bumi. Bumi juga tidak begitu berharap Kinar akan membalas pesan yang penting Kinar bisa menerima maafnya dan Bumi percaya Kinar pasti memaafkanya.
          Dengan langkah gontai, Bumi beranjak dari ruang makan mungilnya dan menuju kekamar. Membiarkan tubuhnya jatuh diatas kasur yang masih berantakan dan beraroma keringatnya semalaman. Iapun segera meringsut diracun kantuk hingga mimpi kembali membuainya dalam tidur yang lelap.

Keping 2
Bumi Biru mahasibuk

          Bumi biru namanya. Seorang mahasiswa mahasibuk jurusan hukum yang saat ini sedang sibuk menyusun tugas akhir. Ia juga seorang penyiar di sebuah stasiun radio swasta dikotanya dengan misi jadi populer, I wish. Saat ini ia juga sedang magang disuatu firma hukum yang sepertinya akan merekrutnya menjadi seorang asisten pengacara.
          Ia begitu menikmati hidupnya yang serba sibuk, salah satunya adalah siaran. Menjadi seorang penyiar tak lantas membuatnya menjadi populer. Suara Bumi yang cenderung kurang komersil tak disangka begitu disenangi para pendengarnya. Siapa sangka seorang Bumi yang biasanya cenderung pendiam tiba-tiba berubah menjadi begitu talkactive alias bawel saat tombol on air dinyalakan. Seolah ada jaringan wireless antara Bumi dan tombol on/off air. Jika tombol on pada studio diaktifkan maka dengan cepat another Bumi merespon. Dan kalau Om boss bilang Bumi memang terlahir untuk menjadi seorang penyiar.
          Awalnya Bumi hanya iseng-iseng saja, tak disangka  acara yang dipandunya  disenangi pendengar, lantas Om boss yang begitu memperhatikan bakat Bumi di bidang siar-menyiar langsung menawarkan pekerjaan sebagai penyiar kepada Bumi. Walau Om boss harus puas karena sekarang Bumi hanya mengisi beberapa acara berdurasi pendek saja. Kesibukan di luar siaran membutuhkan waktu Bumi lebih banyak.
          Dunia siar-menyiar bagi Bumi adalah sebuah tempat mengekspresikan kegilaannya, tempat bersosialisasi, bukan hanya dengan lingkungan sekeliling studio saja melainkan seisi kota atau bahkan seisi negri ini. Dari sekotak ruangan berlabel “ruang siar” ini Bumi dapat menginvasi seisi kota dengan fikiran-fikirannya, celoteh-celotehannya.
          Banyak hal menyenangkan  yang Bumi dapat dari dumia ini. Ia jadi punya banyak teman mulai dari remaja, eksekutif kantoran sampai ibu rumah tangga. Dan yang tak kalah serunya adalah bintang tamunya. Dokter, psikolog, pengusaha, sampai artis. Semuanya menambah ramai kehidupan sosial Bumi. Fans juga termasuk diantaranya.
          Siapa sangka Bumi yang tak begitu populer punya fans juga, bahkan yang fanatik sekalipun. Salah satu diantanya adalah Gabriele. Jangan tertipu dengan nama indahnya. Dia seorang pelajar SMU, perawakanya biasa-biasa saja, berkacamata tebal hingga terlihat nerd, kutu buku abis. Ditambah gigi berkawatnya dan rambut keriting yang selalu disangga bandana. Hampir setiap libur Gaby datang untuk sekedar melihat Bumi siaran dan hampir setiap bulan juga Gaby membawakan Bumi kado. Permen, coklat, kaus, bahkan boneka.
          Awalnya Bumi tak begitu menghiraukanya. Gabrielle hanya seorang fans sekalipun tampilanya seperti mahluk mars. Berhubung dia seorang fans Bumi yang kebenaran langka, tak banyak itu, maka Bumi harus bersikap baik. Hingga suatu minggu disiang bolong, Bumi mendapati Gaby tersenyum manis memamerkan deretan gigi berkawatnya tepat disamping Bumi yang sedang konsentrasi penuh buang pipis di toilet cowok. Ia teriak kaget setengah mati, kebingungan tak karuan, alhasil pipisnya membasahi sekujur jeans. Hampir saja keperawanannya teranggut sesosok alien yang nyamar jadi fans fanatiknya. Sejak hari itu Bumi jadi lebih hati-hati menghadapi fans-fansnya, terutama yang tampilanya seperti mahluk mars.
          Kehidupan perkuliahan Bumi juga tak kalah menarik walau tak ada yang begitu istimewa. Sama seperti mahasiswa umumnya, kuliah baik-baik, dengan target IP setinggi-tingginya dan semoga cepat diwisuda.
          Dahulu Bumi sempat aktif di organisasi dan klub kemahasiswaan. Mulai dari paduan suara sampai pecinta alam, semua pernah Bumi ikuti. Untuk paduan suara Bumi hanya bertahan satu semester saja, ia mengundurkan diri karena merasa suaranya tak sealiran dengan yang lain. Ia juga sempat mencoba masuk klub yang paling digilai cewek-cewek seantero kampus, klub basket ball. Tapi ditolak secara sepihak oleh kapten tim yang merasa tersaingi. Klub keagamaan lebih parah lagi. Bumi langsung mengundurkan diri setelah tahu salah satu syarat untuk menjadi anggota club adalah pandai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan merdu dan ibadahnya harus bagus. Bukan karena Bumi tidak bisa, tapi lebih kepada perinsip, sesuatu yang dipaksakan adalah tidak baik apalagi menyangkut hubunganya dengan Tuhan.
          Dan akhirnya klub pecinta alamlah yang membesarkan nama Bumi kelak dikampus tercintanya ini. Begitu berat perjuangan Bumi untuk menjadi anggota klub ini. Bagaimana tidak, Bumi harus mondar-mandir, turun-naik gunung selama tiga hari hanya untuk memungut sampah. 20 puntung rokok, 20 kantung plastik jajanan dan 10 botol bekas setiap harinya selama tiga hari, ditambah lagi Bumi harus menyediakan berliter-liter air dan menunggu tepat ditengah gunung antara lereng dan puncak, siapa tahu ada pendaki yang dehidrasi dan butuh air.
          Bumi juga sempat aktif di pemerintahan mahasiswa dikampusnya. Bahkan bumi pernah menjadi kandidat terkuat untuk jabatan presiden mahasiswa. Tapi Bumi mengundurkan diri, bukan karena merasa dirinya takmampu tapi berhubung ia harus bersaing dengan kinar yang saat itu sedang ditaksirnya dan sekarang resmi menjadi kekasihnya walau kelanjutan kejadian kemarin pagi tak tahu bagaimana endingnya.
          Kini Bumi lebih fokus dengan tugas akhirnya, skripsinya. Ia meninggalkan seluruh kegiatan kemahasiswaannya dan mengurangi semua kegiatanya didalam maupun diluar kampus.
          Hukum sebenarnya bukanlah pilihan Bumi. Menurutnya, bidang satu ini sudah cukup banyak punya ahli yang tak perlu kita ragukan lagi kemampuannya dan kebenaran satu kampung pula dengannya. Hotman Paris Hutapea, Ruhut Sitompul, Felix Tampubolon dan teman-temannya yang lain. Tapi alasan itu juga  yang mendorongnya untuk menuliskan hukum di lembar formulir sebagai salah satu jurusan yang ia pilih. Tak disangka  Bumi diterima menjadi mahasiswa di jurusan ini. Dan tanpa ia sangka juga ternyata hukum tak seburuk yang ia bayangkan malah sekarang ia bisa magang di satu firma hukum dengan pengacara yang terkenal seantero kota.
          Sekalipun sering Bumi merasa lelah dengan semua kegiatan yang ia jalani  dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk selalu mensyukurinya. Mensyukuri apa yang ia jalani dan apa yang ia miliki saat ini. Ia tak akan pernah lelah untuk menjadi manusia yang lebih baik. Ia tak mau menjadi pengecut yang selalu menyalahkan takdir. Karena bagaimanapun hidup akan terus berjalan tanapa mau menunggu yang tertinggal.

Keping 3
Kinar… oh Kinar

       Hari ini matahari begitu bersemangat bersinar hingga panasnya hampir membakar seisi kota. Kelas baru saja usai, semua segera beranjak dari kelas yang lebih mirip oven ketimbang ruang belajar itu, tak sabar ingin segera menghirup udara segar diluar sana. Bumi dengan tangkas menembus kerumunan manusia yang menghadang langkahnya yang terburu-buru. Tiba-tiba segala macam aroma menyengat indra penciumannya. “Gilaaa… aroma manusia kukus beda amat sama aroma pepes kukus. Huekk..!” Bumi mempercepat langkahnya. “Senjata biologis memang lebih dahsyat dibandingkan senjata apapun dimuka dunia ini. Pantas saja Amerika parnok abis trus ngobrak-abrik Irak untuk nemuin senjata jenis ini.” Gumam Bumi dalam hati.
          Langkah Bumi semakin beringas membelah ruas sisi jalan, matanya juga tak kalah sibuk melirik liar keseluruh arah, tapi yang ia cari tidak juga terlihat. Kinar. Didalam fikiran Bumi saat ini  hanya ada Kinar. Kejadian kemarin membuat Bumi merasa begitu bersalah. Bumi tahu Kinar bukanlah orang yang yang suka bersembunyi dari masalah, tapi kali ini Kinar benar-benar menghilang, dia tak membalas pesan yang Bumi kirim dan sekarang dia tak terlihat dimana-mana. Padahal tiap sudut kampus sudah ia jejaki.
          Hampir saja semangatnya surut, hingga akhirnya ia bertemu Julia, teman sekelas Kinar. “Hei, jul..!” teriak Bumi kepada seorang wanita berperawakan kurus seraya berlari kecil menghampirinya.
          “Hei....”
          Tanpa banyak basa-basi, Bumi langsung menanyainya. “Kamu liat Kinar gak? Dari tadi aku cari tapi gak keliatan tuh anak…”
          “Kinar? Tadi sih sama kita tapi dia sudah pergi tuh.”
          “Kira – kira dia kemana ya?”
          “Aku rasa dia dikantin. Coba aja kamu cari disana, siapa tau dia disana.”
          “Kantin?” satu tempat yang tak terpikirkan oleh Bumi. “Okey deh, kalau gitu aku kesana dulu ya. Thanks  ya Jul.
          Never mind…”
          Bumipun berlalu menuju kantin yang tak jauh dari tempatnya berdiri dengan langkah yang lebih pasti.
          Sesampainya di persimpangan jalan setapak yang sisi kanan dan kirinya di penuhi kantin-kantin, toko-toko yang menjual perlengkapan dan kebutuhan anak muda langkah Bumi terhenti. Pandangnya menyoroti sepanjang deretan kantin. Samar-samar, Bumi mendengar teriakan dikejauhan memanggil namanya.
          “Bumiii…!!”
          Bumi mencoba menemukan asal suara itu.
          “Woy… Bumi! Disini.”
          Dari kejauhan Bumi melihat Aga melambai-lambaikan tangan, yang kemudian ia balas. “Woy…!” Bumi segera menghampiri Aga yang terlihat tak sendiri. Dia bersama dua orang temannya. Keduanya perempuan. Sepertinya yang satu Lina dan yang satunya lagi… Kinar.
          “Sedang apa lo? Kelihatan bingung gitu tadi.” Tanya Aga.
          “Ya nyari kalian lah…” Bumi mencoba untuk bersikap biasa saja. “Mbak!” ia melambaikan tangannya, memanggil penjaga kantin. “Es telernya satu…” teriak Bumi yang kemudian diberi kode acungan jempol, tanda okey dari si mbak penjaga kantin. Sekilas matanya melirik kearah Kinar yang sedang asik ngobrol dengan Lina.
          Kinar hanya diam, tak begitu menghiraukan kehadiran Bumi. Sedang Bumiyang masih belum berani menyapa duduk dengan manis, menunggu pesanannya tiba. Sesekali mata mereka saling mencuri pandang.
          Aga yang melihat tingkah sahabatnya itupun tergelitik untuk iseng bertanya. “ lo berdua kenapa sih? Ada masalah?
          Bumi terdiam.
          Kinar terdiam.
          Dan Lina ikut-ikutan diam.
          “Oops… kayanya kita harus pergi nih!” mata Aga melirik kearah Lina, yang langsung menangkap sinyal Aga untuk cabut. Merekapun bersiap segera beranjak dari tempatnya.
          Tiba-tiba Kinar bersuara, menghentikan Aga dan Lina. “Kalian disini aja, kayanya aku juga gak bisa lama-lama.” Sekarang giliran Kinar yang bersiap pergi.
          “Aku ikut!” sambung lina yang langsung berdiri menggandeng tangan Kinar.  “Aku juga lagi banyak tugas nih. Dagh… yuk Nar.” Kedua wanita itupun berlalu.
          Beib... gue…” belum semapat Aga menyusul Kinar dan Lina, langkahnya terhenti setelah mendapati tatapan Bumi yang mengiba. “Jijik gue liat wajah pengemis lo!, kialau udah begini aja, baru deh ” Aga kembali duduk. “Emang lo ada masalah apa sih ama Kinar?” tanya Aga kesal.
          Bumi tetap diam. Hanya menghela nafasnya panjang.
          “jadi lo gak mau cerita nih? Ya udah gak gunanya juga gue tetap disini.” Aga kembali mengambil kuda – kuda bersiap meninggalkan Bumi.
          Ancaman Aga berhasil, lalu… “Begini, kemarin…bla…bla…bla…” akhirnya Bumi menceritakan semuanya.
          “lo sih, kalau udah begini aja, baru lo mau dengerin gue!” gerutu Aga, berlagak pakar. Ia merogoh kantungnya dan mendapati sekotak rokok, mengambil sebatang, menyalakannya, menghisapnya dalam dan menghembuskannya dengan penuh keangkuhan.
          Bumi yang melihat tingkahnya mulai muak. “Nyesal aku curhat ama lo. Gak ada manfaatnya juga cerita ama tong sampah!” Bumi meraih tasnya. Kali ini gilirannya yang akan pergi.
          “Oops… slow down man!” ancaman Bumi berhasil, Aga menahan langkahnya. “Kemarin gue juga ditanya ama Lina dan gue jawab hampir sama kaya lo. Ngomong-ngomong, lo kok tau temen gue ada yang baru buka studio di menteng!” tanya Aga yang menatap Bumi dengan tatapan menyelidik.
          “Lo kira aku punya six sense. Ya aku tahu dari kamulah! Minggu lalu lo pernah ngajak aku keperesmian studionya kan…”
          “Emang iya? Lupa gue…” jawab Aga gampang dan kembali menikmati lintingan rokok diantara jemarinya.
          Bumi tak dapat berbicara apa-apa lagi, selain berdoa semoga Kinar cepat memaafkannya. Sedang Aga yang dari tadi berlagak peduli samasekali tak membantu sedikitpun, bahkan untuk turut berdoa bersama Bumi. Disela kesunyian jangka pendek yang terjadi antara mereka, Bumi mengingat sesuatu: “Kok es teler pesanan ku lama banget ya!?”
          Dilain tempat, di perpustakaan, Kinar dan Lina sibuk dengan  kegiatannya  masing-masing. Kinar yang sibuk dengan tumpukan buku-bukunya dengan wajah super serius. Sedang Lina sibuk pencet-pencet ponsel, ber-SMS ria. Sesekali terlihat    senyum-senyum dan tertawa kecil.
          “Lin… katanya kamu mau ngerjai tugas, kok mala SMS-an mulu?!” tegur Kinar dengan suara berbisik-bisik.
          “Gak ada… sebenarnya aku gak ada tugas, cuma bosan aja diekori Aga trus…” jawab Lina tanpa menoleh dari layar handphone dengan suara bisik-bisik pula.
          Kinar kembali dengan kesibukannya  sendiri, tak ambil pusing dengan apa yang dilakukan Lina, tapi semakin lama Lina semakin lupa diri, lupa tempat. Tawanya semakin jelas terdengar. “Lin…!” keluh Kinar.
          “Duh, ni ibuk, bawel amat sih… ntar, nanggung nih…”
          “Lin… kamu liat sekeliling kamu, semuanya tuh pada serius baca.” Bisik kinar.
          “Emang disini dilarang sms-an ya?” ledek Lina tanpa suara bisik-bisik.
          “Shhtt…! Laki-laki yang duduk disamping kiri meja kita kelihatannya terganggu tuh. Dari tadi dia ngelirik ke kamu terus!”
          Lina langsung menoleh  kekiri. Seorang laki-laki berkacamata tebal sedang serius membaca. “Dia naksir aku kali…” jawabnya enteng.
          “Terserah kamu saja…” balas Kinar menyerah dan kembali melanjutkan kegiatannya. Buka_tutup buku. Mondar_mandir  ambil buku. Buka_tutup buku lagi. Mondar_mandir ambil buku lagi… Mondar_mandir ambil buku lagi…
          sedang Lina semakin larut dengan sms-smsnya semakin lupa diri, semakin lupa tempat, semakin kencang tawanya. “HAAA… HAa…Haa…ha… Maaf.” Tawanya mengecil setelah mendapati puluhan pasang mata pengguna perpustakaan memandangnya sinis.
Tiba-tiba secarik kertas mendarat diatas meja tepat didepannya. Lina membukanya. Dikertas tersebut tertulis : “MBAK INI PERPUS, BUKAN TAMAN.”
Whatttt...!” Lina melirik kekiri, tempat dimana carikan itu berasal. Tatapan Lina disambut dengan tatapan sinis dibalik kacamata tebal pria itu. Linapun semakin lupa segala-galanya, emosinya memuncak menuju ubun – ubun. Bukan Lina namanya kalau dia kalah dalam urusan kirim-kirim pesan, ia segera membalas : “SIRIK AMAT LO. SUKA – SUKA GUE DONG! GUE KAN PUNYA HAK BUAT SMS-AN DIMANA AJA, TERMASUK DISINI!” Lina melempar carikan kertas berisi pesan tersebut kemeja si tetangga dan pesanpun terkirim.
Tak lama pesan balasan mendarat di meja Lina. “SAYA JUGA PUNYA HAK UNTUK NGERASA NYAMAN DI TEMPAT INI.” Lina semakin terbakar rasa kesalnya. Sepertinya pria ini ingin mencoba kemampuan Lina di bidang balas-membalas pesan.
“KUTU BUKU KAYA LO, YANG PUNYA BADAN KREMPENG, MATA EMPAT, RAMBUT LEPEK, MUKA JELEK, SOK INTELEK PASTI GAK GAUL. GAK PUNYA TEMAN, KARENA CUMA BISA BERADAPTASI DAN INTERAKSI  SAMA BUKU DOANG. DASAR MUKA PETAK!” tulis Lina kesal.
Ekspresi wajah pria itu semakin terlihat seram setelah dia membaca pesan dari Lina, lebih mirip kutu rambut yang doyan menghisap darah manusia ketimbang kutu buku. Belum sempat ia membalas, pesan Lina yang lain mendarat dimejanya.
 “AWAS LO KALAU BERANI KOMEN LAGI, GUE TIMPUK LO PAKE BUKU!” bunyi pesan ancaman dari Lina.
Pria itu melirik kearah Lina dan disambut dengan pemandangan Lina dengan wajah sangar lengkap dengan buku tebal digenggaman dengan posisi siap tempur. Merasa jiwanya terancam, pria itu pun pergi menjauh mencari tempat yang lebih aman.
Perang dimenangkan Lina sebelum invasi benar-benar diluncurkan. Ia segera tenang dan segera memulai kembali kegiatan ber-sms-nya dengan wajah penuh kemenangan.
Melihat tingkah Lina, Kinar hanya bisa mengelus dada, menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian kembali membuka_tutup buku, mondar_mandir ambil buku, buka_tutup  buku lagi, mondar_mandir ambil buku lagi…
Tanpa disadari tingkah Kinar yang linglung diperhatikan oleh Lina. “Kamu kenapa nar? Dari tadi mondar mandir kaya setrikaan gitu, seperti orang kebingungan. Kamu kenapa sih?”
“Gak tau nih… aku juga bingung,” Kinar terduduk kesal. “Kok dari tadi aku mikirin Bumi aja sih!” adu Kinar.
“Oh itu toh masalahnya… pantas aja lo tadi kaya menghindar gitu dari Bumi. Kalau aku boleh tau ni ya… kalau – boleh – ta  – hu – ni – ya …” Lina tersenyum licik “Masalahnya apaan sih nar” tanyanya.
Tanpa basa basi lagi, Kinarpun mulai ikut lupa diri, lupa tempat, lupa bisik-bisik. “Begini, kemarin…,” Kinarpun menceritakannya.
“Mungkin Bumi gak bohong… Kemarin aku juga nanya Aga tentang hal yang sama dan jawabannya juga sama seperti Bumi.”
Omongan Lina membuat Kinat terdiam sejenak. “Kalau begitu Bumi gak bohong dong. Tapi kenapa sepertinya ia menutup-nutupi gitu ya.”
Lina mengangkat pundaknya, tanda tak tahu. Ia pun mengakhiri sms-an rianya, dan mulai melihat-lihat buku yang Kinar bawa.
Sedangkan Kinar sibuk merogoh kantung dan meraih handphonenya. Ia tak menghiraukan dugaan-dugaan tentang Bumi, jarinya segera mengutak ngatik tombol handphone dengan cepat dan mantap, bersms- ria dan melupakan buku-bukunya. Kinar dan Lina bertukar kegiatan…
Dikantin, kedua pria kesepian itu hikmat dengan es teler dan lintingan rokoknya. Keduanya saling diam, melamunkan pujaannya. Bumi dan masalahnya dengan kinar, Aga dan masalahnya yang tak pernah berhasil macari Lina.
“Enek aku sama nih es teler…” celetuk Bumi, memecah kesepian yang meliputi mereka.
“Sama, Gue juga kenyang nih makan asap…” Aga membuang lintingan rokok yang baru setengah ia hisap.
Tiba-tiba handphone Bumi berdering. 1 message receive.
“wah, Dari Kinar nih…!”

Keping 4
Earth to mars…

Pukul 00.30 dini hari, Bumi baru saja sampai di kamar flat kecilnya. Ia melepas semua atribut yang membungkus dirinya seharian. Melepas jasnya, membuka sepatunya, mengendurkan dasinya dan berjalan lunglai kearah dapur. Kebiasaan yang selalu ia lakukan: menghidupkan coffee maker, kemudian menuju kamar bersiap untuk mandi, sebelumnya ia menyempatkan diri memutar CD yang tadi ia beli. Menggantikan CD-CD pendahulunya yang rusak karena kerja rodi sepanjang malam, setiap hari. Moby, play. Menjadi sountrack di malam ini dan malam-malam sebelumnya.
Begitu nyaman rasanya berada di bawah guyuran rintik air yang tertuang dari shower. Rintiknya membasuh tubuh Bumi dari kepenatan hari ini. Aroma lavender dari liquid soap yang membusa ditubuhnya, menyeruak seisi kamar mandi, membuat Bumi semakin betah berlama-lama dibawah shower. Begitu nyaman rasanya…
Seusai mandi, Bumi langsung mengenakan pakaian tidur kegemarannya: kaus oblong  putih dan celana boxer merah genit. Menurutnya stelan ini paling nyaman untuk tidur dibandingkan dengan piyama manapun.
Iapun melangkah kedapur, menuangkan kopi dari coffee maker kedalam mug. Alunan lagu, aroma lavender, kopi hangat, segalanya serasa begitu pas, begitu melengkapi malamnya. Kemudian ia memutar kembali apa yang terekam dimesin massages record pada teleponnya. Ada beberapa pesan terekam disana:
-Bum! Ini gue… celana renang yang gue pinjem kemarin gue letak di loker lo. Sorry ya bro, gue belum sempat kelaundry… jadi kalau aromanya agak tajam, lo maklum aja… thanks ya!- Aga. Bumi hanya bisa menarik nafasnya dalam dan menetralisirnya dengan seruputan kopi.
Pesan kedua:
-Dear, kamu dimana sih? Aku hubungi ponsel kamu tapi gak aktif… dikampus juga gak kelihatan… jangan lupa, besok harus jadi ya. Aku tunggu!!- Kinar. Bumi kembali menyeruput kopi hangatnya.
Pesan ketiga:
-Woi! Ini gue lagi… tadi Kinar cari lo tuh! Besok lo ikut acara HUT-nya Reva gak? Jarang man kita clubbing rame-rame kaya gini.- Aga lagi.
Pesan selanjutnya:
-Bumi ini Ibu… sayang, besok Ibu mau berangkat ke eropa sama Om. Kamu antar ibu berangkat ya! Besok Ibu tunggu dibandara jam 9 pagi… kamu datang ya sayang… - Ibu.
Tut… tut… tut…
Pesan telah dibaca semua…
Rasa kantuk mulai menghinggapi kelopak mata Bumi, tak terbendung lagi sekalipun dengan segelas kopi hangat. Iapun segera beranjak menuju pembaringan. Samar-samar terdengan alunan lagu Moby menghantarkannya dipenghujung hari.
Good night...” Bumipun memejamkan matanya.

*        *        *

Hari ini kuliah kosong, siaran pukul 12 siang sampai pukul 16 sore nanti dan seperti biasa, hari sabtu dan minggu kegitan magang libur, jadi bisa jemput Kinar lebih awal. Malamnya … lets the party started!.
Pukul 8 pagi, Bumi sudah siap-siap berangkat ke bandara. Tak sempat sarapan karena ibu pasti sudah menunggunya disana. Stelan celana bermuda dan kaus putih, jaket plus sneaker, menjadi andalan dihari sepanas ini. Tanpa basa-basi, Bumi segera cabut dengan sepeda motor bututnya, yang bersuara ribut, ngebut pula.
Sesampainya disana…
“Ibu…!” teriak Bumi, berlari kecil menghampiri seorang ibu berperawakan ramping dan begitu bersahaja. Ia langsung menyalaminya santun seraya mengatur kembali nafasnya yang tergopoh-gopoh.
“Bumi… kamu ngebut ya?” garis kawatir jelas terlihat di wajah Ibu. Jari-jari lentik nan lembutnya begitu seksama membelai, merapikan rambut Bumi yang sedikit berantakan dan kemudian mengusap bulir-bulir peluh didahi Bumi dengan cermat, penuh kasih sayang. Hal-hal seperti ini yang membuat Bumi begitu menyayangi Ibu dan itu pula yang membuatnya merasa menjadi anak kecil lagi jika berada didekat Ibu.
“Ibu sudah nunggu lama ya…!” Bumi balik bertanya, mengalihkan pertayaan Ibu yang jika dijawab pasti akan berbuntut panjang.
“gak kok… Ibu juga baru sampai 20 menit yang lalu…” mereka saling merangkul, berjalan beriringan menghampiri seorang pria seumuran Ibu. Om Firman.
“Hai Bum…” sapanya ramah seraya membentangkan tangan, segera mendekap tubuh Bumi yang sedikit lebih kecil. “Gimana kabar kamu?”
“Baik Om… Om sendiri sehat kan?”
“Seperti yang kamu lihat.”
Om Firman adalah suami Ibu Bumi, alias ayah tiri Bumi. Mantan bos Ibu sewaktu masih menjadi seorang perawat. Ia adalah seorang dokter blasteran cina dan batak, pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Sosoknya yang ramah dan penuh kasih sayang membuat bumi yakin kalau dia pasti dapat membahagiakan Ibu. Sekalipun Bumi tak dapat memenggilnya dengan sebutan “Ayah”.
Ayah. Ada yang salah dengan sebutan itu. Lidah Bumi terasa kelu saat mengucapkannya, lidahnya tak terbiasa dengan kata-kata itu. Pengalaman traumatis dengan sosok yang disebut ayah membuat Bumi merasa sebutan “Ayah” sangat tak cocok untuk seorang baik seperti Om Firman. Menurutnya sebutan “Om” jauh lebih baik.
Sejak kecil Bumi tak pernah mengenal siapa ayahnya. Saat anak-anak kecil seumurannya sedang sibuk-sibuknya membahas liburan bersama Ayahnya, mengidolakan Ayah mereka, Bumi hanya dapat membayangkannya. Memancing, bermain bola bersama. Rasa rindu akan sosok seorang Ayah yang tak kunjung hadir, berubah menjadi rasa benci mendalam saat teman-teman sebayanya menyebutnya dengan sebutan anak haram.
Ibu menjadi satu-satunya orang terdekat Bumi, begitu juga sebaliknya. Saat Ibu mengandung Bumi yang hadir tanpa seorang Ayah, Kakek mengusir Ibu dari rumah, menbuang kami kekota ini. Sedang Nenek tak dapat berbuat apa-apa, hanya beberapa kali ia datang menjenguk tanpa sepengetahuan Kakek.
Sering Bumi merasa bersalah, karena kehadirannya yang tak pernah diharapkan telah membuat Ibu banyak kehilangan. Kehilangan keluarga, kehilangan masa muda dan kehilangan kepercayaan terhadap pria. Hingga akhirnya Om Firman yang begitu sabar menanti pintu hati Ibu yang tertutup rapat terbuka dan mempersilahkannya masuk kedalam kehidupan mereka, memberikan satu harapan baru untuk kebahagiaan Ibu yang telah lama karam.
Bumi bingung harus bersikap bagai mana. Disatu sisi ia sangat membenci pria yang telah meninggalkan ia dan Ibu begitu saja, disisi lain ia sangat bersyukur dapat menghirup udara diatas dunia ini, bersyukur pernah lahir dari seorang wanita setegar dan seperkasa Ibu, sang malaikat pelindungnya. Semua bermula dari ayah. Wujud ini, sedih ini, rindu ini, benci ini… Kata Ibu, segalanya patut disyukuri.
Ibu adalah segalanya bagi Bumi. Ibu adalah Ayah, teman, sahabat, guru, koki, pendongeng, apasaja, Ibu selalu ada untuknya. Tak pernah Ibu menunjukan sesalnya terhadap hidup didepan Bumi. Sekalipun Bumi tahu pahitnya hidup yang Ibu kecap didalam hati.
Kini tak ada yang perlu dikawatirkan Bumi lagi. Ia percaya Om Firman pasti dapat membahagiakan Ibu. Dan sekarang terlihat sudah kebahagiaan itu terpancar tulus dari wajah malaikat yang ia sebut Ibu. Tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu tertawa lepas.
“Maaf ya sayang, Ibu tak memberitahu kamu dari jauh hari. Gak ngajak kamu lagi...” Ibu kembali mengeratkan genggamannya.
“Gakpapa kok… lagian Bumi juga lagi banyak tugas, jadi gak bisa pergi-pergi dulu.” Bumi tersenyum lebar dan membalas genggaman hangat Ibu.
“Nanti kalau kamu mau nyusul, hubungi Om saja.” Tawar Om Firman.
“Makasih deh Om… lain kali aja kita liburan bareng. Yang penting kalau singgah ke Paris jangan lupa bawain Bumi menara eifel aja…” canda Bumi. Membuat semua tergelak lepas.
“Menara eifel??” decak Om Firman seraya mengacungkan jempolnya kearah Bumi. “Sip…” katanya.
Bumi kembali memperhatikan wajah kedua malaikat itu. Begitu terlihat bahagia, terutama ibu, tawanya begitu lepas. Ibu terlalu banyak berkorban untuk nya, dan sekaranglah saatnya ibu berbahagia dengan orang-orang yang mencintainya, yang tentunya ia cintai juga.
Ibu, om Firman, dan Bumi. Semua saling melengkapi seperti satu keluarga bahagia. Keluarga yang dulu Bumi impikan-impikan. Memang sudah seharusnya seperti ini, semua pantas untuk bahagia tanpa terkecuali.Tiba-tiba peluk Bumi berhambur ke kedua malaikatnya. “Hati-hati ya… I love you…really…
Ibu tak mampu berkata apapun. Hanya berbisik “We love you too…” suaranya sedikit bergetar.
“Kamu juga hati-hati.” Om Firmanpun mengetatkan peluknya. “Udah macam mau pisah lama aja kita…” om Firman merenggangkan peluknya dan tersenyum lebar.
Bahagia jelas tergambar diwajah ketiga manusia yang dilanda haru ini. Mereka mempunyai tujuan yang sama. Saling menyayangi. Sekarang mereka memang satu keluarga.
“Oh ya, sebentar…” Om Firman merogoh kantung tas yang ia jinjing, meraih sebuah kantungan merah yang terbuat dari kain katun dan menyerahkanya ke Bumi. “Nih…!” serahnya.
Bumi membuka isi kantungan itu yang ternyata berisi rentengan kunci. “Kunci??”
“Selama kami disana kamu lihat-lihat rumah ya… kunci mobil minta aja sama Pak Dedek. Kasian Pak Dedek lo, dirumah tinggal sendiri.”
“Okey… nanti rumah Bumi liat-liati deh. Om yang tenang aja liburannya.”
“Kamu kalau kendarai mobil jangan ngebut-ngebut ya sayang.” Ibu kembali menasehati Bumi.
Yes mam!...” jawab Bumi dengan canda. “Ngomong-ngomong Ibu sama Om berangkat jam berapa nih!”
“Kayanya flight kita di delay nih.” Om Firman melirik arloji yang melingkar dipergelangannya. “Kira-kira satu jam gitu.
“Hhmm… tadi Bumi belum sempat sarapan deh.” Bumi melirik ke sebuah toko donat tak jauh dari situ. Dunkin Donuts. Bumi tersenyum kearah ibu dan Om Firman. “Would you like...
Oh dear! That’s a greak idea...” celetuk Om Firman yang langsung mengelus-elus perutnya.
“yuk…” ketiga cucu adam yang sedang diselimuti cinta itu jalan beriringan menuju kedai donat dengan canda tawa berhamburan sepanjang jalan.

*        *        *

“Siang semua…” sapa Bumi ke semua kru distudio. “Donuts??” Bumi meletakan sekotak donat yang ia bawa dari bandara ke atas meja bundar tepat disudut ruangan. Om Boss, Reva, Dea, Jimmy, Donny, pak Togar, Babe kite, David dan Boim yang lagi duet siaran, dan seperti biasa penghuni setia studio: Aga.
“Gua suka nih, Bumi yang kaya gini nih!” Jimmy menghampiri kotak berisi donat itu dan segera membukanya. “Wah… rajin-rajin aja deh Bum kaya gini…”
Dea berlari kecil menghampiri Jimmy yang sedang sibuk memilih donat. “Aku mau dong!” pekiknya manja, ikut memilih bersama Jimmy.
“Woi! Kalian jangan pegang sana pegang sini… jorok amier!” protes Donny yang merasa tak rela harus makan donat sisa cemekan Jimmy dan Dea. Iapun dengan segera menyelamatkan sepotong donat dari tangan-tangan yang kebersihannya diragukan.
“Jorok amier? Amier siapa sih?” tanya Dea membuat waktu didalam studio seolah  terhenti sepersekian detik.
“Amier tuh adiknya si Amat.” Sambung Reva sambil tertawa kecil. Jari-jari lentiknya mengambil mantap sepotong donat bertabur keping-keping almond. “Be… ada donat nih, mau gak?” teriak Reva kearah Babe yang sedang sibuk dengan kemocengnya.
“Boleh nih!” Babepun menghampiri gerombolan penyantap donat itu, mengelap-elapkan tangannya kecelana jeans dipotong selutut yang Babe kenakan.
Donnny yang melihat aksi Babe langsung komentar. “Haduh…! Cacingan semua deh kita!”
“Bah! Vitamin itu Don!” sahut pak Togar yang langsung mengambil sepotong donat tanpa pilih-pilih dahulu dan langsung melahapnya seraya menuju pos jaga di depan.
“Vitamin apaan?” tanya Donny kesal.
“Vitamin z… vitamin…zazing” canda Reva membuat seisi ruangan tetawa. Disela tawa yang menggaung…
“Emang ada ya vitamin z??” pertanyaan Dea membuat tawa mereka terhenti, semua memandang Dea dengan tatapan aneh. Hanya Babe yang tak terpengaruh, tawanya semakin kencang.
Dari belakang studio, suara Aga memecah kesunyian di ruang tengah sekaligus membungkam tawa Babe. “Segitu amat tawanya… lucu ya Be?”
“Ia nih, vitamin z… ha…ha…ha…” Babe kembali tetawa.
“Tumben lo baru muncul.” Tanya Bumi yang sedari tadi tak melihatnya. “Biasa aja kalau ada yang bawa makanan lo yang paling cepat!”
“Tadi gue dibelakang, dari tadi pagi perut gue gak enak terus nih.” Keluh Aga, mengusap-usap perutnya dan kemudian mengambil potongan donat yang tinggal beberapa potong lagi.
“Ga, lo udah cuci tangan kan?” celetuk Donny.
“Belum…” jawab Aga santai. “Tuh masih ada yang lengket!” candanya.
“Lo!!” Donny segera menyudahi santapnya dan langsung beranjang ke belakang.
“Wah, lo Ga… itu mah kelewat!” omel reva yang ikut-ikut jijik.
Aga melahap donat habis dengan beberapa kali gigitan. “Wah kayanya gue gak cukup makan satu nih!”
“Busyett!! Pantes aja lo sakit perut. Makan batu sekalian lo biar kenyang!” omel Bumi memancing tawa Babe yang mulai reda.
“Ban karetkan payah abisnya tuh Ga…” sambung Jimmy sambil melangkah menuju meja kerjanya.
Babe semakin terpingkal hingga akhirnya tersedak potongan-potongan donat didalam mulutnya. Panik, iapun berlari kebelakang mencari air. Aga dan Bumi hanya melihatnya dengan mulut sedikit menganga.
“Gue minta satu lagi…” Aga melarikan diri dengan menggondol sepotong donat lagi. Ia menuju pos jaga, begabung dengan pak Togar yang menyambutnya dengan suka. Teman bermain gapleh fikirnya.
Tak menghiraukan aksi Aga, Bumi melirik kearah arlojinya. “Kayanya udah jam aku siaran nih!” Bumipun beranjak menuju ruang siar yang tak jauh dari ruang tengah.
“Gua juga…” dari belakang Jimmy mengikuti langkah Bumi. “Gua mau keruang mix gantiin om Boss.”
Semua berjalan seperti biasa, berjalan baik-baik saja seperti hari sebelumnya. Tapi Bumi merasa ada yang kurang. Sesuatu yang tidak terlalu hiraukan tetapi cukup ampuh membuatnya merasa kehilangan atau malah rindu. Sesuatu yang tidak begitu penting tapi kealpaannya dapat membuat suasana begitu berbeda.
Gaby. Belakangan ini ia jarang muncul distudio. Surat - suratnya, puisi – puisinya, kado dan coklat-coklatnya turut hilang bersama kealpaannya. Sepertinya pamor keartisannya Bumi mulai meluntur. Mungkin karena intensitas siaran yang mulai melonggar dan tak serajin dahulu lagi.
3…2…1… mulai!
“Siang semua … bareng saya Mr.Bumi akan menemani kamu semua hingga pukul 4 sore nanti… bla… bla… bla…” another Bumi beraksi dengan segala kemampuannya.
Pukul 4 sore, Bumipun mengakhiri aksinya diruang siar dan secara otomatis pula, another Bumi  kembali tertidur setelah tombol off air ditekan.
Baru saja Bumi berfikir untuk segera menjemput Kinar tapi urung karena Kinar sudah ada distudio. Ia melambaikan tangan kearah Bumi dan kemudian Bumi balas.senyum termanis tersungging diwajahnya,membuat Bumi tak sabar untuk langsung menghampirinya.
“Hai dear… baru saja aku mau jemput kamu. Kamu dah lama disini?” tanya Bumi dan langsung menggenggam tangan Kinar hangat.
“Baru saja…” jawab Kinar dengan senyum terindah yang lekat diwajahnya, refleksi isi hatinya yang saat ini sedang bahagia dan menularkannya kepada Bumi yang tak kuasa langsung membalas senyum indah Kinar.
Destinasi selanjutnya: pukul setengah sebelas malam, seisi studio minus om Boss yang sedang sibuk dengan tugas-tugasnya tumpah ruah di satu club malam yang sedang sumpek berhubung sedang weekend.
Grombolan itu, Bumi, Aga, Reva, Kinar, Lina, Jimmy, David, Donny, Boim dan Dea duduk disofa kulit yang mengelilingi meja bundar yang sebelumnya dipesan Reva.
“Kok rame ya? Padahal jam segini biasanya masih sunyi.” Seru Reva yang merasa sesak melihat krumunan manusia yang bedesak-desak dilantai dansa.
Kemudian seorang pelayan menghampiri mereka dengan talam berisi minuman yang telah mereka pesan.
Grombolan yang mengaku anak gaul ini pada dasarnya tidak begitu suka keluar malam, apalagi ketempat sumpek seperti ini. Tapi berhubung yang namanya anak gaul itu harus nongkrong ditempat yang lagi in, seperti di club ini, minimal seminggu sekali. Biar  dibilang keren en’ funky akhirnya mereka harus mengikuti kode etik, demi eksistensi mereka sebagai anak gaul diakui dikomunitas ini dan ter- update selalu.
Guys…! Lagu kita tuh!” celetuk Lina setelah mendengar lagu yang begitu akrab ditelinganya. Ia langsung menuju lantai dansa diikuti Aga kegirangan setelah melihat Lina mulai bergoyang kemudian disusul dengan Reva, David dan Dea yang langsung menyeret tangan Donny. Mereka siap membakar lantai dansa dengan gerak yang sudah mereka hafal hasil dari beberapa kali latihan setiap kali mereka clubing.
Tinggal Bumi, Kinar, Jimmy dan Boim saja. Kebosanan jelas tergambar diwajah mereka. Tiba – tiba Boim beranjak meninggalkan ketiga temannya yang tak terlalu suka dengan susana sumpek club. Boim menghampiri seorang wanita cantik yang sedang duduk sendiri di bangku bar.
“Wah… Boim mana tahan kalu lihat cewek cantik nganggur.” Celetuk Jimmy. “Gimana dengan rencana buka usahanya Nar?” tanya Jimmy ke kinar.
“Oh… masih bingung cari-cari usaha yang cocok, cari rekan bisnis juga. Kamu… bla…bla…bla…” Kinar dan Jimmypun saling mengisi kebosanan mereka.
Dan Bumi… sebenarnya ia juga tak kalah bosan, tapi ia lebih memilih diam. Didalam keramaian lamunnya jauh diawang-awang menemukan satu oase yang jauh dari hingar bingarnya suasana club. Dian. Ia rindu dengan sosok bidadari pujaan hatinya. Sesekali ia meneguk minuman ia pesan tadi. Lache martini. Katanya pesanan Bumi terlalu feminin tapi Bumi tak memperdulikannya segali ia dapat menikmatinya.
 Matanya menyorot seisi club dan terhenti saat sosok yang begitu ia kenal terlihat diantara kerumunan pengunjung yang dihujani kilatan cahaya warna-warni lampu. Dian. Bidadari sang penawan hati yang ia rindukan ada disana. Bumi memastikan penglihatanya, ia menajamkan pandangannya kesosok seorang wanita cantik yang ia duga Dian, hingga ia yakin kalau wanita itu adalah Dian yang ia lamunkan dari tadi, nyata.
Dian terlihat begitu terburu-buru menerobos kerumunan yang menghadang langkahnya. Tanpa berpikir panjang lagi Bumi langsung beranjak dan mengejar Dian yang semakin lenyap diantara pengunjung. Tak mau kahilangan Dian begitu saja, Bumipun mempercepat langkahnya tapi sia-sia sosok itu tak terlihat lagi, Dian begitu gesit seolah-olah dia tahu kalau Bumi mengejarnya dan lenyap diantara ratusan manusia yang memenuhi club.
Langkah Bumi terhenti ditengah ratusan pengunjung yang sedang asik berpesta, dihujani kilatan warna-warni lampu disko yang semakin mengaburkan penglihatanya. Ia merasakan kesunyian yang ditinggalkan Dian diantara hentakan musik yang memekakan telinga. Semua mengabur, memudar, begitu damai hingga tubuhnya tak dapat bergerak, terbius kedamaian yang Dian tabur. Hingga sesuatu menabrak Bumi yang terpaku ditengah kerumunan pecinta pesta tersebut.
“Woi… kirain siapa! Sedang apa lo Bum, melongo gak jelas gitu?!” ternyata Aga yang sedang asik bergoyang dengan Lina.
Bumi tak merespon sapaan Aga. Fikirannya masih dibingungkan dengan sosok yang ia lihat tadi. Nyatakah? Atau hanya khayalnya saja.
“Woi..!!” sapa Aga lagi. “Wah dah mabok nih anak!! Padahal cuma lache martini  yang dia minum… hallow Bumi! are you on mars now?” ledek Aga.
Bumi segera tersadar dengan ledekan Aga yang memekik diantara hentakan lagu disko. Yes, I’m on mars now... and almost jump to jupiter!! So what?!” balas Bumi kesal, karena Aga telah mengusik kedamaian yang ia kecap tadi.
Hallow... earth to mars, earth to mars, give me a sight please!!ledek Aga yang tak mau kalah semakin membuat Bumi jengkel.
 Perlahan Bumi kembali membelah kerumunan pengunjung menuju pintu keluar tapi ia tetap tak mendapati Dian disana. Begitu hebatkah rindunya hingga dapat menciptakan halusinasi yang begitu nyata. Kini yang tersisa hanya rasa rindu yang tersesat tak menemukan jalannya. Jauh didalam hatinya Bumi yakin Dian yang ia lihat tadi adalah nyata bukan sekedar halusinasinya saja. Rindu itu kembali menghampirinya dan Dian tetap indah dengan kabut misteri yang selalu mengitarinya.
Dengan rasa kecewa Bumipun kembali kegerombolan yang mengaku anak gaul tersebut.

*        *        *

0 komentar:

Posting Komentar