Selasa, 13 Oktober 2009

...diruang itu...

            Didalam ruang tamu apartemen yang tak terlalu luas itu semua rasa tertuang disana. Ruang itu sedikit gelap karena lampu di biarkan tak menyala. Satu pernyataan membuat kita terpaku di sofa coklat ini. Terasa tak nyaman namun kita lebih memilih untuk tidak beranjak bahkan hanya untuk sekedar menyalakan lampu. Hanya lampu dari beranda yang temaram menerangi ruang tamu duka ini.

Kita duduk saling berhadapan. Tanpa suara. Membiarkan sunyi merambati seisi ruang. Hanya sang waktu yang dengan sombong menjentikkan jari-jarinya tanpa perduli siapapun. Sedang kita hanya duduk berhadapan. Tanpa suara. Dan waktu semakin memburu akan satu keputusan. Pelan-pelan sunyi menelimuti kita.

          Sesekali ku lirik wajahmu. Kau menunduk, mengisak. Apa yang kau tangiskan? Keputusanmu? Kau merasa kasihan kepada ku yang harus kau campakkan? Bukannya harus aku yang menangis seperti itu karena tak terima telah kau khianati? Apa yang kau tangiskan? Katakan!

          Hampir setengah jam kita seperti ini. Kau terus tersedu, sedang aku kehilangan ekspresi, tak tahu harus bagaimana. Bukannya tak sedih, bukan juga tak marah, tapi lebih dari itu aku seolah terperangkap diantara keduanya hingga tangis hanya menjadi luka yang kini perlahan menganga.

          Ku raih mug berisi teh hijau yang satu jam lalu kau seduh. Rasanya senyi juga merenggut hangat itu dari mug berisi teh hijau. Ku teguk sedikit karena tak ingin cepat habis. Masih ingin kurasakan cinta itu di dalam teh hijau yang kau seduh untukku, karena mungkin ini menjadi teh hijau terakhir yang kau seduhkan untukku. Mengapa harus teh hijau? Rasanya terasa pahit. Katamu, teh hijau bagus untuk kesehatan dan selalu di seduh tanpa gula. Semakin pahit terasa di suasana seperti ini.

           Ku coba tawarkanmu sapu tanganku, agar kau bisa menyeka tangis itu, tapi kau tak meraihnya. Kau semakin larut dengan kesedihanmu seolah tak ada lagi yang ingin kau lakukan selain mengeluarkan semua airmatamu. Aku tak tahu mengapa kau menangis? Tangis bahagiakah? Karena kau merasa lega setelah kata-kata itu meluncur dari mulutmu. Atau sesalkah yang sekarang kau tangisi? Aku sudah tak perduli.

          Sadarkah, kau telah membuatku terluka. Tahukah kau akan hal itu. Mungkin lebih perih daripada tangismu. Namun aku tak tahu bagaimana. Kau telah mengambil peranku. Harusnya aku yang tersedu, aku yang menangis. Tapi itu tak kulakukan. Tangismu telah mewakili semua. Rasamu dan rasaku.

          “Maafkan aku…” suaramu terdengar parau.

          Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Kuraih sebatang rokok, kunyalakan dan sedikit gugup kuhisap terburu. Kuhisap, kuhembus. Kuhisap lagi, kuhembus lagi, terus berulang tanpa jeda.

          Tak pernah kurasa rasa pedih sepedih ini sebelumnya. Tak pernah kuduga ini harus terjadi padaku. Tak pernah ku duga kau pula yang menggoreskannya. Kau yang paling kucinta, yang paling ku percaya. Aku di khianati. Segalanya hanya dusta. Cinta itu, sayang itu, kau sama sekali tak pernah merasakannya denganku. Karena itu tega kau goreskan luka di hati ini.

          Tak da yang ingin kulakukan saat ini. Aku hanya ingin duduk diam disini. Bersama temaram cahaya bulan yang menyusup dari jendela beranda. Bersama puing-puing persaan yang kini tak tahu harus aku apakan. Aku hanya ingin menggandeng sunyi seperti sahabat karib yang setia mendengar tangis miris ku.

          Engkau menunduk dalam. Airmata itu tak kunjung henti membasahi pipimu. Sebegitu terlukanyakah kau atau sebegitu senangnyakah kau hingga tangis itu terus menitik. Ingin kuraih pipimu yang kemerahan dan menghapus air mata itu tapi ada satu rasa yang menghalangi. Ingin ku hentikan tangis itu. Tapi tak bisa kupungkiri rasa kecewa ini. Tak bisa ku katakan aku baik-baik saja, mulut ini kaku rasanya.

          Tatap aku, tanyakan luka itu. Tanyakan perasaanku. Ingin rasanya kubelah dada ini kutunjukan luka yang kian menyayat di hati ini. Sungguh aku tak butuh penawar dari luka ini tak juga tangismu, maafmu, sesalmu. Aku hanya butuh kau tahu aku terluka. Dengan begitu ku harap kau lebih dapat menghargai perasaan. Kuhisap rokokku dalam untuk terakhir kali hingga hangat menyentuh filter.

          Perlahan tanganmu mulai meraih cincin yang membalut jari manis kananmu. Melepas cincin yang dahulu kuanggap mahkota cinta kita ternyata menjadi beban berat yang susah kau pikul. Tangismu semakin meledak hingga cincin itu terlihat tak berharga diatas meja. Ia kehilangan sinarnya. Sudah lama kehilangan sinarnya. Ia hanya penghias semata bukan lagi pengikat.

          “Maafkan aku…” suaramu terdengar tak jelas, beradu dengan tangis yang mengisak.

          Haruskah kelepas juga cincin yang melingkar di jari manis ini. Cincin yang selama ini kubanggakan. Cincin yang begitu berarti di dalam hidupku. Ingin aku melakukan hal yang sama dengan mu. Melepas cincin yang kini kehilangan keistimewaannya ini. Tapi tak ku lakukan. Aku tak bisa melepasnya.

          Perlahan sunyi kembali menrenggut semuanya. Kita saling diam. Kau menunduk dalam sedang aku menatapmu lekat. Berharap menemukan matamu, agar dapat ku susuri lebih dalam apa yang terjadi dengan cahaya yang dahulu berkobar hangat.

          Kebohongankah semua ini. Kau menipuku mentah-mentah. Mengapa tak kau katakan sejak awal. Mengapa harus sekarang, saat hatiku telah merasa engkaulah satu-satunya. Ketika cinta ini mendarah daging dan begitu sulit di hapuskan. Sekarang apa yang harus kulakukan. Orang yang dahulu sangat kucinta kini menjadi sosok yang paling tak kukenal. Kuharap semua tak akan beralih menjadi rasa benci. Karena aku tak mau benci menguasai diri ini.

          “Mengapa?” Kata ini meluncur dari mulutku. Kata yang sedari tadi memenuhi kepalaku.

          “Kamu baik, bahkan terlalu! Tapi kita tak bisa bersama… maaf jika aku membuatmu kecewa. Aku tak bisa bersamamu.” Kata-katanya tak menjawab pertanyaanku.

          “Mengapa?” Aku coba menanyakannya lagi.

          Kau diam segugukkan sambil menatap wajahku, seolah ingin memberi pertanda ‘cukup’.

          Aku menatap mata yang sedari tadi kucari. Mata itu hampir tak berubah. Hanya kehangatan disana seolah lenyap terbawa tangis yang terus membasahinya. Tak kutemukan sosok yang mencintaiku disana. Yang kau inginkan hanya perpisahaan ini. Aku dapat melihatnya.

          Tak lama kau berdiri, beranjak dari sofa, mencoba meraih ku, namun aku tak bisa menerimanya begitu saja, aku menepisnya. Kau raih tasmu dan kemudian melangkah menuju pintu. Satu, dua, tiga, empat, Lima, enam, tujuh, delapan. Delapan langkah menghantarkanmu ke pintu depan. Delapan langkah yang mengakhiri hubungan ini. Delapan langkah yang menggariskan sejarah percintaanku. Engkau pergi. Meninggalkan kenangan yang tak akan pernah kulupa.

          Aku hanya diam tak ingin beranjak dari sofa yang seolah telah memaku tubuhku hingga tak ingin kemana-mana. Tak dapat berkata-kata, apa lagi mencegahnya pergi. Ini adalah pilihannya. Ini adalah keputusannya. Meninggalkanku. Kuraih batang rokok kedua. Kunyalakan. Kuhisap. Kuhembuskan. Begitu seterusnya. Mencoba memahami yang terjadi.

          Tanpa terasa airmata menetes, menggaris dipipiku. Hangat terasa namun pedih itu tak banyak berkurang. Ingin rasanya aku meringkuk nyaman di atas sofa yang setia menopang tegar tubuh ini, dengan senang hati dia pasti memberikan hangatnya kepada ku. Itupun tak ku lakukan.

          Jika memang semua harus begini, untuk apa lagi aku menangis, untuk apa lagi aku menyesalinya. Cinta tak selamanya memiliki. aku bersyukur pernah memilikinya. Dan kini cinta seutuhnya milik ku.

          Ku lepas cincin itu dari jemariku. Kuraih cincin yang ia letakkan diatas meja. Semua telah menjadi kenangan. Kugenggam erat sebelum akhirnya kuletak kedalam akuarium kecil. Menjadi hiasan rumahnya si Koki. Semua telah selesai. Yang tersisa hanya kenangan. Menambah daftar panjang impianku akan hidup dan esok akan jadi hari-hari merepotkan, banyak mimpi yang akan ku jemput.

[Harapan, impian akan selalu membawa hidupku menuju bahagia… Medan :250609 : 05.05]      

0 komentar:

Posting Komentar