Minggu, 04 Oktober 2009

"Terluka"

Empat bulan, dua minggu, lebih satu hari dan hampir duabelas jam, engkau menghilang. Gundah bagai sembilu yang menikam tajam diantara luka yang kau goreskan sebelum akhirnya kau putuskan benar-benar menjauh dariku. Tak sedikitpun alasanmu yang dapat kuterima. Entah karena apa. Mungkin karena cinta ini. Cinta yang telah mengakar hingga sulit unutk ku hapus.

Kau katakan ini adalah kesalahan. Pertemuan kau dan aku. Segala yang terjadi antara kita adalah kesalahan. Itu katamu dan sungguh tak dapat ku terima.

Diatas kesadaran, engkau adalah pilihan yang telah kupilih. Kucoba terima keadaan mencintaimu setelah pergulatan batin dahyat yang berkecamuk dihati ini.  Keterimakan keadaan. Kugantung harapan, berharap kau akan menggandengku, mendampingiku menyusuri jurang curam yang kita tak pernah tahu apa yang menunggu di dasar sana. Apapun aku terimakan.

Kini kekecewaan yang kutuai. Buah dari keraguanmu, ketidak percayaanmu, kepesimisanmu. Kau gariskan jarak diantara kita. Engkau menyerah sebelum mencoba. Engkau mengakhiri sebelum memulai. Itu yang terbaik katamu. Mungkin benar itu yang terbaik untukmu, tapi aku sungguh tak yakin hal ini juga terbaik untukku.

Ingin kusesali pertemuan kita. Ingin rasanya kuhapus dari ingatanku. Memenggal sebahagian ingatanku tentangmu. Tapi tak dapat kuingkari, engkau bagian terindah sekaligus menyakitkan.

Berkali-kali aku coba mengungkapkan cinta ini kepadamu. Cinta yang membuatku setengah mati meniti rasa. Tak bisa kubendung. Tak bisa kubungkam. Engkau hadir tiba-tiba, menawarkan semua kebahagian yang aku cari selama ini. Dan sekarang engkau merampasnya kembali, menjadikan segalanya mimpi, tak lebih. Mimpi yang hampir mustahil menjadi nyata.

Mengapa harus aku. Mengapa pagi itu kau menghubungiku. Mengapa kita harus bertemu. Mengapa harus aku. Mengapa harus aku yang tertinggal. Mengapa hanya padaku rasa ini tertitip. Jika memang semua harus berakhir disini, kumohon biarkan aku dekat denganmu. Menjadi apapun. Bayang-bayang yang mungkin tak begitu kau perdulikan keberadaannya. Atau jadikan aku sahabat yang siap menampung suka dukamu, tangismu, tawamu, bahkan muntahmu. Atau ajari aku melupakan segalanya. Menganggap segala yang terjadi hanyalah permainan saja. Permainan singkat yang harus segera diakhiri.

Sungguh kutemukan sebagian diriku didalam dirimu. Cermin yang membuatku jatuh hati. Namun tak semua sisi sama. Aku berharap lebih dan kau memberikan sekedar. Atau sebenarnya kau hanya berbohong. Kau tak pernah mencinataiku, bahkan untuk sekedar seorang teman. Mungkin hanya selingan, pemuas rasa ingintahumu saja, permainan saja. Dan aku berharap lebih.

Masih kuingat obrolan suatu sore yang mendung. Kita berbicara banyak tentang rasa ini. Rasamu, rasaku dan kegilaan yang kurasa, semua kuungkap. Senyum menggaris diwajahmu. Kau berkata hubungan persahabatan lebih mungkin untuk terjalin antara kita setelah apa yang kau lakukan kepadaku dan tanpa canggung kau ulangi lagi malam itu juga.

Sore itu sungguh kenangan terindah bagimu, itu katamu dan sudah pasti bagiku. Lembayung jingga yang menghitam sore itu sudah tak kuasa menahan kandungannya dan akhirnya memuntahkan hujan deras, sangat deras diiringi gemuruh dan angin kencang. Namun tak demikian hati kita. Dibawah gubuk kecil tak berdinding dan beratap rumbia kita berteduh. Bercerita banyak hal. Semua menyenangkan. Dan kini semua serasa seperti mimpi bagiku.

Hari itu sungguh seperti mimpi bagiku. Membuatku semakin tak bisa melupakanmu. Tak pernah aku merasa nyaman senyaman bersamamu. Menjadi diriku yang sebenarnya, tak satupun yang tertutupi, tak satupun membelunggu. Namun kini kekecewaan yang kutuai.

Tak pernah kudapati diriku seperti ini. Sebebas bersamamu dan seterluka ini. Mungkin segalanya harus berakhir seperti ini. Mungkin benar ini adalah jalan terbaik untuk kita, namun hingga kini tak kutemukan kebaikan itu. Aku hanya semakin larut dalam kerinduan semu. Pungguk merindu bulan.

Mungkin salahku, terlalu memaksakan cinta ini, rasa yang terus mengusik dunia sadarku. Sadar akan cacatnya hubungan ini. Hingga akhirnya kau memilih mengamputasi segalanya. Rasa itu, kenangan itu. Atau engkau hanya bermain. Engkau pernah berujar cinta. Berjajnji tak akan pernah meninggalkanku sendiri. Tanpamu sungguh dunia adalah kepalsuan bagiku.

Thinking of you…” satu kalimat singkat yang dahulu pernah kau kirim dan kini sangat kurindu. Kata-kata itu sungguh seperti mantra yang membuat tak pernah bisa berhenti memikirkanmu.

Aku kehabisan akal, kehabisan cara. Telah kucoba melupakanmu. Berbagai wajah silih berganti dalam hidupku. Kucoba menikmatinya, semua kepalsuan ini, namun kini aku bukanlah orang yang sama lagi setelah kepergianmu. Kupikir waktu satu bulan cukup untukku melupakanmu dan aku salah. Engkau tinggal dibenakku.

Kumohon ajari aku melupakanmu. Kembalikan hatiku yang dulu. Kembalikan semuanya seperti sebelum aku mengenalmu. Aku mohon. Aku bosan dengan rasa ini. Rasa yang hanya membuatku lemah. Atau minta pada Tuhan yang sering kau tanyakan kabarnya untuk mengambil kembali rasa yang ia titipkan ini.

Akan kukenakan lagi topeng yang selalu kulepas ketika bersamamu. Menjadi bagian dari dunia yang penuh dengan kemunafikan ini. Karena sebenarnya engkaupun seperti itu, namun topengmu tak seperti topengku hingga sulit rasanya meyakinkanmu untuk melepas topeng itu.

Empat bulan, dua minggu, lebih satu hari dan hampir duabelas jam. Kuambil nafas panjang kukenakan kembali topeng itu. Hidup akan terus berjalan bersama atau tanpamu. Bahagia, sedih akan terus mewarnai jalanku. Aku akan berjalan digaris normal yang sesungguhnya palsu. Aku ingin muntah. muntah diatas kenangan ku bersamamu.

[Aku sungguh ingin muntah… Medan : 11.00 : 300809]

0 komentar:

Posting Komentar